chapter 2

2186 Words
ALVAN terbangun saat merasakan guncangan di tubuhnya yang mulanya ringan namun semakin lama semakin rutin frekuensinya. Dilengkapi dengan lengkingan tepat disamping kiri telinga Alvan, cowok itu akhirnya membuka matanya sebagai refleks akibat mendengar lengkingan tersebut. Alvan mengerjapkan matanya ketika melihat sosok yang sedang nangkring di atas perutnya masih nampak buram. Secara perlahan sosok buram itu mulai jelas, jelas dan... "Mou?" Tanya Alvan meyakinkan. Maura--yang lebih sering dipanggil Mou-- nyengir saat melihat kakak laki-lakinya itu akhirnya bangun juga. "Mas Alvan, Mou kebangun, masih ngantuk tapi Mou takut tidur sendiri," adu Maura dengan ekspresi sedih. Kentara sekali adiknya itu memang sedang mengantuk saat mengatakannya. Maura adalah makhluk terpolos dan terjujur yang ada di rumah, maka Alvan yakin adik kecilnya itu tidak mungkin berbohong. Tapi, sendiri? Alvan melirik jam digital yang terpajang rapi di atas nakas. 02.45? Kemana Mama dan Papanya di jam sepagi ini sampai meninggalkan Maura tidur sendirian di kamar besar mereka. Ya, Maura ini persis sekali Alvan waktu kecil. Meskipun sudah punya kamar sendiri sejak kelas satu SD tapi Alvan dan Maura hanya ingin tidur bersama kedua orang tuanya, kalau tidak, mereka tidak akan bisa tidur. Alvan bahkan bertahan dengan kebiasaan itu sampai kelas tiga SD. "Lho, Papa sama Mama emang kemana Mou?" Tanya Alvan sambil mendudukan tubuhnya dengan posisi Mou masih menduduki perutnya. Untung saja Maura ini tubuhnya mungil, jadi Alvan tidak engap sama sekali. Mou menggeleng sebagai jawaban, mulut kecilnya membuka lebar--menguap--tanda kantuknya semakin menjadi. "Mas Al, Mou tidur sama Mas Al ya?" Tanya Mou sambil menyandarkan kepalanya di d**a Alvan. Melihat adiknya yang sudah samgat mengantuk membuat Alvan tidak tega. Oh, memang kapan Alvan pernah tega dengan malaikat kecilnya itu sih? Kalaupun dia menggoda Mou sampai menangis itu semua hanya karena Alvan terlalu gemas dengan adiknya itu. Alvan mengelus lembut punggung Maura dan dengan gerakan sangat hati-hati memindahkan Adiknya ke space kosong dikasurnya setelah sebelumnya membuat dinding penjagaan di pinggir untuk meminimalisir kemungkinan Maura menggelinding ke bawah dengan guling. Alvan menguap setelah yakin posisi Maura sudah nyaman. Rupanya dia juga masih sangat mengantuk. Kalau kemarin-kemarin Alvan masih bisa melanjutkan tidurnya sepuasnya ia mau, hari ini berbeda. Kenapa? Karena hari ini adalah hari pertama masuk. Alvan mendengus. Masih ada cukup waktu sebelum adzan subuh berkumandang, maka Alvan memutuskan untuk kembali tidur sampai adzan nanti. Alvan bahkan lupa memikirkan kemana hilangnya Papa dan Mamanya karena kantuk yang sudah melandanya. Alvan langsung terlelap saat tangannya terulur untuk memeluk Maura.  *** Matahari pagi bersinar cukup terik pagi itu, membuat hampir semua siswa yang sedang berbaris di lapangan dalam rangka upacara bendera mengeluh kepanasan. Bisa dilihat keringat mulai mengucur di tubuh mereka. Namun lain dengan Alvan, cowok itu sama sekali tidak mengeluh perihal terik matahari yang menyoroti tubuhnya melainkan perih pada perutnya. Alvan merintih pelan. Perutnya, tepatnya pada bagian lambung seperti sedang diremas-remas. Alvan menggigit bibir bawahnya sambil berpegangan pada bahu Nino yang berdiri di sebelahnya karena kebetulan kelas mereka bersebalahan sambil mengernyit bingung melihatnya. "Kenapa lo? Maag lo kambuh?" tanya Nino seakan paham dengan gelagat kesakitan Alvan. Alvan meringis. "Kayaknya dah, No. Semalem gua kagak makan malem terus tadi kesiangan juga makanya gak sempet sarapan!" Nino berdecak. "Ya elo lagian, udah tau punya maag, perut lo kan harus terus ada isinya Van, gegayaan pake gak makan segala!" omel Nino sambil merangkul tangan Alvan ke pundaknya lalu Nino menarik Alvan ke barisan belakang dimana para PMR berjaga.  Seorang petugas PMR cowok berkacamata langsung menghampiri dan membantu membopong Alvan untuk dibawa ke UKS. "Maagnya kambuh," ucap Nino kepada petugas PMR cowok itu. "Biar saya yang urus kak," ucap cowok PMR itu kepada Nino. Nino menatap Alvan sejenak, "gue balik ke barisan ya, Van?" yang akhirnya hanya dijawab Alvan dengan anggukan dan setelah menepuk sekali bahu Alvan, Nino berlari kembali masuk ke barisan. Di dalam ruang UKS ada dua murid yang sedang ditangani petugas PMR lain dan semuanya adalah perempuan. Alvan jadi malu sendiri karena dia adalah satu-satunya cowok yang tumbang di upacara pertama di semester baru ini. Kesannya kayak dia tuh lemah banget gitu. "Kak, saya bikinin teh anget dulu ya," ucap cowok PMR itu pada Alvan yang sudah berbaring di salah satu bangsal. Alvan hanya mengangguk mengiyakan, perutnya benar-benar perih saat ini. Keadaan UKS langsung sepi saat cowok itu keluar dari ruangan dan menutup pintunya sehingga hingar  bingar di lapangan mendadak tidak terdengar lagi. Cewek-cewek yang tadi sudah lebih dulu berada di UKS juga tidak memperdengarkan suara sama sekali mungkin karena mereka sedang tidur atau entahlah, Alvan tidak bisa melihat karena tirai bangsalnya ditutup.  Alvan dikejutkan saat tirai bangsalnya dibuka dengan agak kasar oleh seorang cewek yang membawa segelas teh yang masih sangat mengepul. Bisa dipastikan teh itu baru saja diseduh. Cewek itu juga terkejut saat mendapati Alvan disana dan dia diam untuk beberapa detik sebelum akhirnya melangkah mundur untuk pergi darisana namun Alvan dengan segera menahannya. "eehh, mau kemana?" tanya Alvan membuat cewek itu berhenti melangkah. "Hah?" "Sini dek, itu teh buat gue kan?" Alvan asing dengan wajah cewek itu, jadi Alvan berasumsi cewek itu adalah adik kelasnya. Lagipula PMR yang bertugas memang sekarang hanya anak-anak kelas sebelas saja, karena kelas dua belas sudah dilarang ikut keorganisasian lagi.  Cewek itu berkedip beberapa kali sebelum akhirnya menghampiri Alvan dengan ragu dan meletakkan gelas teh itu di meja kecil di samping bangsal Alvan lalu dengan cepat cewek itu kembali melangkah untuk meninggalkan Alvan namun lagi-lagi Alvan menahannya. "eeeh, bentar dong! Bantu--awwh bantuin gue dulu kek minumnya!" ucap Alvan gemas. Ini cewek kan cewek PMR, masa sama pasien cuek bebek begitu sih. Boro-boro nawarin bantuan, nanya 'masih sakit' atau apaan gitu aja enggak, ini malah cuma diem doang. Cewek itu terlihat agak kesal sedikit, tapi akhirnya dia kembali mendekati Alvan dan membantu cowok itu bangun dan bersandar kepada tembok, lalu cewek itu membantu Alvan meminum tehnya sedikit demi sedikit. Setelah menelan tehnya, Alvan kembali berbaring.  "Eh ambilin mylanta dong, gue biasanya minum gituan kalo lagi kambuh begini." perintah Alvan kepada cewek itu dengan posisi berbaring. Kalau sedang begini, Alvan terlihat banget mirip Papanya--Ruliano--yang bossy. Aura bos di diri Alvan juga sesekali sering muncul, contohnya seperti sekarang. Cewek itu menatap Alvan sejenak dengan tatapan tajam. Hanya sejenak sebelum akhirnya cewek itu melangkah menuju lemari obat sesuai perintah Alvan. Namun cewek itu menghampiri Alvan dengan tangan kosong. "Gak ada, obatnya belum pada di re-stock kayaknya," ucap cewek itu datar. Alvan menggeram. "Yahilah gimana sih, kerjaan PMR kan ngurusin ginian. Udah tau tahun ajaran baru udah dimulai, masa belum re-stock!" keluh Alvan kepada cewek itu.  Mendengar nada Alvan yang seperti menyalahkannya membuat cewek itu menghela nafas atau lebih tepatnya mendengus sebagai bentuk kekesalannya. "Mana gue tau. Tapi kalo lo mau, ada promag,"  ucap cewek itu lagi dengan sedikit ketus. "kenapa gak bilang daritadi kalo ada promag? Gimana sih lo, yaudah sini mana?"  Cewek itu terlihat kembali menghela nafas sebagai bentuk pertahanan emosinya yang sekuat hati ditahan agar tidak meledak. Cewek itu merogoh saku roknya dan mengeluarkan potongan strip promag yang isinya ada 4 butir lalu meletakkannya di ranjang Alvan. Alvan menatap obat itu lalu segera mengambil dan mengunyahnya sebutir. "thanks ya..." ucapan Alvan akhirnya menggantung karena cewek itu sudah menghilang dari bilik bangsalnya. Alvan mendengus. Adik kelas jaman sekarang yang emang kurang sopan sama kakak kelas, atau itu cewek emang lagi buru-buru banget sampe pamit pergi aja gak ada basa-basinya sama sekali? Alvan menghela nafas. Bodo amat, mending gue tidur.  Belum sempat Alvan memejamkan mata, tirainya kembali disibak namun kali ini cowok PMR yang tadi membawanya ke UKS lah yang datang dengan segelas teh panas, sebungkus roti dan satu botol mylanta.  "Loh kak? Udah ada yang bawain teh sama obat?" tanya cowok PMR itu melihat sudah ada gelas teh yang tinggal berisi setengah dan strip promag tergeletak di atas meja.  Alvan mengernyit. "Udah, tadi ada cewek yang bawain. Eh PMR gimana sih, masa obat UKS belum di re-stock padahal udah tahun ajaran baru." Cowok PMR itu masih tampak bingung dengan ucapan Alvan soal cewek yang membawakan teh manis untuknya. Oh, mungkin anak PMR lain kali ya. "Oh sebenernya udah ada kak, cuma pembina PMRnya lupa kalo obat-obatannya masih di ruang OSIS belum dipindahin." "Untung masih ada sisa promag, kalo kagak gue udah jerit-jerit nih tadi." Kata Alvan sambil menunjuk promag yang tadi diberikan si cewek misterius.  "Di lemari obat kosong kak, cuma ada kain kassa, perekat luka sama betadine doang. Itu mungkin obat pribadinya dia." Alvan tampak terkejut sejenak. Waduh, mana tadi gue ngomelin tu anak lagi. "Ohh, untung aja dia bawa-bawa promag."  "Orang yang sakit maag emang harus siap sedia itu kan kak." Alvan merasa tersindir. "Maksud lo nyindir gue, hah?" Cowok PMR itu mendadak panik dan membenarkan kacamatanya yang melorot dengan gugup. "Ehh enggak, i--ini kak rotinya dimakan dulu," ucapnya gelagapan sambil memberikan bungkusan roti dengan tangan gemetar.  Alvan terkekeh. Dibanding cewek PMR barusan, cowok ini bahkan lebih sopan dan lebih sedikit menghormatinya sebagai kakak kelas. Padahal Alvan bukan tipe kakak kelas tukang bully, hanya saja ketenarannya di SMA Bakti Siswa ini cukup untuk membuat Alvan dihormati oleh adik-adik kelas. Ya males juga sih cari ribut sama kakak kelas eksis, urusannya bisa lebar gara-gara mereka punya banyak fans. Tapi Alvan jadi penasaran, kira-kira siapa nama cewek PMR judes tadi ya? Bukan, bukan karena Alvan tertarik dengannya, hanya saja, Alvan ingin berterima kasih. KArena biar bagaimanapun, cewek itu sudah membantunya. Alvan melirik jam tangannya. Sebentar lagi upacara selesai dan jam pelajaran pertama dimulai. Alvan tidak sabar untuk melihat tampang-tampang teman sekelas barunya yang hampir sebagiannya Alvan kenal sejak kelas sepuluh ataupun sebelas. Iya, Alvan ini biarpun merupakan cowok-cowok eksis, tetapi Alvan tidak sombong. Alvan easy going orangnya dan bergaul tanpa pandang status. Biarpun dia anak seorang Direktur Utama sebuah perusahaan terkemuka di Indonesia, tidak membuat Alvan hanya berteman dengan anak-anak orang berada saja. Itulah juga mengapa Alvan menjadi salah satu cowok most wanted di SMA BakSis.  Alvan keluar dari ruang UKS dan menemukan Haryo, Nino dan Putra sedang berjalan ke arah UKS. Sepertinya tiga sohibnya itu mau menjenguk Alvan. "Lah, kok udah sembuh lu nyet? Belom juga dijenguk!" ucap Nino saat mereka sudah berhadap-hadapan. Alvan terkekeh. "Berkat doa ibu." "Udah macam bis antar kota aja anjir!" seru Putra mendengar jawaban Alvan yang asal. Haryo mengernyit. "Lah, Mama lo tau toh Van, lo sakit?" Alvan menggeleng. "Ya enggaklah! Lebay banget nyet maag doang ampe bilang nyokap. Lagian gue maag begini juga gara-gara nyokap bokap dah!" Ketiga teman Alvan mengernyit bersamaan. "Hah? maksud?" "Iya. Jadi tuh tadi pagi jam tiga kurang gitu si Mou tiba-tiba bangunin gue minta tidur sama gue gegara nyokap bokap menghilang entah kemana. Alhasil gue tidur lagi dan kesiangan setelahnya. Taunya nyokap bokap juga pada kesiangan, gegera mereka..." "Mereka?" "Kecapean." "Hah? Capek ngapain?" tanya Haryo polos. Minta ditempeleng banget polosnya, masa iya dia gak paham. "Ya lo mikir aje dah ngapain!" seru Alvan malas menjelaskan. Sedangkan Nino dan Putra sudah senyum-senyum m***m. "Gilee beneeerrr, om Rully sama tante Adri pantes awet muda ya, olahraga ranjangnya rajin." komentar Putra yang langsung bertos ria dengan Nino. "Wushh, kalian gak boleh bahas gituan. Privacy." Menurut Haryo--yang dikasih tau Yangtinya--bahas masalah semacam itu masih tabu dan melanggar privacy. Makanya Haryo memang agak sedikit polos soal begituan.  "Bodo amat dah, Yo." Alvan, Putra dan Nino akhirnya memilih meninggalkan Haryo yang sudah siap ceramah tentang apa yang Eyangtinya ajarkan padanya. "Lah kok gue ditinggal!" *** Alvan an Nino berpisah dengan Haryo dan Putra yang notabennya anak IPA ke bagian selatan gedung yang menjadi kelas-kelas anak IPS. Baru kemudian Alvan dan Nino yang berpisah karena berbeda kelas.  Begitu Alvan memasuki kelasnya, kelas itu sudah ramai terisi. Bisa dilihat wajah-wajah yang sudah tidak asing lagi di mata Alvan. Hanya saja semua itu kurang lengkap karena absennya Fadhil, salah satu sahabat Alvan yang juga nanti akan ia jadikan chairmatenya, yang sedang sakit.  Lalu mata Alvan bertubrukan dengan sosok cantik namun sedikit angkuh Ify, mantan pacar terakhirnya yang paling ingin Alvan hindari demi apapun. Ify yang saat itu juga tidak sengaja melihat kearah Alvan langsung membuang muka seolah tidak baru saja bertukar pandang dengan Alvan. Miris. Padahal saat mereka berdua pdkt dulu mereka sudah seperti sepasang kekasih yang sangat dekat. Alvan melangkah menuju kursinya yang ada di deret ketiga pojok. Deret tiga ke belakang memang di d******i oleh anak-anak cowok, secara cowok emang paling males kalo buat disuruh duduk di depan. Kan mereka jadi susah untuk iseng atau macem-macem. Tapi pandangan Alvan terpaku pada satu sosok yang mengisi kursi di depannya. Cewek PMR judes!  Wait, ngapain adek kelas ada di... OH.MY.GOD. Jadi dia bukan adek kelas? Alvan mengerjapkan matanya, memastikan kalau matanya telah salah lihat. Namun sepertinya sosok itu sama sekali tidak berubah. Tetap menunjukkan sosok yang sama seperti yang barusan Alvan temui di UKS. Melihat cewek itu sedang asyik berbincang dengan teman-teman ceweknya yang lain memperlihatkan jika cewek itu bukanlah anak baru. Hanya saja memang Alvan baru pertama kali melihatnya. Atau sudah pernah lihat sebelumnya tapi Alvan yang tidak ngeh? Ketika Alvan duduk di bangkunya, yang persis ada di belakang cewek itu, cowok-cowok yang duduk di belakang ALvan langsung menyapa dan mengajaknya berbincang, namun salah satunya--yang Alvan kenal dengan nama Ridho tiba-tiba berteriak memanggil nama seseorang. "Tar! Tara! Majuin dikit dong kursinya, belakang sempit nih!" Alvan menoleh ke arah orang yang tadi dipanggil Ridho.  Oh, cewek itu namanya, Tara.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD