02. Arsen

1572 Words
Hari ini aku sedang menikmati waktu liburku karena kebetulan jadwalku di hari Jumat kosong karena kebanyakan jadwal dipadatkan ke hari lain. Aku hanya memainkan game online di ponselku sejak selesai sarapan tadi. Beruntunglah aku karena mama tidak berusaha mengganggu kesenanganku untuk bermain game di hari libur seperti ini bahkan sampai siang begini. Sebenarnya mama sudah meneriakiku sejak tadi untuk makan siang sebelum pergi ke kantor untuk mengantarkan makan siang papa yang memang masih cukup manja untuk mengajak makan bersama. Bermain game memang membuatku suka lupa waktu dan perut laparpun tidak terasa apabila permainan masih terlalu seru. Tok tok tok “Bang Ar.” Teriak sebuah suara yang sangat kuhafal. Itu pertanda bahwa ia sudah pulang sekolah. Aku tidak menanggapinya karena aku yakin kalau tidak ditanggapi, ia akan langsung masuk dengan sendirinya. Aku lupa bahwa bukan mama orang yang akan mengganggu hari liburku yang tenang, tapi adikku sendiri, yaitu Fika Renastasya, anak SMP yang selalu membuat keributan di rumah kami. “Bang Ar, kalau dipanggil nyaut napa.” Ujarnya setelah membuka pintu kamarku dengan kasar. Ia berkacak pinggang di depan pintu sambil berusaha mempelotiku. Aku tidak ambil pusing untuk menanggapinya dan memilih fokus pada permainanku. “Bang Arsen.” “Ha?” sahutku malas. “Anterin ke gramedia dong.” “Dianter pak supir lah, Fik.” “Nggak enak pergi sendiri, makanya gue ajak lo. Lagian lo juga kurang kerjaan kan di rumah, main hp doang, nanti yang ada sakit mata, nggak ada faedahnya sama lo.” “Terserah gue.” “Bang.” Aku mengabaikannya, meski fokusku bermain menjadi berkurang karena gangguan suara darinya. Ia menghampiriku dan duduk di tepi tempat tidur. Aku tidak merasa terganggu jika niatnya hanya datang, duduk dan melihatku bermain, tapi masalahnya dia malah menarik-narik tanganku, dan ketika tidak berhasil membujukku dengan cara seperti itu, ia justru menarik ponselku tanpa sempat aku antisipasi. “Balikin.” “Enggak, bilang iya dulu mau nemenin gue ke gramedia, baru gue balikin.” “Yaudah, terserah lo.” Ujarku, tak merasa begitu perlu dengan ponselku karena aku memiliki computer dan laptop yang selalu siap kugunakan untuk bermain. “Kalau lo temenin, gue kasih temen gue deh.” “Temen lo bisa dijadiin apa?” “Pacar.” Aku menatap adikku itu dengan tajam. Apa dia pikir kalau aku akan tertarik dengan tawarannya yang seperti itu? Serius dia menawarkan aku temannya sendiri untuk dijadikan pacar? Anak kecil? Oh ya, namaku Arsenio Blacker, anak kedua dari 4 bersaudara yang terdiri dari 2 laki-laki dan 2 perempuan. Kakak pertama kami adalah Renta Yana Fiero, anak ketiga-sekaligus saudara kembarku, yaitu Aldan Blacker, sementara adikku yang saat ini sedang mengganggu itu adalah Fika Renastasya, usianya baru 14 tahun dan dia menawarkan temannya kepadaku yang usianya sudah 21 tahun. Yang benar saja. “Kasih gue uang jajan lo seminggu, gue mau temenin lo seharian.” “Mata lo picek, mending gue nggak usah jadi pergi daripada ngerelain uang jajan seminggu buat lo yang uang jajannya lebih banyak.” “Yaudah, kalau gitu nggak usah pergi.” “Yaudah, kalau gitu gue bilangin lo ke Papa kalau di laptop lo ada video orang telanjangg.” Ancamnya. Aku langsung menatapnya dengan terkejut, “Dari mana lo tahu?” tanyaku. “Gue nggak sengaja lihat pas mau pake laptop lo.” Jawabnya sambil memutar mata. Aku mengepalkan tanganku dan tak segan-segan melemparkan bantal ke wajahnya yang membuatku kesal, “Gue aduin Mama lo nontonin begituan.” Balasku. “Lah lo sendiri? Itu kan di laptop lo.” “Tapi tetap aja lo nonton.” Ujarku membalasnya, berusaha tak terpengaruh dengan ancamannya. “Yaudah, kita lihat siapa yang bakalan kalah, gue atau lo?” ia tersenyum miring dan menunjukkan ponselnya yang entah sejak kapan sudah berusaha menyambungkan panggilan dengan papa. Aku segera merebut ponselnya, tepat saat papa sudah mengangkat panggilan dan berkata ‘halo’, tapi aku segera mematikan sambungan telpon itu dan menoyor Fika sambil berdiri dari tempat tidur, “Gue temenin, adek kampret.” Balasku kalah, sementara ia tersenyum puas karena berhasil menang. *** Aku berdecih ketika melihat Fika sangat bersemangat masuk ke dalam rak-rak buku seolah ini adalah taman bermain untuknya. Dengan sangat terpaksa, aku hanya dapat mengikuti langkahnya yang sembarangan, ia memang masih sangat kekanakan. “Lo mau beli buku apaan?” “Novel sama komik.” Aku memutar bola mataku tak percaya, “Segitu sisanya uang jajan lo sampai sempat-sempatnya lo habisin untuk beli novel sama komik.” “Yee, emang kenapa? Lo sendiri beli PSP, top up untuk game-gamean, terus tempat duduk goyang-goyang untuk orang males gerak itu. harganya lebih mahal kan.” Aku menoyor kepalanya, “Itu Rasing cube 4DOF, gembel, jangan norak deh.” Ujarku karena ia sembarangan mengatakannya sebagai tempat duduk untuk orang males gerak. Mana terima aku barang secanggih itu, yang harus usaha banget untuk dapetinnya karena harganya yang sangat-sangat bikin bangkrut, malah dia hina seenaknya. “Ya intinya itu lah, lo juga beli itu untuk kesenangan kan.” “Ya seenggaknya yang gue beli ini berguna, nggak kayak novel.” Balasku. “Ini juga berguna untuk kesenangan dan kelancaran perhaluan gue, lo mana ngerti rasanya. Udah deh bang, lo jangan banyak ngomel, yang penting kita sama-sama menghargai kesukaan masing-masing aja. Lo suka game, itu terserah lo dan gue suka novel, itu juga terserah gue.” Jelasnya judes, “Lagian membaca itu jembatan ilmu tau. Ketauan lo sekolahnya suka bolos.” “Membaca memang jembatan ilmu, tapi bukan baca novel cinta-cinta.” “Itu juga termasuk, lo-nya aja yang nggak ngerti.” “Yaudah, buruan milihnya, jangan kelamaan.” “Yaelah, gue harus baca sinopsisnya dulu kali, baru bisa tau ceritanya enak atau enggak.” Omel Fika dengan sewot. “Buruan-buruan.” “Eh, gue ada rekomendasi buku untuk lo baca, biar nggak bosen. Coba deh cari kalau masih ada.” “Buku apaan? Gue nggak suka baca novel, apalagi genre kisah cinta boongan.” “Ada, genre thriller, gue jamin lo pasti suka karena isinya penuh dengan teka-teki.” “Judulnya apaan?” “Darkest Dorm.” “Bahasa Inggris?” “Enggak, itu judulnya doang yang bahasa inggris, isinya bahasa Indonesia kok.” “Yaudah, gue cari. Kalau dah siap, lo buru-buru nyamperin gue. Gue sibuk.” “Yaelah, kerjaan lo di rumah juga cuma rebahan doang, sok sibuk banget. Najis.” Begitu aku tau harus berbuat apa, aku akhirnya menjauh dari Fika dan mencoba mencari buku yang ia sarankan. Adanya petunjuk genre membuat aku merasa lebih mudah untuk menemukannya, tapi setelah melihat sampai ke rak terbelakang, ternyata aku masih tak menemukan buku itu. Saat di sudut rak buku, langkahku harus terhalang karena cewek yang berdiri menghalangi jalan. Tak mau ambil pusing, aku hendak pergi dari arah yang lain, tapi ucapan temannya yang menyadari kehadiranku membuatku memilih menunggu cewek itu bergeser. “Minggir lo Mi, ada orang mau lewat, lo malah ngehalangin.” Cewek itu menoleh ke arahku dan seketika matanya membesar seperti orang terkejut, “Arsen. Hai.” Sapanya sok akrab. Aku hanya mengangkat alis, kemudian memilih untuk berjalan ke arah lain. Sedikit terganggu dengan ia yang sok akrab denganku, padahal aku sendiri tidak mengenalinya. Aku hanya tau kalau ia adalah adik salah satu temannya bang Dimas (pacar Renta). Bukannya merasa malu karena sapaannya yang tak kutanggapi di depan teman-temannya, ia malah mengikutiku, “Sombong banget si Arsen nih.” Ujarnya. Aku tak habis pikir dengan apa yang ia pikirkan dengan memanggilku sembrono seperti itu. “Arsen juga suka baca buku ya? Sama, aku juga. Jangan-jangan kita----” aku menghentikan langkah dan melotot melihatnya. Aku menatapnya dengan cukup tajam dari ujung rambut sampai ujung kaki. Aku pikir ia terganggu dengan pandanganku saat kulihat ia juga meneliti dirinya sendiri. Begitu melihat langkahnya juga berhenti, aku kembali melanjutkan langkah, tetapi lagi-lagi ia malah mengikutiku. “Arsen suka baca genre apa?” Aku kembali berhenti, “Maaf ya, kita nggak pernah kenal.” “Aku tahu Arsen kok.” “Maaf ya, gue nggak tau siapa lo.” “Yaudah, kita kenalan aja, biar sama-sama tau. Kalau perlu, saling bagi nomor hp juga boleh. Oh ya, namaku Armia Guandya, biasanya dipanggil Mia, tapi kalau untuk cowok, boleh manggil bebeb, sayang, ayang ataupun sweetie.” Aku menganggukkan kepala, “Yaudah kalau udah selesai.” Ujarku. “Datang sama siapa?” “Sama pacar.” Jawabku untuk segera menghindari spesies cewek sepertinya. Secara kebetulan, Fika muncul dan melambaikan tangan padaku. Dengan penuh ucapan syukur, aku segera membalas lambaian tangannya dan berseru, “Sayang udah siap?” Fika sedikit melotot ketika mendengar panggilanku, tetapi setelah itu aku bisa melihat kalau cewek tadi tidak mengikutiku lagi, tetapi justru meninggalkan aku yang menghampiri Fika. “Apa-apaan lo manggil gue sayang, najis banget.” Protes Fika. “Udah, buruan bayar kalau udah siap.” Aku segera menarik tangannya ke kasir dan membiarkan ia membayar belanjaannya. “Siapa cewek tadi? Pacar lo?” “Enggak.” Sanggahku cepat. “Serius pacar lo? Gue pikir lo homo.” Ujarnya membuatku melotot. “Sialan.” Desisku sambil menoyor kepalanya. Bisa-bisanya dia mikir begitu soal abangnya sendiri. “Sampai manggil gue sayang segala, lagi ngambek ya sama cewek lo itu.” duganya sambil menyipitkan mata kepadaku. “Udah gila lo, buruan balik ayo. Nggak usah mikir yang aneh-aneh.” “Mau lihat calon kakak ipar.” Ujar Fika sambil menarik tanganku kembali ke dalam gramedia. “Buruan pulang, sebelum gue tinggal.” “Yaelah, nanti juga gue tahu kok.” Ujarnya songong. Aku tidak peduli lagi dengan ucapannya dan memilih meninggalkannya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD