03. Armia

1514 Words
“Gina geser dikit dong, kecentilan banget sih.” Ujar Roy pada Gina yang sejak tadi memang terus-terusan maju ke depan hanya untuk melihat dengan jelas tulisan yang sebenarnya sangat jelas ditulis sama sekrestaris kelas. Dasar dianya aja yang caper. Karena guru PPKN sedang ada urusan mendadak, jadi kami hanya diberikan tugas mencatat pelajaran hari ini dan sekretaris yang bertuga untuk menuliskannya di papan tulis. Kalau bukan karena guru PPKN yang mengatakan akan mengumpulkan catatannya hari ini, aku mungkin tidak akan repot-repot menuliskannya. “Si Gina emang caper banget kan, jadi nggak usah heran lah.” ujar Riska menanggapi. Aku menyenggol bahu Riska, “Hush, jangan gitu ah, nanti lo ribut lagi sama Gina.” Ujarku menegurnya. Riska sedikit menurut dengan tidak membesarkan suaranya. “Lo nanti mau ngelanjut di mana sih Mi?” tanya Fara sambil menyolek bahuku. Aku memutar kepalaku ke belakang untuk melihatnya karena posisinya duduk memang tepat di belakangku. “Nggak tau, belum kepikiran.” Jawabku seadanya. Karena sudah kelas XII dan ini penghujung semester ganjil, teman-temanku suka bertanya lanjut dimana atau mau kuliah atau kerja, tapi aku sendiri belum tau tujuanku yang sebenarnya. “Lah emang lo nggak niat kuliah?” tanya Riska kepadaku. Dia adalah teman semejaku. Aku menggelengkan kepala, “Mau nikah aja lah.” ujarku bercanda, tapi tanpa kusadari ternyata suasana kelas yang tadinya ribut malah menjadi hening, tepat saat aku mengatakan kalimat barusan. Mereka langsung menatap ke arahku sampai aku meneguk ludah sendiri karena malu, padahal itu hanyalah gurauan saja, kalau misalnya nggak kenyataan. “Kamu mau nikah, sayang?” tanya Radit yang duduk tepat di kursi depanku sambil memutar tubuhnya untuk menghadap ke belakang. “Cie.” Seketika anak kelas mulai riuh karena Radit menyebut sayang kepadaku. Aku melotot kepadanya, “Lihat depan.” Perintahku dan ia menurut. “Nggak nikah sama lo, Dit?” tanya Roy. Radit menatap Roy dan menggelengkan kepala, “Dia nggak bilang mau nikah, jadi kan aku belum ada persiapan. Tau gitu, aku kan bisa berhenti sekolah, fokus nyari uang nikah aja.” Ujarnya. “Cie cie.” Lagi-lagi teman-temanku ribut hanya karena ucapan Radit. “Bener Mia, lo mau sama Radit?” tanya Gina. Aku hanya memutar bola mata malas karena mereka terlalu menanggapi hal itu dan tidak mengatakan apa-apa untuk melerai keributan. Mereka tiba-tiba saja menjadi ribut dan teralihkan hanya karena sekretaris yang mengatakan, “Yang ini dihapus ya.” Ujarnya sambil menunjuk isi papan tulis sebelah kiri. “Eh jangan dong, belum siap nih.” “Sabar dikit lah bu sekretaris, buru-buru amat.” “Tau nih, udah tau masih baru mulai.” “Lo beneran mau nikah, Mi?” tanya Fara. Aku menatap dia dengan tajam. Kenapa pula nada suaranya terdengar sangat serius seperti itu seolah ia sangat percaya dengan apa yang aku katakan tadi, “Itu cuma bercanda.” Ujarku menegaskan. “Oh bercanda.” Ujarnya menganggukkan kepala. “Tapi ucapan itu doa loh.” Ujar Riska. “Eh, nanti kami mau ke UNESE (Universitas Negeri Sevit). Lo mau ikut nggak?” ujar Fara. Aku menoleh ke arah Fara sambil mengernyit karena tidak tau tujuannya datang ke UNESE, “Mau ngapain? Renang?” tanyaku. UNESE memang cukup terkenal dengan kolam renangnya yang sangat bagus dan bersih. Sering anak-anak sekolah datang untuk latihan dari kegiatan sekolah maupun pribadi. “Mau jalan-jalan aja. Gue, Riska, sama Rosa mau lihat-lihat. Kita kan pengen masuk ke situ, jadi datengin dulu, siapa tau jodoh, nanti pas jalur undangan, gue masuk.” Jelas Fara. Aku menganggukkan kepala, “Gue juga mau ikut deh.” Ujarku. “Iya, tapi nanti pulang dulu ya, biar gue bisa dandan cantik dulu. Sekalian tebar-tebar pesona sama abang-abang mahasiswa, siapa tau ada yang nemplok di hati.” Tanggap Rosa yang duduk di samping Radit. Padahal sejak tadi ia sangat fokus menulis hingga kurang menanggapi pembicaraan kami, tapi ternyata ia langsung nyambung pas pembahasan begini. “Sayang jangan tebar-tebar pesona juga ya.” Ujar Radit. “Jangan bikin mual deh Dit.” Ujarku sambil memperagakan orang yang ingin muntah mendengar perkataannya. Radit memang cukup sering memanggilku dengan sebutan ‘sayang’ bahkan ia terlihat senang saat guru atau teman-teman berusaha menggoda kami. Kata teman-teman, dia itu suka sama aku, tapi menurutku itu hanya candaan saja. *** Begitu jam 3 sore, kami bertemu di depan gerbang 1 UNESE dengan penampilan teman-temanku yang sudah persis seperti anak kuliahan. Kami masuk dengan santai seolah kami adalah mahasiswi di sana, lagi pula karena itu terbuka untuk umum, jadi kami tidak perlu merasa ragu-ragu untuk masuk. Kami banyak mengelilingi UNESE meski dengan sedikit kelelahan karena universitas itu cukup besar. Bahkan jarak dari setiap fakultas saja sudah sangat jauh, beruntunglah teman-temanku memiliki kendaraan roda 2, jadi kami tidak sepenuhnya berjalan kaki saat di dalam. Fara membonceng Riska, sementara Rosa memboncengku. Motor kami berhenti di parkiran dekat lapangan basket di mana di sana ada abang-abang ganteng yang sedang bermain. Sekitar lapangan juga cukup ramai karena tempatnya cukup teduh untuk duduk sambil memperhatikan yang adem-adem. Rosa langsung kecentilan dan berdiri di pagar lapangan basket. Aku hanya menggelengkan kepala melihat Fara juga menyusul Rosa. Tidak lama kemudian, aku ikut menyusul saat kulihat ada Arsen yang sedang memberikan sesuatu kepada temannya, tapi saat temannya membalikkan badan dan melihat ke arah kami, aku terkejut sampai membulatkan mata. “Itu Arsennya yang mana?” tanyaku pada diri sendiri sambil menggaruk kepalaku yang tiba-tiba gatal. Kenapa wajah 2 cowok itu terlihat sama persis. “Gila sih, kegantengannya juga kembar,” ujar Rosa. “Nggak ganteng banget padahal.” Ujar Fara tidak setuju dengan pendapat Rosa. Aku merasa bingung sampai kulihat satu wujud Arsen pergi dengan sebuah motor besar, sementara yang satu lagi sedang main basket bersama teman-temannya. Aku kembali duduk bersama Riska. Begitu permainan berakhir, aku langsung berdiri saat kulihat Arsen hendak pergi dengan sebuah motor matic. “Eh mau ke mana Mi?” tanya Rosa yang baru saja menghampiri kami untuk duduk. “Bentar.” Aku menjawabnya dengan cepat sambil menghampiri Arsen. “Arsen.” Seruku dengan cukup ragu karena tidak tau apakah dia benar Arsen atau justru yang sebelumnya pergi yang Arsen sebenarnya. Ia mengernyit, “Siapa ya?” tanyaku. Kini aku cukup tau bahwa dia bukanlah Arsen yang sebenarnya karena dia cukup ramah untuk menanggapiku dengan pertanyaan ‘siapa ya?’ “Bukan Arsen ya? Berarti yang tadi pergi dong yang Arsen.” Ujarku “Eh kenal sama Arsen?” tanyanya. Aku menganggukkan kepala dengan semangat, “Kamu kembarannya Arsen?” Ia mengulurkan tangan, jelas sangat berbeda dengan Arsen yang sangat cuek dan ketus. Aku membalas uluran tangannya dan ia menyebutkan namanya, “Aldan.” Ujarnya. Aku memperkenalkan diri kembali. “Kamu sama Arsen kembar 2 ya?” tanyaku malu. “Iya, kebetulan cuma 2.” Tanggapnya dengan kekehan. Aku menganggukkan kepala dengan sedikit rasa terpesona melihat senyumnya. Ia berpamitan untuk segera pulang begitu aku mengganggu waktunya. Aku terpaksa merelakan kepergiannya karena tidak mungkin menahannya padahal kami baru pertama kalinya bertemu. “Eh gila, lo langsung main samperin aja.” Ujar Rosa menghampiriku sambil menyenggol bahuku. Terlihat sangat takjub dengan aku yang berani-beraninya mendekati Aldan—kembaran Arsen. “Udahlah, pulang yuk.” Ajakku pada mereka. “Kasih tau kek lo dapet nomornya gitu atau apanya gitu, minimal namanya lah, udah cukup kok buat stalking-stalking akun sosmednya.” “Gue nggak tau.” Jawabku cepat. Aku aja belum dapet, masa mau bagi-bagi sama teman sendiri. Mana aku rela. “Makanya Ros, lo jangan pede depan kita doang, Mia nih diem-diem aja langsung embat.” Ujar Fara. Aku dengan sedikit keyakinan menyimpan memori tentang perbedaan Aldan dan Arsenio. Dengan senyum picik, aku merancangkan sesuatu untuk bisa bertemu dengan Arsen. Bergaul dengan Rosa dan Fara memang jalan menuju kegatelan karena mereka itu sangat ahli dan malu-maluin soal goda-menggoda cowok. Rosa pernah bilang kalau cara godain cowok yang pertama adalah ‘tidak jaim’ akhirnya aku malah kelepasan dengan tidak tau malu malah langsung sok akrab. Sebenarnya ini salah Arsen sendiri karena dia langsung mengabaikanku saat bang Dimas menyuruh kami untuk berkenalan. Aku jadi penasaran sama dia karena bisa-bisanya dia mengabaikan cewek secantik aku ini. “Buruan pulang, sebelum gelap nih, nanti nggak dikasih masuk rumah gue.” Ujarku kepada mereka. Akhirnya aku pulang dengan cukup aman bertepatan dengan papa yang berdiri di depan rumah setelah memberangkatkan seseorang yang sepertinya baru saja bertamu. “Siapa yang tadi datang Pa?” tanyaku. “Oh itu, anaknya bos Papa di Kantor.” “Ngapain datang?” tanyaku dengan cukup bingung. “Dia lagi training di perusahaan Papanya sendiri dan tadi minta data sama Papa.” “Oh pantes Papa sampai ngelihatin segitunya ke jalan padahal orangnya udah pergi.” Ujarku. Papa tersenyum sambil merangkulku, “Mau gimana lagi, namanya dia tetap anaknya atasan Papa. Abis dari mana?” “Dari UNESE, teman-teman ngajak survey lapangan.” “Survey lapangan.” papa berdecih sambil mengejek bahasaku. “Iya, mereka mau lihat-lihat kampus dulu supaya sekaligus cari cogan.” Papa menghela nafas kasar, “Cowok mulu yang dipikiran kamu. Belajar yang benar dulu sana.” “Ya nantilah Pa, sekarang mau mandi dulu.” Ujarku menaik turunkan alis kepada papa dengan senyum geli.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD