04. Arsen

1449 Words
Aku menghela nafas kasar dan melakukan sedikit peregangan karena pekerjaanku tak kunjung selesai padahal sudah hampir jam 10 malam. Aku melihat kanan dan kiri dengan decakan karena hanya aku yang tersisa di ruangan itu dengan suasana yang cukup sunyi dan lampu yang tak begitu terang karena hanya lampu mejaku yang menyala dibantu penerangan seadanya untuk ruangan. “Belum pulang Ar?” aku menoleh dengan cukup terkejut saat mendengar suara seseorang menyapa di telingaku. Aku cukup terkejut mendapati Om Josua selaku HRD datang dan memeriksa ruangan ini. “Belum Pak.” Jawabku dengan cukup formal. “Om aja, ini kan udah bukan jam kerja.” Ujarnya sambil menghampiriku. Aku dengan sungkan menganggukkan kepala. “Masih lama?” “Enggak kok Om, bentar lagi. yang dicek juga tinggal itu.” ujarku menunjukkan beberapa produk yang harus kudata. “Om mau bikin kopi, kamu mau? Biar badan agak hangat dan mata agak tahan kantuk.” Ujarnya menawarkan. “Boleh Om kalau nggak merepotkan.” Jawabku cukup ragu. Tanpa banyak kata, Om Josua kemudian pergi ke pantry dan membuatkan kopi hanya dalam 5 menit saja dan kembali dengan dua gelas serta roti yang ia bawa dengan piring kecil. Aku menerima segelas kopi yang Om Josua sodorkan padaku dan menganggukkan kepala, “Makasih Om.” “Udah makan malam kamu?” “Belum Om.” “Makan dulu lah, kesehatan itu yang utama tau. Kamu ini masih muda, masa nggak jaga kesehatan. Nanti pacar kamu marah kalau kamu kurusan.” Aku menganggukkan kepala dengan kekehan geli mendengar nasihatnya, “Iya Om, tapi saya belum niat pacaran.” “Lah serius? Om punya anak, ngebet banget pengen punya pacar, genitnya nggak nanggung.” “Genit gimana Om?” tanyaku sebagai tanggapan. Sebenarnya aku cukup cuek soal kehidupan orang lain, apalagi jika itu tidak penting untukku, tapi karena Om Josua sudah bercerita seperti itu, maka aku harus memberikan feedback yang bagus kan. “Dia tuh kalau ada kerjaan sekolah yang nyusahin dikit, terus bikin pusing atau ada masalah dikit, pasti langsung bilang ‘mau nikah aja lah’, padahal dianya masih muda. Om kadang suka heran.” “Teman saya juga ada beberapa bilang gitu kok Om, bukan anak Om aja. Katanya emang kebiasaan cewek suka begitu.” “Lah iya-ya? Om pikir anak Om aja.” Ujarnya dengan kekehan geli, “Eh, Om malah ganggu kerjaan kamu ya. Buruan deh kerjain, biar istirahat. Besok pasti kamu harus ke kampus lagi.” “Nggak apa-apa Om, bukan hal baru bagi saya yang namanya begadang.” Setelah setengah jam berlalu aku bekerja sambil ditemani Om Josua, kami akhirnya keluar dari kantor bersamaan dengan beberapa orang yang kebetulan juga lembur dari ruang lain. Aku menganggukkan kepala kepada Om Josua saat ia pergi lebih dulu meninggalkan parkiran motor kantor. Aku kemudian mengenakan helm dan pergi dengan kecepatan di atas rata-rata. Begitu tiba di rumah, mama yang ada di ruang keluarga langsung menoleh padaku dengan khawatir saat aku masuk. Aku tersenyum kecil sambil menggaruk kepalaku melihat mama sangat resah setiap kali anak-anaknya pulang kemalaman. “Abang lama banget pulangnya. Kerjaannya banyak?” tanyanya. Aku menghampiri mama dan memeluknya dengan senyum menenangkan sambil menepuk bahunya, “Aku ini udah besar Ma, nggak harus selalu ditungguin pulangnya. Mama kan bisa istirahat.” Mama memukul lenganku, “Kamu bakalan ngerti kalau udah jadi orang tua.” Ujarnya. Aku mengeratkan pelukan ke pinggang mama dan menikmati aroma mama yang sangat harum dan menenangkan. Tidak ada pelukan yang jauh lebih menenangkan dari pelukan mama yang sangat kusuka meski terkadang aku merasa malu untuk memeluknya karena aku sudah besar. Ia menepuk punggungku, “Tumben manja banget gini. Cape banget ya? Perlu Mama bilang sama Papa kalau kamu mau berhenti?” tanyanya. Aku menggelengkan kepala dalam pelukan mama, “Nggak usah, ini kan pilihan aku sendiri Ma, jadi aku harus tanggung jawab sama keputusan aku.” “Anak Mama udah sedewasa ini ternyata.” Ujarnya bangga. Aku menganggukkan kepala dan melepas pelukan mama. “Udah makan?” tanyanya. Aku dengan kekehan ragu menggelengkan kepala, antara ingin berbohong tapi merasa tak ingin membohongi mama, “Belum.” Jawabku akhirnya jujur. “Ihh kamu ini, sana cepat cuci tangan, baru turun makan. Mama siapin makan malam kamu dulu.” Aku menganggukkan kepala dan segera ke kamar untuk menyimpan tasku lalu memilih mandi dengan cepat untuk menyegarkan tubuhku yang terasa gerah dan kepalaku terasa sangat berat oleh beban-beban yang kutopang hari ini. Saat keluar dari kamar, di kamar lain, Renta juga keluar dan terkejut melihatku. “Udah lama pulangnya Ar?” tanyanya. Aku menggelengkan kepala, “Baru aja. Lo mau ngapain?” “Mau makan.” Ujarnya dengan senyum canggung. “Yaudah ayo makan, Mama juga lagi di dapur nyiapin makan malam.” Ujarku mengajaknya. Ia kemudian mengekori langkahku. Kupikir mama akan mengomeli Renta karena ia juga baru makan di tengah malam seperti ini, ternyata tidak, karena sebenarnya Renta sudah makan ketika makan malam bersama keluarga, tapi kembali lapar, jadi dia memilih ke dapur untuk makan lagi. “Nanti gendut, bang Dimas nggak mau lagi.” ujarku padanya. Ia tersenyum malu, “Dimas nggak masalah kok kalau aku makan banyak.” Ujarnya. Renta dan Dimas memang sudah berpacaran 2 tahun belakangan ini. Awalnya aku sebenarnya bingung dengan kisah pertemuan mereka sebab umur mereka yang cukup jauh jaraknya. Dimas usianya sudah 25 tahun, sementara Renta masih 21 tahun. Itu artinya mereka sudah berpacaran saat Renta berusia 19 tahun dan ternyata mereka dipertemukan di UNESE karena saat itu Dimas sedang magang untuk mengajar mahasiswa S1 saat ia sendiri menempuh Pendidikan pascasarjana. “Nggak apa-apa lah bang kalau kakaknya makan banyak.” Ujar mama menegurku. Aku hanya menganggukkan kepala dan menyantap makananku dalam diam sampai mama kembali bersuara dan membuatku memutar bola mata dengan malas, “Kamu juga cari pacar lah. Masa nggak pernah bawa cewek ke rumah.” “Iya nanti.” Jawabku. “Nanti itu kapan?. Kamu sebenarnya normal kan Ar?” tanya mama. Lagi? Lagi-lagi aku disangka tidak normal oleh orang rumah selain Fika hanya karena aku tidak menunjukkan teman cewek. Apa aku harus ngehamilin anak orang dulu baru orang rumah ini sadar kalau sebenarnya aku ini cukup normal untuk memperkosa seorang perempuan. “Normal Ma. Tunggu aja sampai polisi datang ngasih tau kalian kalau aku ditahan karena memperkosa anak orang, biar Mama percaya kalau aku ini normal.” Ujarku menyindirnya. “Jangan gitu juga lah.” ujar mama dengan mata melotot. “Aku masuk ke kamar dulu ya Ma. Makasih makan malamnya. Good night Ma. Good night Ren.” Ujarku kepada mereka, lalu pergi ke kamar. Tidak sampai 10 menit setelah aku masuk kamar, Aldan—kembaranku—datang dan langsung naik ke tempat tidur. Aku menggeser posisiku sambil main ponsel, tidak begitu mempedulikan niatnya memasuki kamarku. “Tadi kenalan lo nyamperin gue.” “Siapa?” tanyaku tanpa menoleh padanya. “Ada, cewek, namanya Armia, cantik. Gue pikir lo nggak punya temen cewek, eh ternyata ada.” Ujarnya. Aku cukup ingat nama itu, bukan karena nama atau wajahnya terekam jelas di ingatanku, tapi memang ingatanku yang cukup kuat untuk mengingat beberapa hal sekalipun itu tidak penting. Dan memang wajah gadis yang disebutkan Aldan itu cukup menggangguku karena sifatnya yang sedikit berlebihan dan sangat sok akrab. Meski begitu, aku tidak bisa berbohong kalau ia memang memiliki wajah yang cantik. Poni selamat datang dan rambut sebahunya itu juga membuat wajahnya yang kecil menjadi cukup imut. “Terus kenapa?” tanyaku. “Kalau lo nggak suka dia, bisalah lo kenalin gue.” Aku mengernyit dengan mata menyipit ke arah Aldan, “Gue juga nggak kenal sama dia, tapi kalau lo mau kenal, coba tanya sama bang Dimas. Dia adeknya teman bang Dimas.” Ujarku. Kalau ada sebuah hubungan di rumah ini, maka sudah bisa dipastikan kalau papa dan mama pasti akan tau, apalagi papa cukup ketat mengawasi pergaulan kami, terkhusus anak ceweknya, yaitu Fika dan Renta. Jadi tidak heran kalau kami cukup akrab dengan pacarnya Renta yang memang sering datang dan mengapeli Renta. “Bukannya lo naksir sama Mega?” tanyaku. Berdasarkan apa yang aku amati selama ini, Fika bilang kalau ia yakin bahwa ada hubungan lebih antara Aldan dengan Mega. Mega itu adalah salah satu teman cewek Aldan dan cukup sering juga ke rumah, jadi tidak heran kalau mama dan Fika berpikiran jika ada hubungan lebih diantara keduanya. “Gue sama Mega cuma temenan.” Ujarnya menegaskan. “Oh, yaudah kalau gitu.” Anggukku tidak ambil pusing soal hubungannya. “Lo nanya gitu bukan karena cemburu kan sama niat gue deketin Armia?” tanyanya. “Nggak sama sekali.” Jawabku singkat dan seadanya. Ia menganggukkan kepala mengerti, tapi wajahnya menyiratkan sesuatu setelah aku melihat sendiri senyumnya yang aneh seperti sedang berpikir kalau aku memang ada hubungan dengan gadis bernama Armia itu.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD