Kurasakan sakit pada tubuhku dan betapa kagetnya aku saat mendapati diriku terjatuh dari tempat tidur. Aku mengerjapkan mata beberapa kali sambil menahan rasa sakit yang aku rasakan. Perhalan mataku mulai dapat menyesuaikan dengan kondisi di sekitarku. Aku mengenali tempat ini adalah kamar di rumah Hendra.
Syukurlah ternyata hanya sebuah mimpi bukan nyata. Tapi kenapa aku harus kembali bermimpi mengenai iblis sialan itu? Siapa laki-laki yang ada di dalam ruangan itu yang tengah memuja iblis dalam kesendiriamnya. Mungkin semua itu terjadi karena aku yang masih belum bisa bangkit dari keterpurukan karena kehilangan teman-temanku. Mungkin hanya bentuk penyesalanku kepada mereka hingga semua itu sampai terbawa ke alam mimpi. Tidak ... itu tidak mungkin hanya sebatas mimpi semata. Mimpi itu begitu nyata ada di hadapanku. Mimpi itu seperti nyata. Dan ... kenapa Evi memintaku untuk keluar dari tempat itu, ada apa dengan tempat itu? Ya ... aku yakin bahwa itu bukan hanya sekedar mimpi. Aku yakin pasti ada hal lain yang harus aku ketahui yang berhubungan dengan mimpi itu. Tapi siapa laki-laki itu? Tak mungkin jika dia orang waras, karena orang waras tak akan mau menyembah iblis sialan yang sudah mengorbankan teman-temanku.
Ada apa dengan mimpiku? Apa maksud dari semuanya? Ah ... sialan kenapa pula itu iblis sialan masih saja ada. Kalau ada itu iblis sialan pasti akan terjadi masalah lagi. Tuhan ... semoga ini hanya firasat saja, semoga tak terjadi apa-apa.
"Di, kamu kenapa?" tanya Wilman yang tiba-tiba masuk ke dalam kamar.
"Gak apa-apa, Wil, aku hanya terjatuh dari tempat tidur."
"Lagian kamu kenapa pakai acara jatuh dari tempat tidur segala?"
Aku terdiam mendengar pertanyaan Wilman. Apakah harus aku jawab pertanyaan Wilman secara jujur atau aku harus diam saja? Jika aku jujur, apakah Wilman tak akan khawatir dengan kondisiku? Apakah dia akan percaya dengan semua perkataanku?
"Hai ... ko malah ngelamun sih, Di?" tanya Wilman membuyarkan semua pemikiranku.
"Pinggangku sakit, bantuin bangun dong," jawabku mengalihkan pembicaraan. Wilman pun membantuku berdiri dan duduk di tempat tidur.
"Aku kenapa bisa ada di kamar? Bukankah tadi aku sedang di halaman samping?" tanyaku setelah merasa sudah baikkan.
"Tadi waktu aku keluar untuk memanggilmu makan aku melihatmu sudah jatuh tersungkur di tanah. Kamu pingsan tadi."
Pingsan? Rasanya seberat apa pun masalah yang aku hadapi aku tak pernah pingsan. Sepadat apa pun aktivitas yang aku jalani walau lupa makan tak pernah aku pingsan. Kembali aku mengingat kejadian saat aku ada di halaman tadi. Aku sungguh tak percaya kalau aku pingsan begitu saja. Pasti ada sesuatu yang membuatku jatuh tersungkur di tanah.
"Ah ...," teriakku sakit saat hendak mengikat rambutku. Perlahan aku meraba tengkukku, sedikit memar.
Aku baru ingat sekarang, tadi aku pingsan bukan karena beban masalah yang aku hadapi atau karena tubuhku kecapaian. Aku pingsan karena seseorang memukul tengkukku dengan benda tumpul dan sangat keras. Tapi siapa dia? Siapa yang telah memukulku dengan keras dan apa mau dia?
"Kamu kenapa?" tanya Wilman yang lagi-lagi membuyarkan semua pemikirnku.
"Gak apa-apa hanya sedikit memar."
"Memar? Kok bisa? Coba kulihat," kata Wilman panik sambil berusaha melihat tengkukku.
"Gak usah, Wil, paling tadi terbentur kursi saat aku pingsan," kataku mengelak.
Aku tahu betul kalau ini bukan luka yang tak sengaja, tapi ini luka yang disengaja. Tapi kenapa aku tak bilang kepada Wilman mengenai hal itu? Jika mengatakannya Wilman pasti akan memcari tahu siapa yang berusaha mencelakakan hidupku.Tidak... akan terjadi masalah jika Wilman tahu mengenai p*********n itu. Dia pasti akan membabi buta mencari pelakunya tak peduli kawan atau lawan.
"Hendra dan kakek sudah pulang belum, Wil?" tanyaku memecah kesunyian.
"Belum, mungkin mereka masih membereskan rumah."
"Bisa tinggalkan aku sendiri, Wil?"
"Kenapa?"
"Gak apa-apa aku hanya ingin menyendiri saja dulu."
"Baiklah," kata Wilman sambil keluar dari kamar.
Aku duduk di jendela menghadap taman yang ada di samping. Bunga-bunga bermekaran dengan sangat indahnya hingga bisa membuatku lebih tenang. Sejenak aku melupakan semua permasalahan yang aku hadapi.Tiba-tiba aku teringat dengan tasbih milik Evi. Aku mencarinya di berbagai tempat tapi aku tak menemukannya. Aku coba merogoh kantong celanaku tapi tak ada.
"Ah... di mana tasbih itu?" tanyaku pada diriku sendiri.
Aku segera berlari keluar kamar dan mencari tasbih itu di dapur serta ruang tamu, tapi aku tak menemukan apapun. Aku kemudian berlari ke halaman dan mencari tasbih itu. Lagi-lagi aku tak menemukan tasbih itu sama sekali.
"Di mana tasbih itu?" tanyaku pada diriku sendiri.
Aku tahu tasbih itu adalah amanat yang diberikan kakek Evi kepadanya. Aku harus bisa menemukan tasbih itu dan mengembalikannya kepada keluarga Evi. Mereka yang lebih berhak atas tasbih itu bukan orang lain.Aku mencarinya kembali dengan seksama di atas rumput yang terawat dengan rapi. Tapi aku tak menemukan tasbih itu sama sekali.
Shit... di mana tasbih itu terjatuh?Aku ingat betul tasbih itu aku simpan di kantung celanaku, tapi kenapa tak ada? Apa mungkin jatuh di mobil Wilman? Aku segera berlari ke dalam dan mencari Wilman.
"Pinjam kunci mobil," kataku tanpa basa-basi.
"Untuk apa?" tanya Wilman bingung.
"Mau cari barang siapa tahu terjatuh di mobil."
"Barang apa sih?"
"Sinilah kuncinya," paksaku. Wilman pun memberikan kunci mobilnya dan aku langsung berlari ke mobil Wilman.
Aku langsung mengobrak-ngabrik isi mobil Wilman hanya untuk mencari sebuah tasbih. Lagi-lagi aku tak menemukan tasbih itu sama sekali.
"Di mana tasbih itu?" kataku prustasi.
Aku kembali merenung dan berusaha memikirkan di mana tasbih itu aku simpan. Masih berharap bahwa aku lupa menyimpan tasbih itu. Tapi lagi-lagi aku tak ingat sama sekali di mana tasbih itu aku simpan. Aku benar-benar berkeyakinan bahwa tasbih itu jatuh dan hilang.
Ah ... di mana tasbih itu berada? Bagaimana aku bisa mengembalikan amanat itu kepada keluarga Evi? Bagaiamana pertanggung jawabanku pada mereka?
Tiba-tiba aku teringat perkataan Evi saat duduk bersamanya di halaman posko.
"Jika tasbih ini hilang, dia akan kembali lagi kepada pemiliknya. Kepada yang diberi amanat. Jika yang diberi amanat telah meninggal, maka dia akan kembali kepada seseorang yang dipilihnya yang bisa menjaga amanat itu dengan baik,"
Aku menarik napas dalam, mungkin tasbih itu memang telah kembali kepada orang yang dapat menjaga amanat dan itu bukan aku. Aku telah kehilangan Evi sehingga wajar jika tasbih itu kembali kepada yang dapat menjaga amanat itu.
"Maafkan aku, Vi, aku tak bisa menjaga tasbih itu dengan baik. Semoga tasbih itu berada di tangan yang tepat"