Lagi-lagi aku merasa ada seseorang yang tengah mengawasi. Aku beranjak dari dalam mobil dan keluar untuk mencari tahu siapa yang tengah mengawasiku. Lagi-lagi tak ada siapa pun yang mencurigakan. Semua terlihat normal bahkan terlalu normal.
Tunggu... terlalu normal? Ya ini terlalu normal untuk kondisi jalanan utama yang menghubungkan dengan kota lain. Harusnya sedikit lebih ramai. Walau ini daerah terpencil tapi di sana adalah perbatasan dengan kota lain. Dan ini merupakan salah satu jalan alternatif untuk sampai ke ibu kota provinsi.
Ah ... aku benar-benar muak dengan orang itu. Aku baru saja kembali ke sini beberapa jam yang lalu tapi sudah di sambut dengan hal yang membuatku kebingungan seperti ini. Kondisi ini benar-benar membuatku tak nyaman sama sekali.Aku memutuskan untuk berjalan-jalan sejenak menghilangkan semua penatku dan memastikan bahwa semua yang ada di sini benar-benar normal, tidak terlalu normal.
Langkah kakiku membawaku ke sebuah klinik yang ada di kecamatan tempat aku KKN. Klinik ini... ya klinik ini adalah tempat aku memeriksakan diri dulu.Aku segera bergegas masuk ke dalam klinik berharap ada sesuatu yang bisa aku temukan.
"Selamat siang," sapa seorang suster
"Siang."
"Silakan daftar dulu."
"Saya Diona Pranadi Wijaya, saya sempat berobat kesini sekitar beberapa bulan lalu dengan bekas cakaran parah. Saya ingin memeriksakannya kembali."
"Baiklah, silakan masuk kebetulan dokter sedang tidak ada pasien."
Aku memasuki ruangan dokter yang di tata dengan sangat rapi.
"Silakan duduk," kata dokter sambil mencuci tangan.
"Ricky?" tanyaku kaget saat melihat dokter itu berjalan menuju ke arahku. Dia adalah teman mainku saat aku kecil dulu. Usia kami berbeda tiga tahun. Saat dia masuk SMA dia pindah bersama orang tuanya. Dan dia merupakan cinta pertamaku yang tak pernah terucap.
"Diona? Kamu Diona-kan si gadis cilik yang selalu di kuncir itukan?" kata Ricky tak kalah kagetnya denganku.
"Ya aku Diona, kamu ko di sini? Waktu aku kemari bukan kamu,"
"Ini klinik pamanku, biasanya sepupuku yang bekerja di sini. Tapi setiap hari minggu aku yang di sini. Kamu kenapa di sini?"
"Aku kemarin KKN di Desa Bunga Wangi."
"Desa pemuja iblis itu?"
"Lho kok kamu tahu?"
"Siapa yang gak tahu, Di. Sejak kejadian yang menimpa anak-anak KKN itu, hampir sekecamatan tahu kali, Di. Kalau aku lagi praktek suster-suster pasti ngomongin itu."
"Wah benar-benar heboh ya?"
"Ya... Eh, Di, kalau kamu KKN di sana kok kamu gak kenapa-kenapa sih?"
"Gak kenapa-kenapa apanya? Ini perutku bocor, trus ini masih sakit," kataku sambil menunjukkan dadaku.
"Dadamu kenapa? Sini kuperiksa."
"Trauma aku."
"Sabar, Di. Oh iya, kamu mau apa ke sini? Periksa apaan?" tanya Ricky mulai serius.
"Lihat ini," kataku sambil menunjukkan bekas cakaran di tanganku yang masih berbekas.
"Lho kok sampai seperti ini, Di? Apa gak kamu kontrol ke dokter?"
"Setelah kejadian itu aku ke sini, aku periksakan pada sepupumu, dia memberiku obat. Lalu 1 atau 2 minggu kemudian aku mengalami kejadian itu dan aku di bawa ke rumah sakit di kota, hanya aku tak tahu kenapa ini masih seperti ini."
"Biar aku periksa dulu."
Ricky memeriksa luka bekas cakar ditanganku dengan seksama. Aku juga merasa aneh bagaimana luka bekas cakaran itu membentuk seperti seekor Naga yang meringkuk di tangan. Sesungguhnya aku belum pernah memeriksakan lagi pada dokter karena selama ini luka itu tidak menggangguku bahkan aku merasa baik-baik saja. Sekarang aku terpaksa memeriksakannya karena aku butuh alasan untuk masuk ke klinik ini. Aku merasa ada sesuatu yang aneh disini, tapi aku tak tahu apa itu.
"Gimana?" tanyaku setelah Ricky selesai memeriksaku.
"Secara kedokteran luka ini tidak menunjukkan tanda-tanda infeksi atau apa pun, ini baik-baik saja. Bahkan ini jadi seperti tatto yang sengaja kamu buat."
"Gila aja aku pakai tatto."
"Serius lho,Di,ini bener-bener gak apa-apa."
"Hm... lalu kenapa bisa seperti ini, Rick?"
"Entahlah aku tak tahu."
Dering ponselku membuat pembicaraanku dan Ricky terhenti sejenak. Aku melihat layar di ponselku, ternyata Wilman yang menelponku. Setelah memohon izin kepada Ricky aku pun mengangkat telpon.
"Ya, Wil?"
"Kamu di mana?"
"Di klinik, bentar lagi aku ke rumah Hendra," kataku lalu ku tutup telponnya.
"Kamu mau ke rumah siapa, Di?"
"Hendra."
"Polisi yang bekerja di polsek sebelah itu?"
"Iya, kenapa?"
"Hati-hati ya, Di!"
"Ada apa?"
"Gak ada apa-apa, hati-hati saja!"
"Resepnya mana?"
"Kamu gak perlu minum obat, luka itu gak bahaya."
Aku pun berpamitan kepada Ricky setelah saling bertukar nomor telpon. Aku tak pernah menyangka akan bertemu kembali dengannya setelah hampir sepuluh tahun tak bertemu.Tapi kenapa ... kenapa Ricky berkata seperti itu? Ada apa dengan Hendra? Ada apa dengan kakek?
Ya Tuhan... Wilman sekarang ada di rumah Hendra, bagaimana kalau dia kenapa-kenapa? Oh tidak... semoga dia gak kenapa-kenapa.Aku mempercepat langkahku bahkan hampir sedikit berlari menuju rumah Hendra. Dari kejauhan aku melihat mobil Hendra telah terparkir di halaman. Aku langsung terbayang kepada Wilman dan pikiranku dipenuhi dengan sosok Wilman yang terluka.
"Pikiran gila apa ini?" tanyaku pada diriku sendiri.
"Hai perempuan gila?" bentak seseorang saat aku tengah berjalan dengan terburu-buru.
Tidak seberapa jauh dariku berdiri, aku melihat Mela tengah berjalan ke arahku. Ya Tuhan... apalagi yang di inginkan oleh perempuan itu? Dia mau apa lagi hingga masih mengganggu hidupku.
"Jauhi Wilman, dia itu milikku!" katanya sambil sedikit mendorongku.
Aku tak menghiraukan apa yang dia katakan. Aku berbalik dan kembali berjalan meninggalkan dia. Tapi dia mengejarku dan menarik tanganku dengan kasar.
"Kamu budeg ya?" katanya.
"Mau apa lagi?"
"Jauhi Wilman!"
"Kenapa harus menjauhi Wilman? Dia tunanganku dan kami akan segera menikah,"
"Wilman milikku!"
"Carilah laki-laki lain yang masih jomblo," kataku sambil kembali berjalan.
Dia kembali menarik tanganku dan memelintir tanganku ke belakang. Diperlakukan seperti itu aku tak tinggal diam. Aku langsung sedikit menekuk tubuhku dan membanting tubuh Mela ke depan.
"Dengar, jangan sekali-kali membangunkan singa yang sedang tidur, paham!" kataku sambil mengunci leher Mela hingga dia tak dapat bergerak.
Aku langsung meninggalkan dia yang masih tergeletak di pinggir jalan. Aku benar-benar tak paham dengan pemikiran perempuan yang satu itu. Apa karena saking sukanya sama aparat hingga dia mau merebut laki-laki yang sudah mau menikahi perempuan lain?
"Dasar perempuan gila," kataku sambil menoleh ke arah Mela.