Enam bulan sebelumnya,
Di dalam Paddock Area, terlihat beberapa mekanik tengah sibuk membongkar ban motor yang akan digunakan untuk sesi Free Practice (FP) atau sesi latihan bebas yang akan dilangsungkan beberapa menit lagi. Mereka harus mempersiapkan motor dalam kondisi terbaik agar bisa melaju kencang sehingga pembalap mereka bisa keluar sebagai yang tercepat ketika babak kualifikasi dimulai.
Sang pembalap, Naufal Aeroon Caesar, terlihat sedang duduk di salah satu kursi seraya menarik napas panjang dan mengembuskannya dengan perlahan berulang kali. Pemuda tampan berusia 19 tahun itu sudah mengenakan seragam lengkap yang akan digunakan untuk sesi FP tersebut. Hanya tinggal mengenakan helm pelindung maka dia pun sudah siap menjalankan tugasnya sebagai seorang pembalap.
Kedua kakinya bergerak gelisah karena dia sudah tidak sabar ingin segera melaju di lintasan untuk memacu kuda besi kesayangannya.
“Kamu kelihatan gugup.”
Naufal mendongak karena suara seseorang yang sangat familiar untuknya, baru saja menyapa. Seulas senyum seketika tersungging di bibir pemuda itu, ternyata orang yang menyapanya adalah dia … sang manager sekaligus sosok wanita yang diam-diam dia sukai meski usianya terpaut lima tahun lebih tua darinya. Steffany nama sang manager cantik bertubuh seksi yang selalu sukses membuat Naufal meneguk ludah setiap melihat lekuk tubuhnya yang indah.
Jantung Naufal berdetak luar biasa cepat saat Steffany tiba-tiba mendudukan diri di kursi tepat di sampingnya.
“Butuh sesuatu? Air minum mungkin?”
Naufal mengangguk-anggukan kepala, senyuman terus terulas di bibirnya karena senang mendapat perhatian dari wanita yang dia cinta. “Boleh,” jawabnya.
“Ok, tunggu sebentar.”
Steffany bangkit berdiri dari duduknya, melenggang santai menuju botol minum khusus untuk pembalap diletakan. Naufal bersiul saat tatapannya tertuju pada b****g wanita itu yang tampak menggoda di matanya.
“Hei, kamu ini masih anak-anak, jangan melihat tubuh wanita sambil meneteskan air liur seperti itu.”
Naufal berdecak, kegiatannya menatap tubuh seksi Steffany rupanya tertangkap basah oleh salah satu mekaniknya.
“Jangan banyak bicara, lebih baik kamu cepat selesaikan motornya. Aku sudah tidak sabar ingin ke lintasan,” balas Naufal, dengan sengaja mengalihkan pembicaraan.
“Alaah, bilang saja kamu alasan.” Sang mekanik kini berdiri di hadapan Naufal, “Yang aku bilang tadi itu dengarkan baik-baik. Kamu masih kecil jadi daripada terlibat dengan wanita lebih baik kamu fokus pada balapan. Ingat, besok kamu harus menang. Kamu bilang ingin menjadi juara dunia, bagaimana bisa jadi juara dunia atau naik ke kelas MotoGP kalau kamu kalah terus?”
Naufal memutar bola mata, “Balapan musim ini baru berlangsung dua kali. Wajar jika aku masih beradaptasi dengan motor baru. Lihat saja, mulai balapan ini aku pasti akan menjadi juara. Aku akan menempati podium pertama.”
Sang mekanik tertawa, “Ya, ya, semoga saja. Tapi aku rasa itu akan mustahil untukmu jika kamu terus fokus menatap Steffany seperti pria haus belaian dibandingkan pembalap yang fokus memikirkan cara untuk menjadi juara.”
“Aku sama sekali tidak fokus menatap Steffany. Jangan salah paham.”
Mekanik itu kini mendengus, “Kamu pikir mataku buta. Aku melihatnya, kamu selalu mencuri-curi kesempatan untuk menatap manager kamu yang cantik itu.”
“Sialan. Jadi selama ini kamu selalu memperhatikan aku?”
“Tidak diperhatikan juga kelihatan. Kamu memang menyukai Steffany, kan? Ingat, dia itu lebih dewasa darimu. Aku ragu dia akan menyukai bocah ingusan sepertimu.”
Naufal menggeram tertahan, kesal mendengar si mekanik yang terang-terangan sedang mengejeknya.
“Aku mendengar namaku disebut-sebut? Ada masalah sampai kalian membicarakanku?”
Naufal terkejut bukan main begitu suara Steffany yang baru saja kembali sambil membawa botol minum untuknya terdengar dari arah belakang. Seketika pemuda itu gelagapan karena takut Steffany mendengar pembicaraan mereka tadi.
“Ada seseorang yang ingin bicara denganmu, Stef,” celetuk sang mekanik yang detik itu juga membuat Naufal mendelik tajam padanya seolah sedang berkata [tutup mulutmu!] dengan isyarat tatapan mata itu.
“Oh, ya? Siapa yang ingin bicara denganku?” tanya Steffany penasaran.
“Kamu akan segera mengetahuinya sebentar lagi. Yang pasti aku ingin tanya kamu sudah punya pacar belum, Stef?”
Steffany terkekeh, “Pacar? Apa kita harus membicarakannya sekarang di saat sebentar lagi kita harus bekerja keras supaya pembalap andalan kita ini bisa meraih pole position di babak kualifikasi nanti?”
“Untuk urusan mesin motor sudah OK. Bannya juga. Justru yang jadi permasalahannya itu pembalap andalan kita ini sepertinya sedang tidak fokus pada balapan,” kata sang mekanik sambil iseng menepuk-nepuk bahu Naufal.
“Loh, serius? Kamu sedang tidak fokus balapan, Fal? Kenapa?”
Naufal menggelengkan kepala dengan tegas, “Jangan dengarkan dia. Aku sedang berada di performa terbaikku hari ini. Aku pasti akan meraih pole position, aku akan menjadi tercepat di sesi FP sebentar lagi. Jangan khawatir.”
Mendapat acungan jempol disertai melihat senyuman menawan dari Steffany sukses membuat Naufal semakin menegang di tempat. Seandainya saja dia sedang tidak di paddock area dimana banyak orang tengah berada di sana, pasti dia sudah menyatakan perasaannya pada Steffany. Dia rasa-rasanya sudah tidak sabar ingin segera memiliki dan menjalin kasih dengan wanita itu. Naufal benar-benar tidak peduli dengan perbedaan usia mereka yang terbilang cukup jauh.
“Stef, kemari sebentar!”
Steffany menoleh pada seorang staff yang baru saja memanggilnya, dia lalu menatap pada Naufal dan sang mekanik yang masih setia berdiri di tempat. “Aku ke sana dulu sebentar. Fal, ini minumannya.”
Naufal menerima tanpa ragu botol minum yang diberikan Steffany padanya. Seperti biasa menatap wanita itu saat berjalan menjauh hingga sosoknya menghilang dari pandangannya.
“Aku tahu Steffany itu memang cantik dan menggoda. Tapi menurutku, kamu mustahil bisa mendapatkannya.”
Naufal mendelik, lagi-lagi sang mekanik mengatakan sesuatu yang membuatnya kesal. “Jangan bicara sembarangan seolah kamu bisa membaca pikiran dan isi hatinya saja,” balasnya sembari mengerutkan wajah, menunjukan secara terang-terangan bahwa dia tersinggung.
“Aku hanya mengatakan fakta, dia terlalu dewasa untukmu, Fal. Cari saja gadis seusiamu.”
Naufal berdecak, “Jangan ikut campur urusanku. Kamu ini bukan siapa-siapa. Ingat, kamu hanya mekanik di sini.”
“Iya, mekanik yang mengenalkanmu pada team ini sehingga kamu bisa terpilih dan dikontrak sebagai pembalap.”
Naufal seketika terdiam karena yang dikatakan mekanik bernama Daniel itu memang benar. Berkat pria berkepala pelontos itu dia bisa diterima dan dikontrak sebagai pembalap di team racing ini.
“Aku tebak dia pasti cinta pertamamu, kan?”
Naufal menghela napas panjang, “Apa perlu kita membahas ini sekarang?” Pemuda itu melirik ke arah jam yang bertengger kokoh di dinding, seharusnya hanya tersisa waktu 5 menit lagi maka dia harus memacu motor miliknya di lintasan untuk mengikuti FP4 atau FP yang terakhir sebelum kualifikasi dimulai.
“Kamu sendiri yang bilang aku harus fokus pada balapan. Lalu ini apa? Kamu malah membahas masalah cinta pertama denganku?”
“Aku memberitahumu karena aku tidak ingin kamu terluka karena cinta. Cinta bisa membuat hidup seseorang hancur.”
Naufal tertawa lantang, “Sayangnya aku percaya Steffany justru akan memberikan kebahagiaan padaku jika kami menjadi pasangan kekasih nanti. Aku cinta padanya karena aku yakin dia yang terbaik dan paling cocok untukku.”
Naufal tersentak kaget saat dadanya tiba-tiba ditepuk cukup kencang oleh Daniel, “Kena kamu! Ternyata benar kan kamu memang menyukai Steffany? Sudah kuduga sejak awal, kamu selalu mengelak akhirnya kamu mengakuinya juga sekarang.”
Mendengar kata-kata Daniel disertai tawanya yang menggelegar, Naufal menyadari dia baru saja melakukan tindakan bodoh. Dia sudah terjebak dan terpancing ucapan pria itu.
“Fal, sudah saatnya. Persiapkan dirimu!”
Itu suara Steffany yang baru saja memberikan instruksi pada Naufal bahwa sesi FP4 akan segera dimulai. Mengabaikan Daniel yang masih menertawakannya, Naufal bangkit berdiri dari duduknya.
“Ketawa aja terus sampai rusak itu pita suara,” kata pemuda itu sembari mengenakan helm-nya.
“Katakan padanya sebelum dia diambil orang, Fal. Kalau bisa setelah kualifikasi selesai nanti, nyatakan perasaan kamu padanya atau kamu akan gigit jari karena terlambat dia keburu diambil orang.”
Naufal menggelengkan kepala, Daniel benar-benar merusak mood dan fokusnya. Pria itu … rasa-rasanya ingin Naufal tendang saja dari Paddock area team-nya.
Mungkin Naufal memang berpikir Daniel hanya pengganggu, tapi kenyataannya saat kini dia berdiri di samping Steffany karena menunggu motornya dikeluarkan dari dalam paddock, pemuda itu berdeham.
“Stef,” panggil Naufal.
“Ya, kenapa?”
Naufal terlihat memejamkan mata seolah pemuda itu sedang menahan kegugupannya. “Kalau aku berhasil meraih pole position di babak kualifikasi nanti, aku ingin bicara sesuatu denganmu. Kamu bersedia, kan?”
Steffany melongo beberapa detik, sebelum senyuman terulas di bibirnya. “OK, aku tunggu kalau begitu. Pastikan kamu meraih pole position ya,” sahutnya sembari mengedipkan sebelah mata yang bagi Naufal respon Steffany itu menjadi bahan bakar untuk penyemangatnya hari ini.
***
Mungkin memang benar jika motor Naufal menggunakan bahan bakar yang dipasok dari Elf, bagian dari perusahaan minyak raksasa asal Prancis, Total. Sehingga motornya bisa melaju dengan kencang. Bahan bakar untuk penyemangat Naufal tidak lain adalah senyuman Steffany.
Hasil yang diraih Naufal dalam babak kualifikasi beberapa menit yang lalu terbilang sangat memuaskan. Motornya berhasil menjadi yang tercepat dan dia berhasil meraih pole position untuk balapan besok, yang mana artinya dia akan menempati posisi start paling depan, tentu saja ini keuntungan yang sangat besar untuk Naufal, kesempatannya untuk menduduki podium pertama semakin terbuka.
Sesuai kesepakatan, Steffany benar-benar bersedia diajak bicara empat mata oleh Naufal. Kini mereka sedang berada di belakang paddock area dimana mereka yakini tak ada seorang pun di sana yang akan mendengarkan pembicaraan mereka.
“Kamu mau bilang apa, Fal?” tanya Steffany, karena Naufal tak kunjung bersuara padahal mereka sudah hampir lima menit lamanya berdiri di sana.
Steffany mengernyitkan dahi saat melihat Naufal terlihat jelas sedang menahan kegugupan membuatnya semakin penasaran ingin mengetahui apa yang ingin dikatakan pembalap Rocky yang ada di bawah naungannya tersebut.
“Kalau kamu tidak mau bicara, ya sudah, kita kembali saja ke paddock area, ada sesuatu yang harus aku urus.”
“Eh, tunggu dulu, Stef. Jangan pergi dulu,” sahut Naufal terlihat semakin panik begitu mendengar Steffany ingin pergi meninggalkannya.
Steffany mengurungkan niat untuk pergi, wanita berusia 24 tahun itu kini berdiri sambil bertolak pinggang di hadapan Naufal. “Jadi, kamu mau bilang apa?”
“Kamu sudah punya pacar belum?” tanya Naufal, baginya ini pertama kalinya dia akan menyatakan cinta pada seorang wanita. Terutama ini pada wanita yang lebih tua darinya.
Steffany mengerjapkan mata, mulai mencurigai sesuatu. “Untuk saat ini tidak ada. Kenapa memangnya?”
Seketika Naufal tersenyum sumringah, terlihat lega karena wanita incarannya ternyata masih sendiri sama sepertinya.
“Aku suka sama kamu, Stef. Kamu mau tidak jadi pacar aku?”
Jantung Naufal berdetak cepat seolah kapan pun siap melompat keluar dari rongga d**a. Dia begitu gugup menantikan jawaban Steffany yang tiba-tiba terdiam karena mendengar pernyataan cintanya.
“Hah? Apa kamu bilang, Fal? Kamu mengajakku berpacaran?”
Dengan tegas, Naufal mengangguk, “Ya. Kamu mau, kan?”
Steffany terkekeh, “T-Tunggu, tunggu, kamu mengajakku berpacaran padahal aku ini jelas-jelas lebih tua dari kamu.”
“Memangnya kenapa?”
“Kenapa? Tentu saja ini mustahil, Fal. Kalau perbedaan usia kita hanya satu atau dua tahun, masih bisa diterima. Masalahnya …” Steffany merentangkan salah satu telapak tangannya, membentuk angka lima seperti perbedaan usia mereka yang terpaut lima tahun. “… aku ini lebih cocok menjadi kakak kamu dibanding pacar.”
Wajah ceria Naufal seketika berubah masam, terlihat dia begitu tersinggung dengan ucapan Steffany tersebut. “Aku tidak peduli dengan perbedaan usia kita yang terpaut lima tahun. Memangnya kenapa? Itu bukan masalah kan selama aku mencintaimu?”
Steffany menggeleng-gelengkan kepala, “Bagi kamu mungkin tidak masalah. Tapi bagiku ini masalah.”
Kedua alis tebal Naufal menyatu, “Kenapa jadi masalah untukmu?”
“Kamu mau tahu?”
“Ya,” jawab Naufal.
“Karena di mataku, kamu itu masih anak remaja. Jujur saja ya, anak remaja sepertimu bukan seleraku. Aku suka pria dewasa. Jadi, sori. Aku tidak bisa menjadi pacarmu.” Steffany berniat pergi, tapi entah apa yang terjadi karena tiba-tiba wanita itu mengurungkan niat dan kembali menghadap Naufal yang masih berdiri mematung di tempat.
“Kecuali kalau kamu bisa membuktikan kalau kamu sudah menjadi pria dewasa, mungkin aku mau jadi pacarmu.”
Naufal terbelalak, “Bagaimana cara aku membuktikan kalau aku ini sudah dewasa?”
Steffany mengedipkan sebelah mata, “Untuk masalah itu, kamu pikirkan sendiri. Nah, Naufal sayang. Aku tunggu pembuktian darimu kalau kamu ini pria dewasa, bukan anak remaja seperti yang aku lihat.”
Setelah itu Steffany pun melenggang pergi, meninggalkan Naufal yang kini memutar otak memikirkan cara untuk membuktikan dirinya sudah dewasa alih-alih anak remaja seperti yang dikatakan Steffany.