Chapter 4

1700 Words
MENURUT Alvan, Tara lumayan cantik. Kulitnya putih bersih, rambutnya lurus panjang agak kecoklatan tapi coklat alami bukan hasil permak cat rambut, alisnya tebal tanpa goresan pensil alis dan bulu matanya lentik tanpa bantuan maskara. Kecantikan Tara adalah natural, Alvan tidak tau pasti apakah Tara mengenakan bedak atau lipgloss ke sekolah untuk wajah cerah dan bibir merah mudanya itu. Intinya, untuk sekilas, orang mungkin tidak akan begitu memperhatikan Tara, tetapi jika diperhatikan lebih detail , Tara itu cantik.   Mungkin kecantikan Tara masih belum apa-apa selama di kelas 12 Sosial 4 masih ada Ify, Vianita dan Karenina. Bukan hanya Tara, sepertinya cewek-cewek lain penghuni kelas tersebut juga jadi terlihat bukan apa-apa selama tiga cewek most wanted  SMA Bakti Siswa masih bercokol di dalam sana.   Mulai dari Ify. Namanya Aifika Nareswari. Cantiknya Ify ini sadis. Badannya mungil tapi bagian dadanya lumayan padat, intinya tipe-tipe bodi yang bisa bikin cowok-cowok. Kulitnya putih, tapi semenjak pulang liburan dari Bali kemarin, Ify sengaja membuat kulitnya jadi agak tan dan jatuhnya malah seksi. Gak dekil sama sekali. Top point dari Ify ini ada di bibirnya. Bibir Ify itu penuh dan agak tebal ala Angelina Jolie, kalau Ify pake lip matte itu jatuhnya jadi bagus banget. Tapi jangan kira Ify yang modelnya ala-ala selebgram ini adalah tipikal anak eksis sosial media. Ify ini orangnya jutek banget, sinis dan kalau ngomong memang agak sarkastik--tapi sepertinya cowok-cowok malah makin penasaran dengan sifatnya yang ini—dan dia tidak suka menjadi selebgram, akun instagramnya bahkan diprivate dan Ify hanya mengconfirm orang yang memang dia kenal. Ify juga tipikal top student. Dia selalu nangkring di peringkat tiga teratas sejak kelas sepuluh. Cantik iya, pinter iya juga. Makanya waktu dia dan Alvan jadian, semua orang setuju-setuju aja, soalnya mereka emang cocok banget kalau disandingkan. But, who knows? Hubungan mereka bahkan gak bertahan lebih dari tiga hari dan sampai hari ini masih jadi misteri.   Move ke Vianita dan Karenina. Mereka berdua gak jauh beda dari Ify. Tapi bedanya dua besties itu adalah selebgram. Vianita versi alim dan Karenina adalah versi bitchy. Entah bagaimana dua cewek yang sangat bertolak belakang itu bisa sahabatan. Ohiya waktu kelas sebelas saat mereka sudah jadi selebgram yang sering dapet endorse, sebulan sekali Vianita dan Karenina ini akan menraktir satu kelas untuk makan diluar. Secara bayaran endorse selebgram sekarang itu perhari bisa mencapai lima juta. Kalau mau sosial media kita banyak followersnya, tinggal minta shotout aja sama mereka.   Alvan sih senang-senang saja sewaktu tau dia sekelas sama salah tiga bidadarinya SMA Bakti Siswa. Kecuali Ify. Iya, Alvan masih agak gimana gitu kalau berurusan dengan Ify. Kayak masih ada sakit-sakitnya gitu.   Tapi Alvan udah move on kok. Bahkan sekarang Alvan lagi mencoba dekat dengan Alea anak IPS 3. Temen kelasnya Nino.   Alea ini tubuhnya rada berisi, tapi cantik, asik juga anaknya makanya Alvan suka.   By the way, Alvan ini orangnya kalau nilai cewek itu bukan Cuma dari fisik doang. Tapi kalau asik diajak jalan dan ngobrol, Alvan pasti lanjut terus buat deketin. Terbukti dua dari empat mantan Alvan itu tampangnya biasa-biasa aja, tapi mereka emang tipikal cewek-cewek yang humoris dan asik makanya bisa dipacarin sama seorang Alvan si most wanted boynya SMA BakSis.   Tiba-tiba Alvan jadi teringat Ify lagi. Ify bukan Cuma cantik—cantik banget—tapi juga asik. Makanya Alvan masih merasa kurang rela kalau hubungannya dan Ify kandas begitu aja. Lewat chat line pula.   “Van!” Alvan yang sedang asyik berkutat dengan ponselnya sambil mendengarkan lagu menoleh ke arah pintu kelas dimana Nino sudah berdiri menunggunya.   “Kantin gak?” tanya Nino kepada Alvan yang terlihat hanya duduk diam saja tidak beranjak.   Alvan melirik lingkaran anak-anak perempuan di barisan paling belakang—tepatnya di meja Ify. Ada sekitar delapan anak perempuan di kelas Alvan sedang duduk melingkari meja Ify itu sambil menikmati bekal dan bergosip, begitu juga dengan Ify. Alvan lalu menoleh lagi ke arah Nino dan menggeleng sambil sedikit berteriak karena posisinya yang lumayan jauh dari pintu kelas. “Gak deh, No! Absen dulu gua!”   “Yah kaga ada yang beliin gorengan dong!” seru Nino kecewa.   Alvan terbahak. Dasar, ngajakin Alvan makan ternyata karena gak ada donatur gorengan kalau Alvannya gak ikut. “Ye si kampret, gue dianggep donatur gorengan!”   Nino terkekeh, lalu bertanya “Napa lu kaga makan? Awas maag lu kambuh lagi!” katanya. Meskipun nadanya seolah bercanda, Alvan tau Nino sahabatnya itu tulus mengingatkan.   “Gak, gue udah makan tadi pas jam kosong.”   Nino hanya mengangguk lalu akhirnya melambai dan pergi dari pintu kelas Alvan meninggalkan cowok itu.   Alvan melirik kembali gerombolan cewek-cewek yang sedang asyik makan sambil mengobrol. Alvan lalu menangkap gerakan Tara yang sedang mengambil entah apa itu dari kotak bekal Ify, lalu tidak lama Ify juga melakukan hal yang sama ke bekal Tara. Sepertinya mereka sedang saling mencicipi. Lucu juga kali ya kalau ada yang bawain Alvan bekal begitu. Kalo Ify masih sama gue kita sekarang lagi makan berduaan kali ya...ih apaansih lo Van, Ify mulu yang lo pikirin.   “Lah Van, gak makan lo?” suara Tara yang akhir-akhir ini sudah mulai akrab di telinga Alvan yang muncul tiba-tiba membuat Alvan agak terkejut. Entah bagaimana caranya Tara tiba-tiba sudah ada di depan Alvan—tepatnya di mejanya—sedang berusaha membuka resleting tasnya entah untuk mengambil apa. Seperti apa kata Alvan waktu itu, Tara ini kalau sudah akrab pasti tidak masalah untuk menyapa duluan. Buktinya sekarang dia menyapa Alvan lebih dulu.   “Eh? Enggak, kan tadi gue udah makan pas jam kosong.”   “Alah biasa juga makannya banyak kayak kuli!” ledek Tara sambil masih berusaha membuka resleting tasnya dengan kedua belah tangan yang disatukan. Sepertinya Tara kesulitan membuka resleting tasnya karena tangannya yang berlumuran entah bumbu apa itu.   “Sialan lo!” protes Alvan. Lalu tanpa diminta tangan Alvan terulur untuk membukakan resleting tas Tara membuat cewek itu menyengir. “Hehehe, thanks Van, kirain gak peka.”   “Lagi makan apaansih lo ampe belepotan gitu tangannya.”   “Ituu gue bawa ayam penyet, kebiasaan nyubitin dagingnya pake tangan kalo di rumah eh lupa sekarang lagi di sekolah, jadi deh belepotan,” jelas Tara sambil merogoh tasnya mencoba mengambil botol air minum menggunakan pergelangan tangan yang didekatkan.   Alvan menggeleng-geleng. “Dasar! Eh tapi enak tuh ayam penyet, gue doyan.” Ucapnya sambil menutup kembali resleting tas Tara saat gadis itu sudah berhasil mengeluarkan botol minumnya.   Tara menatap Alvan yang sedang menutup resleting tasnya. “Lo mau, Van? Masih ada kok kalo lo mau,” tawar Tara sambil sekilas melirik ke kotak bekalnya yang masih berada di meja Ify karena memang dia belum selesai makan.   Alvan terkejut. “Hah? Boleh emang? Lo entar gak kenyang lagi kalo gue mintain!” Alvan cukup terkejut karena tidak menyangka Tara akan menawarinya bekal. Secara mereka belum deket-deket banget. Ya baru sebatas sering tegur dan ngobrol kalau ada jam kosong atau pergantian jam. Itu juga tidak begitu jauh, bersifat umum tidak membahas hal pribadi sama sekali. Kalaupun pribadi ya hanya sebatas interest  masing-masing saja, tidak sampai ke urusan keluarga atau lain-lain yang lebih personal.   “Yaelah selow sih, Van. Gak apa-apa gue orang bawanya lumayan banyak tadi si tetehnya lupa gue kasih tau nasinya jangan banyak-banyak, itu udah dimintain sama Dewi aja masih banyak.”   Alvan mengerjap. Padahal tadi Alvan tidak ada rencana untuk kode minta bekal sama sekali. Murni Cuma ingin memberitau Tara kalau dia suka ayam penyet. Tapi kenapa Alvan tiba-tiba jadi beneran kepengen ayam penyet bekalnya Tara, ya?   “Be—beneran?” tanya Alvan meyakinkan.   Tara terkekeh. “Iya elah woles, bentar ya!” ucapnya lalu Tara berjalan kembali ke meja Ify.   Dewi yang melihat Tara yang tadi bercakap-cakap dengan Alvan menatap Tara kepo. “Ngomongin apaan lo sama Alvan?” tanyanya kepo.   Tara mengernyit. Perasaan suara Alvan dan Tara tadi saat berbincang tidak pelan-pelan kok, masa iya gak kedengeran? “Emang kesini gak kedengeran?”   “Yailah Tar, kayak gak tau congor kita-kita aja kalo lagi ngumpul ngalahin toak masjid. Ngomongin apasih emang?” kali ini yang bertanya adalah Fara. Rupanya semua pada kepo.   Tara melirik Ify sekilas. Tampang Ify cuek-cuek aja. Bahkan terkesan tidak perduli. “Gitu doang kok, yaelah masa harus gue laporin, sih?”   “Ihh kan kali aja dia nanya-nanyain Ify!” ucap Dewi sambil mencolek-colek lengan Ify yang hanya ditanggapi dengan datar oleh cewek cantik itu. “Enggak lah, gue nawarin dia bekel doang kok.”   “Hah? Ngapain?”   Tara mengedikkan bahunya, malas mengulangi jawabannya. Lalu Tara mengangkat kotak bekal berwarna ungunya dan membawanya ke mejanya, oh tidak, tapi meja Alvan. “Nih, sendoknya cuci aja dulu kalo mau.”   Alvan menatap agak tidak percaya kotak bekal yang diberikan Tara. Cewek itu serius memberikannya. Isinya bahkan masih banyak, ayamnya juga masih ada separuhnya. “Seriusan gak apa-apa ini?” tanyanya ragu.   Tara berdecak. “Yaudah gue ambil lagi nih ya!”   Alvan langsung menarik kotak bekal itu ketika Tara bersikap seolah akan mengambilnya. “Ehh enggak jangan dong!”   Tara tertawa. “Abisin ya, nanti tulangnya buang ke tong sampah. Sendoknya kalo mau dipake cuci aja dulu.”   “Ahh gak usah, lo gak penyakitan ini, kan?” ucap Alvan santai dan bersiap untuk menyantap bekal milik Tara tersebut.   Tara mengerjap. “Eh? Tapi kan...”   Alvan menatap Tara dengan dahi mengernyit. “Tapi kenapa? Gue bercanda kok soal penyakit, makasih ya by the way!” ucap Alvan lalu mulai menyendok nasi yang sudah tercampur bumbu ayam penyet lalu melahapnya.   Tara masih terdiam menatapnya. Aneh saja rasanya saat melihat seorang cowok memakai sesuatu bekas mulutnya. Ya meskipun bukan Tara yang memakai bekasan Alvan tapi sebaliknya, tetap saja. Rasanya aneh. Ini pertama kalinya Tara melihat seseorang yang tidak ada hubungan darah atau keluarga dengannya makan dengan sendok yang sama dengannya. Dalam kasus ini mengenakan sendok bekasnya.   “Enak Tar! Ini mama lo yang masak?”tanya Alvan sambil mengunyah makanan di mulutnya.   “Enggak, si teteh yang masak tapi resepnya resep mama,” jelas Tara. Sebelum Alvan kembali bertanya Tara langsung buru-buru menambahkan, “eh gue cuci tangan dulu ya Van, entar kalo udah taro tas gue yang paling depan, tapi bungkus plastik dulu takut belepetan.”   “Oke, sip!”   Lalu Tara segera beranjak keluar kelas meninggalkan Alvan yang asyik menyantap bekal miliknya. Tara sendiri tidak sadar sejak kapan dia jadi seakrab ini dengan Alvan?
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD