Rindu

941 Words
"Entah seberapa lama pun kita berpisah. Atau sejauh mana pun aku berusaha pergi. Tetap saja, rindu itu masih terus menghinggapi." BINTANG. _________ Kedua tangan sibuk mengobati luka, mata juga berkonsentrasi penuh membantu tangan. Tapi tetap saja, mulut tak berhenti berceloteh. "Ibu kan sudah bilang, gak usah main sepeda-sepedaan dulu. Kita masih baru di sini. Kita belum tahu daerah seperti apa tempat tinggal kita sekarang ini. Untung cuma jatuh dari sepeda. Kalau ada orang jahat terus berniat buruk sama kamu, gimana? Kamu mau minta tolong sama siapa?"  Wanita. Makhluk multitasking yang bisa mengerjakan lebih dari satu hal dalam satu waktu. Dan dalam hal ini, Ibu adalah juaranya. Pernah suatu waktu, saat aku demam akibat hujan-hujanan sepulang sekolah. Meskipun ditinggal ayah keluar kota selama satu minggu, ditambah mengurusi aku yang panasnya tak kunjung turun tiga hari lamanya, belum lagi melayani para tetangga yang memesan kue rumahan buatan ibu. Tapi, semua pekerjaan satupun tidak ada yang terabaikan. Ibu sanggup mengerjakan pekerjaan rumah, merawat aku, plus menepati janjinya pada mereka yang sudah terlanjur memesan kue. Ibu memang Ibu yang luar biasa. Pasti Ibu sangat lelah. Pantas saja, kian hari kulihat kerutan semakin bertambah di wajahnya. Ibu, lelahmu mengurusi aku. Kupastikan tak akan pernah sia-sia. Ingin kuperlihatkan betapa jerih payahmu akan berakhir dengan senyuman bahagia. "Bintang, sakit ya? Maafin Ibu ya, Ibu nggak pelan-pelan ngobatinya." Raut penyesalan tergambar jelas di wajah Ibu. Tangannya berhenti mengobati luka di kakiku. "Enggak kok, Bu. Nggak sakit. Beneran." Kuacungkan dua jari sambil tersenyum lebar. Berharap agar Ibu percaya dan berhenti merasa bersalah. "Terus kenapa kamu nangis, Sayang?" Jemari lentiknya mengusap lembut pipiku. Menangis? Ya ampun Bintang. Cengengnya kamu!! "Enggak Ibu. Bintang nangis bukan karena sakit. Tapi Bintang terharu dengan kasih sayang yang Ibu beri buat Bintang." Kugenggam erat kedua tangannya, "Terimakasih udah jadi Ibu yang hebat buat Bintang, Bu." Manik matanya berkaca, dan aku yakin akan segera menetes seketika saat Ibu mengedipkan mata. "Tidak ada kata terima kasih untuk segala hal baik yang kita lakukan demi orang yang kita sayang." Dan akhirnya, kristal bening itu mengular menelusuri setiap lekuk di wajah Ibu. Segera kumenghapusnya. Malaikat secantik Ibu nggak boleh menangis. Gara-gara aku yang mendramatisir keadaan, Ibu jadi menangis. Dasar Bintang payah!!! Hibur Ibu, Bintang...hibur Ibu!! "Udahan, ah menyek-menyeknya. Ibu jelek kalo lagi nangis." Aku menjulurkan lidah, menyipitkan mata, dan berkspresi sejelek mungkin. Usahaku berhasil! Semburat senyum tergambar di wajah Ibu. Menampilan dua lesung pipit di setiap sisinya. Salah satu warisan Ibu yang di turunkan padaku. "Dasar, Jeleknya Ibu!!" Ibu membalasnya dengan mencubit hidung yang tak terlalu mancung milikku. Lumayan sakit memang, tapi tak apa. Asal Ibu bisa tersenyum, aku rela. "O iya, Bu. Tau gak, cowok yang aku tabrak itu ternyata gak tau malu banget. Masa dia mesra-mesraan di tengah jalan sama cewek yang belum jadi istrinya. Astaghfirullah hal adzim...!!" Aku hampir lupa untuk menceritakan ini. Kejadian yang bagi kebanyakan orang adalah hal yang wajar, tapi di mataku itu benar-benar hal yang menjijikan. Bagaimana bisa dua orang yang bukan makhromnya berani bermesra-mesraan di depan umum. Tanpa rasa malu pula!! "Ya Allah. Mesra-mesraan gimana, Bi?" "Gini, Bu. Si ceweknya juga, agresif banget. Ngeraba-raba muka itu cowok. Iih, pokoknya jijik banget deh!!" Aku jadi bergidik ngeri sendiri, meragain adegan mereka tadi. "Hush... Gak boleh gitu. Mungkin mereka belum tahu, mungkin juga mereka itu bukan muslim. Jadi melakukan perbuatan seperti itu di depan umum sudah biasa. Atau bisa jadi, mereka sudah menikah. Biasakan buat nggak berpikiran negatif sama orang, Bintang." Ibu ada benarnya juga, kenapa aku langsung men-judge mereka yang tidak-tidak padahal aku nggak tau apa-apa tentang mereka. Hmmm... Ibu. Terbuat dari apa hatimu itu? Hingga begitu lembut dan penuh kasih sayang. "Yasudah... Mending sekarang kamu mandi. Abis itu kita makan malam bereng." Setelah selesai merapikan kotak p3k, Ibu berlalu menuju dapur. "Oke Boss...," ucapku dengan suara yang lebih keras. *** Semua makanan sudah terhidang, termasuk air putih juga apel sebagai pencuci mulut. Tiga piring kosong juga telah Ibu siapkan. Tapi ayah, belum juga pulang. Akhir-akhir ini, semenjak naik jabatan. Ayah jadi sering pulang malam. Kadang, Ibu jadi harus begadang demi menunggui ayah pulang. Bukan tidak senang melihat karir ayah di kantor yang semakin cemerlang. Tapi, aku dan ibu juga butuh perhatian. Butuh kasih sayang. "Bintang, kamu makan dulu aja, ya. Ayah kayaknya masih lama deh pulangnya," pinta Ibu. Aku selalu suka setiap Ibu memanggilku dengan nama kesayangan itu. Di saat semua orang memanggilku Bintang, hanya orang terdekatku lah yang memanggilku Bila. Bintang Larasati. "Ibu juga, yah? Plisss...." Aku menangkupkan kedua tanganku di depan. Memohon agar Ibu mau ikut makan bersama. "Iya," jawabnya diiringi anggukan kecil. Yess!! Hari ini hari Jum'at. Biasanya, menjelang akhir pekan pekerjaan ayah sedang banyak. Bisa jadi malam ini ayah pulang sampai larut. Aku nggak akan tega ngebiarin ibu menahan lapar selama itu. "Bintang mau pake sayur?" Aku menggangguk dengan bersemangat. "Mau, Bu." "Ini." Sambil menyendokkan sayur ke dalam piring. Ibu mengulanginya, "Kamu juga mau kan, Tiaa...." Sayangnya, saat Ibu menoleh ke sebelah kirinya, ia tidak menemukan siapa-siapa di sana. Demi melihat kekecewaan yang teramat di mata ibu, aku berhenti mengunyah. Makanan yang sudah terlanjur di dalam mulut pun rasanya sulit sekali untuk di telan. "Ibu," lirihku setelah susah payah berusaha menenangkan diri. Wanita tangguh di hadapanku itu tersenyum, meski matanya berkaca-kaca. "Ibu lupa kalau Kak Tiara udah di Surga." Menggigit bibir bawah. Hanya itu yang bisa aku lakukan untuk menahan agar air mata tak menetes. "Ayo kita makan, Bu." Aku berusaha mengalihkan pikiran ibu. Ibu setuju. Lalu kami terdiam, saling berkutat pada pikiran masing-masing. Sesekali kulihat ibu mengusap wajah. Tapi setiap kali Ibu tau aku melirik ke arahnya, saat itu juga ia akan tersenyum padaku. Ini sudah berjalan tahun keenam semenjak kak Tiara tiada, namun rasa rindu itu masih tetap saja singgah.  Rindu pada dia yang tak bisa lagi kulihat wajahnya. Kak Tiara.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD