Takdir Tuhan

1153 Words
"Di dunia ini, Manusia hanya mampu merencanakan. Tapi pada akhirnya, Tuhanlah yang menentukan." INDRA. _________ Senin, hujan, dan ulangan. Ah!! Kenapa hal-hal menyebalkan terjadi di waktu bersamaan, Tuhan? Apa takdir yang Kau rencanakan hari ini?! "Sabar, Ndra." Dengan penuh pengertian, Rasti mengusap lembut bahuku. Melihat ekspresiku yang bersungut-sungut menghadapi kemacetan pagi ini. Gimana nggak kesal coba! Hari senin adalah hari yang super sibuk. Tanpa perlu hujan pun, jalanan pasti akan sangat macet. Belum lagi di sekolah nanti, di jam pertama ulangan Matematika telah menanti. Dengan guru yang super duper killer. Kalau berada di dunia fantasy, sudah pasti di kepalaku akan muncul dua tanduk merah, dengan kobaran api yang menyala-nyala di tengahnya. Melirik ke arah Rasti. Dengan santai, gadis itu memerhatikan tiap tetes air yang mengalir di permukaan kaca mobil. "Ras," panggilku lirih. Dia menoleh, tersenyum. Manis sekali. "Apa...Indraku sayang?" "Kok kamu santai-santai aja, sih?" "Terus aku harus apa, Ndra? Jingkrak-jingkrak?" "Hibur aku, kek. Biar nggak suntuk," pintaku manja. "Mmm...mau dihibur apa?" Dia mendekatkan wajah yang menggemaskan itu padaku. Rasti, pliss. Singkirkan wajahmu itu dari hadapanku. Aku sedang menyetir. Jangan sampai kita nggak sampai sekolah dan justru berakhir di rumah sakit karena ulah wajahmu yang berhasil membuyarkan konsentrasiku. "Oke. Aku nyanyi, ya." Lama menunggu, akhirnya dia berinisiatif. Aku hanya mengangguk kecil. Sengaja tak melihat ke arahnya, takut pandanganku tak bisa berpaling dari keindahan yang bersinar bagai purnama itu. "Dan kau hadir, merubah segalanya. Menjadi lebih indah. Kau bawa cintaku setinggi angkasa. Membuatku merasa sempurna. Dan membuatku utuh, tuk menjalani hidup. Selama-lamanya, kaulah yang terbaik untukku. Kaulah yang terbaik untukku." Kulirik lagi gadis itu. Dia masih asik bernyanyi, sambil sesekali tangannya ikut bergerak-gerak. Lucu sekali. Di bait terakhir Rasti melantunkan lagu dari Adera itu, kemacetan mulai terurai. "Suka?" tanyanya setelah merampungkan satu lagu. Aku mengangguk pelan, sambil tersenyum pastinya. "Mau lagi?" tawarnya. "Mau!" Aku berseru senang. "Oke!" Dia menjentikkan ibu jari dan telunjuknya membentuk huruf 'O'. Menarik napas sejenak sebelum kembali bernyanyi. "Percayalah selama ada cinta. Kita bisa seirama. Percayalah selama ada cinta. Di dalam detak jantung kita. Kita pasti, bahagia." Aku turut menggerak-gerakkan kepala mengikuti gerakannya saat bernyanyi. Suaranya memang nggak begitu merdu, aku juga nggak begitu kenal lagu apa yang dia nyanyikan itu. Tapi, asal Rasti yang bernyanyi. Aku sih yess yess aja. Gadis itu berhenti bernyanyi saat jazz yang kami tunggangi memasuki halaman sekolah. Seperti biasa, dia masuk kelas lebih dulu. Sementara aku, sibuk mencari-cari tempat kosong untuk memarkirkan si putih kesayangan. Senin yang lembab dengan situasi otak was-was, dan ada hal menyebalkan lagi yang terjadi hari ini. Aku segera turun dari mobil setelah beberapa detik yang lalu seseorang menyeberang tanpa rasa bersalah di depan mobilku dan hampir membuatnya cacat. "Aduh!! Lo tuh gimana sih?! Parkiran lo itu di sebelah sana. Ngapain bawa-bawa itu sepeda butut lo ke tempat parkir mobil!!" Dengan kesal aku memberitahu, -entah dia menganggapnya sebagai pemberitahuan atau peringatan. Terserah- sambil menunjuk ke arah parkiran sepeda yang sebenarnya. "Iya, Maaf, Kak. Nggak sengaja," jawabnya sambil tertunduk. Nggak sopan! "Yaudah sana minggir. Gue mau parkir!" Gadis berkerudung itu pergi sambil menuntun sepedanya. Tapi, aku seperti kenal itu sepeda. Sepeda mini cokelat muda dengan pita dan rangkaian bunga palsu di keranjangnya. Iya. Dia!! Aku sangat yakin dengan ingatanku yang cemerlang ini. "Hey!!" seruku sambil berlari ke arahnya. Dia menoleh. Tapi masih belum cukup berani untuk menatap wajahku. "Gue saranin, mulai besok lo sewa bodyguard, deh." Aku mendekatkan diri ke wajahnya. "Kecerobohan lo itu bisa bahayain orang tau!!" Aku sedikit berseru. Dan itu berhasi buat dia membalas tatapanku. Matanya bulat dengan iris cokelat kemerahan. "Kemarin lo nabrak gue. Dan sekarang, lo hampir bikin cacat si putih. Besok apa lagi?!" Sebelum aku kehilangan fokus dan melupakan tujuan awal hanya karena tatapan matanya itu, lebih baik aku omeli dia segera. "Maaf, Kak. Iya saya salah. Saya minta maaf." Sekarang dia kembali tertunduk. Heran. Apa yang dia cari di tanah? Kenapa betah sekali dia menundukkan kepalanya. "Yaudah, gue maafin. Tapi, awas. Jangan ceroboh lagi!" Aku sedikit mengancam. Dia mengangguk pelan. "Udah sana pergi!!" Cewek itu menuruti. Kalo dipikir-pikir, aneh juga ya. Padahal aku yang panggil dia suruh berenti, aku juga yang samperin dia, sekarang aku malah suruh dia pergi. Dan lebih anehnya lagi, dia menuruti semua perintahku gitu aja. Tanpa perlawanan apapun. Kayaknya, aku udah cocok nih jadi ketua. Liat aja, cewek itu aja tunduk sama aku. Hah, entahlah!! Mungkin emang dianya aja yang terlewat lugu! *** "Rasti." Aku berdiri bersandar pada bingkai pintu. Kulihat dia sedang sibuk membaca ulang buku mata pelajaran yang beberapa menit lagi akan jadi sarapan Rasti dan teman-teman sekelasnya pagi ini. Dia menoleh, kemudian tersenyum. Kuangkat tangan kanan yang terkepal sambil berucap, "Semangaattt!!" Tanpa suara. Rasti membalasnya dengan acungan dua jempol, disusul hormat. Sialnya, bel tanda masuk berbunyi. Kulambaikan tangan ke arah Rasti, untuk kemudian bergegas pergi. Sebelum wali kelas Rasti datang dan memergoki aku yang sedang meng-apel-i anak muridnya. Iya. Kami berbeda kelas. Aku kelas XIIPA dan Rasti satu tahun di bawahku. Dengan setengah berlari, aku pergi menuju kelas yang letaknya di ujung lorong. Beruntung, Sang guru killer itu belum datang. Jadi, aku bisa bersantai sebentar sebelum jam menegangkan di mulai. Ketukan heels milik Miss Irene mulai terdengar, semakin lama semakin jelas. Para siswa yang semula ramai berkumpul di atas meja, segera menuju bangku masing-masing. Begitu juga para cewek-cewek centil yang hobi bergosip itu, mereka dengan sigap membubarkan diri. Aku turut melepas headset yang sedari tadi menempel di telinga. Mempersiapkan diri serapi mungkin, sebelum ocehan Miss Irene memenuhi penjuru ruangan ini. "Good Morning Students." Suara pelan tapi penuh ketegasan itu terdengar. Yang artinya guru berperawakan semampai itu sudah berdiri tegap di depan kelas. Semampai di sini bukan singkatan 'semeter pun tak sampai' ya. Tapi semampai pada artian yang sebenarnya. Iya, tinggi, putih, langsing, dan berparas cantik. Cuma satu yang kurang, sampai sekarang Miss Irene masih melajang. Yaiyalah, siapa juga yang mau pacaran sama cewek galak dan judes abis kayak dia. Haiiiisssss...aku si ogah!! Pletak!! "Aduh!!" Sebuah spidol terlempar pas mengenai kepalaku. Ruangan mendadak ramai tawa. Lebih tepatnya, menertawaiku. Miss Irene Menyebalkan!! "Kamu, Indra. Sedang apa melamun dari tadi?!" Matanya menatapku tajam. "Eh. Enggak, Miss. Enggak melamun, kok," kataku sambil membenahi posisi duduk yang semula bersandar, menjadi lebih tegap. "Kalo gitu, kamu maju sekarang. Kembalikan spidol saya dan coba terangkan kembali apa yang saya sampaikan tadi." "Ttap-" "Sekarang." Pandangannya lurus ke depan. Oke Indra. Itu memang bukan permintaan yang bisa di nego. Tapi perintah. Perintah mutlak!! Dengan malas, aku maju ke depan. Bukan malas sih sebenarnya, cuma sedang mikir. Hal apa yang harus aku terangkan di depan nanti, sedangkan aku dari tadi sama sekali nggak menyimak apa yang disampaikan Miss Irene. Aaah!!! Aku menggaruk-garuk rambut yang sebenarnya tak gatal. Frustasi. "Indra. Ayo mulai." Miss Irene mengintruksi. "Mmm... Saya-" "Assalamu'alaikum." Belum sempat melanjutkan kalimat, seseorang berdiri di depan pintu. Mengucap salam. Semua mata kini tertuju padanya. Penasaran pada seseorang yang telah menyelamatkanku, aku ikut menoleh. Rasanya seperti ada seseorang yang iseng menabuh genderang tepat di telinga saat aku sedang asik terlelap. Kaget bukan main! Orang itu.... "Lo!!"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD