Dengan langkah gontai aku memasuki halaman rumah Hendra. Di sana telah terparkir mobil Hendra menandakan dia dan kakek telah kembali dari desa sialan itu. Aku segera memasuki rumah Hendra. Begitu aku melangkahkan kakiku ke ruangan tamu, entah kenapa ada rasa yang tak enak yang aku rasakan. Rasanya ada sesuatu yang ganjil dengan rumah ini.Kembali aku teringat dengan apa kata Ricky tadi. Apa maksud Ricky berkata seperti itu dan ada apa dengan Hendra? Selama ini dia sangat baik kepadaku dan Wilman, tak ada sesuatu yang membahayakan diri kami.
Aku tarik napasku dalam-dalam, aku coba kesampingkan semua pemikiranku mengenai Hendra dan apa yang dikatakan oleh Ricky. Aku menganggap bahwa semua itu hanya sebuah kata-kata saja. Ricky sendiri tak mungkin mengetahui kehidupan Hendra, dia hanya orang baru di sini.
Ah ... semua benar-benar membuatku bingung tujuh keliling. Bagaimana mungkin Hendra berniat jahat padaku, pada Wilman. Tapi gak mungkin juga Ricky berbohong padaku. Apa untungnya dia berbohong seperti itu?
"Di, kamu kok bengong, kenapa?" tanya Hendra yang aku sendiri tak tahu sejak kapan dia berada di ruang tamu.
"Eh..." kataku bingung tak tahu harus jawab apa.
"Kamu kenapa bengong?" tanya Hendra lagi.
"Eh... itu... anu...." Aku masih bingung mau menjawab seperti apa atas pertanyaan yang Hendra ajukan.
"Anu apa Di?"
"Anu... aku lagi mikir di mana aku menyimpan tasbih milik Evi."
"Owh tasbih itu?"
"Ya tadi aku lupa naroh."
"Ini tasbihnya, tadi aku menemukannya di meja makan," kata Wilman sambil menunjukkan tasbih itu.
Bagaimana mungkin tasbih itu ada di meja makan? Aku ingat betul aku membawa tasbih itu ke halaman sebelum aku pingsan tadi. Dan aku tidak berjalan ke ruang makan sejak siuman tadi. Tapi mungkin tasbih itu tertinggal saat aku ke ruang makan tadi sebelum ke halaman. Tapi tidak... aku sangat yakin aku membawanya ke halaman.
"Kok bengong lagi, ada apa sih, Di?" tanya Wilman.
"Eh... gak apa-apa kok Wil," jawabku bingung.
"Dari tadi kamu bengong terus, Di, kamu nginep saja ya di sini?" tawar Hendra.
Menginap? Tidak... sepertinya aku tak bisa menginap di rumah Hendra. Kata-kata Ricky sangat mempengaruhiku hingga aku tak bisa percaya pada Hendra 100% seperti dulu. Aku harus pulang apa pun yang terjadi.
Aku terus memutar otak mencari alasan agar aku bisa pulang dan tak harus menginap di rumah Hendra. Besok hari minggu, aku tak bisa membuat alasan harus bimbingan karena hari minggu dosen pembimbingnya libur.
"Em... sepertinya gak bisa, Hen, besok Wilman ada kuliah," jawabku menolak permintaan Hendra dengan halus.
"Tapikan kalian bisa berangkat pagi dari sini, kamu belum terlalu fit, Di," paksa Hemdra.
Entah kenapa kali ini Hendra benar-benar memaksaku untuk menginap di rumahnya. Dia tak pernah memaksaku menginap di rumahnya, ada apa dengan dia? Kenapa tiba-tiba sikapnya seperti ini? Apakah, apakah benar apa yang dikatakan Ricky mengenai Hendra?
Ah... semua ini benar-benar membuatku pusing. Aku ingin sejenak saja melupakan semuanya. Aku ingin berlibur dan menenangkan diri. Ya... andai aku bisa berlibur seperti yang aku harapkan, tapi sayang aku tak bisa melakukan hal itu dalam waktu dekat ini.
"Ya sudah kalau kalian tak bisa menginap, aku tak bisa memaksa kalian," kata Hendra.
"Ya sudah kami pulang dulu, Hen," kataku.
"Kunciku mana, Di?" tanya Wilman.
"Ini," kataku sambil memberikan kunci mobil kepada Wilman. "Kakek mana, Hen?" tanyaku pada Hendra.
"Ayah sedang istirahat, mungkin dia kecapaian," jawab Hendra.
"Tolong sampaikan padanya kami pamit pulang," kata Wilman.
"Pasti," kata Hendra.
Setelah berpamitan aku dan Wilman langsung masuk ke dalam mobil. Wilman menjalankan mobil dengan perlahan. Aku melihat dari raut wajahnya seperti orang bingung, entah apa yang tengah dia pikirkan saat ini.Aku ingin bertanya apa yang sedang dipikirkan olehnya, tapi aku urungkan niatku itu. Aku melihat semakin lama raut muka bingung itu semakin jelas di wajahnya. Beberapa kali di hampir menabrakkan mobil ke pembatas jalan.
"Wil, hentikan mobilnya!" pintaku.
"Ada apa?" tanya Wilman setelah meminggirkan mobilnya.
"Turun kamu," perintahku dengan tegas. Tanpa banyak bicara Wilman langsung turun dari mobil. Aku mengikuti dia turun dari mobil. "Biar aku yang nyetir".
"Di, kamu gak punya SIM,"
"Lebih baik nyetir orang yang tak punya SIM tapi fokus daripada nyetir yang punya SIM tapi gak fokus."
"Maksud kamu apa?"
"Kamu berapa kali hampir menabrak pembatas jalan, Wil? Aku masih ingin hidup walau aku masih trauma dengan semua kejadian yang menimpa teman-temanku."
"Maaf, Di."
"Aku yang nyetir."
"Di...."
Aku tak menghiraukan apa yang dikatakan Wilman. Aku langsung berjalan dan duduk di belakang kemudi. Mau tak mau Wilman harus duduk di bangku di sampingku.Tanpa bicara aku langsung menjalankan mobil dengan kecepatan sedang. Wilman masih tetap diam dan terpekur dalam dengan berbagai pemikirannya yang entah apa itu.
Andai aku bisa berkonsentrasi, andai aku bisa melihat apa yang ada di matanya, mungkin aku tak perlu bertanya apa yang tengah ia pikirkan. Ya... aku memang memiliki kelebihan untuk mengetahui apa yang sedang orang pikirkan. Mengetahui apa yang orang lain sembunyikan dariku dan khalayak. Tapi aku jarang menggunakan kelebihanku yang satu itu. Terlalu berat beban yang harus aku tanggung ketika menggunakan kelebihan itu.
Jika ada yang bertanya beban apa itu? Maka akan aku jawab, beban itu adalah beban moral. Di mana seseorang yang berusaha menyembunyikan semuanya dengan susah payah tapi seketika semua itu tak berarti dihadapan kita karena kita telah mengetahui semuanya.
Semakin aku perhatikan Wilman, semakin dalam dia terhanyut dalam pemikirannya sendiri. Aku benar-benar kesal dengan keadaan ini. Apa dia pikir kalau aku ini supirnya hingga dia bisa bersikap seperti itu?
Dia diam seribu bahasa bagai di dunia ini tak ada orang lain yang bisa di ajaknya bicara. Aku kesal dengan sikap Wilman saat ini. Tanpa ancang-ancang aku langsung menginjak gas dan menambah kecepatan mobil. Wilman tersentak kaget dengan kecepatan yang aku jalankan.
"Di, pelankan mobilnya!" teriak Wilman namun aku tak menghiraukannya.
Aku terus menjalankan mobil dengan kecepatan yang tinggi. Beberapa mobil aku salip dengan penuh perhitungan. Wilman terus berteriak memintaku menghentikan atau memperlambat laju mobil tapi aku masih tak menghiraukannya.
"Diona, berhenti!" teriak Wilman yang aku yakini bahwa dia marah.
"Gak..."
"Diona Pranadi Wijaya," kata Wilman menyebutkan nama lengkapku.
Aku segera menginjak rem seketika mendengar nama lengkapku dia ucapkan. Aku tahu jika dia telah berkata demikian itu tandanya dia sangat marah.
"Kenapa kamu menjalankan mobilnya seperti tadi?" tanya Wilman.
"Aku kesal sama kamu!"
"Kenapa? Aku tak berbuat salah."
"Tak berbuat salah katamu? Lalu apa hah dari tadi wajahmu di tekuk hingga hampir menabrak pembatas jalan. Lalu kamu bersikap seolah di dunia ini hanya kamu seorang!"
"Aku gak apa-apa, Di."
"Gak apa-apa kamu bilang? Sini lihat mataku,"kataku sambil menatap dalam mata Wilman. Semua terlihat dengan jelas, apa yang di pikirkan Wilman hingga membuat dia tak fokus. "Aku tak suka di bohongi!"
"Aku gak bohong, Di!"
"Sudahlah," kataku sambil menjalankan mobilku dengan kecepatan yang wajar.