“Bang, nggak mau renang lagi gitu sama bang Dimas?” tanyaku pada bang Arez. Aku sengaja datang ke rumah nenek Tina hanya untuk bertemu dengan bang Arez yang memang sering berada di sana saat hari sabtu.
“Kamu ngebet gini ada apa sih? Pasti ada niat terselubung.” Selidiknya.
“Aku hanya menunjukkan cengiran saja kepadanya. “Hehehe, cuma misi kecil kok.” Ujar.
“Kebetulan abang kamu mau tanding basket katanya. Pasti sama teman-temannya juga lah.” ujar nenek. Aku dengan semangat langsung melarikan diri ke kamar nenek dan berganti pakaian di sana. Karena sering datang, jadi aku punya beberapa pakaian yang sengaja kutinggalkan di sana supaya bisa mudah bersiap-siap untuk jalan sama bang Arez.
“Dia itu niatnya kegenitan aja Nek, kenapa selalu didukung sih.” Protes bang Arez yang masih kudengar tapi kuabaikan karena aku ingin fokus mencari pakaian terbaik.
Begitu kami tiba di lapangan basket yang ternyata dalam ruangan tertutup, aku cukup tidak nyaman karena ternyata ada banyak sekali cowok-cowok di sana dan hanya ada beberapa cewek saja yang mungkin menemani pacarnya, bukan abangnya. Aku berusaha fokus mencari tujuanku, tapi tak menemukan tanda-tanda keberadaan Arsen di sini.
“Bang Dimas, Arsen nggak datang ya?” tanyaku terang-terangan.
“Heh, kamu mau deketin adeknya Dimas?” tanya bang Arez sibuk. Maksudnya sibuk karena mengurusi urusan pribadiku. Aku mengabaikannya dan menatap bang Dimas untuk mendengar jawabannya akan pertanyaanku.
“Enggaklah, dia mana hobi kegiatan olahraga begini, lebih tepatnya males yang rame-rame sama orang asing begini.” Jelas bang Dimas.
“Bang, nama Arsen lengkapnya siapa sih?” tanyaku penasaran. Aku pengen ngepoin akun sosmednya tapi tidak bisa menemukan informasi yang benar karena tidak ada tanda-tanda wajahnya dari nama Arsen saja karena ada banyak yang menggunakan nama itu.
“Arsenio Blacker.” Ujarnya.
“Oh, oke oke, makasih bang.” Ujarku. Lalu aku menatap bang Arez, “Bang, aku pulang aja ya. Di sini bosen.” Ujarku kemudian.
“Tadi udah gue bilangin bocil. Lo ngeyel emang.” Desisnya ketus. Aku memilih abai dan segera keluar dari ruang olahraga itu setelah memesan ojek online.
***
Aku tiba di rumah dengan sedikit bete setelah pergi tapi tak ada hasil. “Mamaaa, Papaaaa, Alfrennnn.” Aku berteriak menyebutkan nama-nama anggota keluargaku sambil membuka sepatu saat memperhatikan ada sepasang sepatu asing yang ada di rak sepatu teratas.
“Jangan teriak-teriak woi, nanti tamu Papa kabur.” Tegur Alfren tapi nada bicaranya tak kalah cempreng dari suaraku tadi.
“Alfren, suara kamu juga sama aja. Nggak enak dong ada tamu tapi ribut begitu.” Tegur mama sambil berkacak pinggang menatap kami.
“Iya Ma, iya.” Anggukku. Aku menghampiri Alfren yang duduk sendirian dan duduk di sampingnya sambil menyandarkan kepalaku di bahunya.
“Awas ihh, butuh sandaran banget.” Ujarnya meledekku.
“Iyalah, aku butuh sandaran biar capeknya hilang.” Ujarku.
“Bersandarlah pada Tuhan.” Ujarnya mengingatkan.
Aku menoyor kepalanya, “Itu lain konsepnya, Jamilah.” Desisku.
“Tumben cepat pulang, Mi.” ujar papa bahkan tanpa aku menolehpun, aku sangat tau bahwa itu suaraya.
“Iya, Pa, nggak ada cowok gan---teng.” Aku mengatakan kalimat itu sembari memutar tubuhku untuk melihat papa, tapi ternyata aku malah menemukan cowok ganteng yang kucari ada di samping papa.
Aku mengerjap beberapa kali saat mata kami bertemu, lalu membalikkan tubuhku dan menepuk pipiku untuk menyadarkan bahwa Arsen memang ada di rumahku dan sedang berjalan di samping papa. Dengan langkah cepat aku menghampiri papa dan menggandeng lengan papa.
“Siapa Pa?” tanyaku, “Calon mantu ya?”
“Heh, kamu ini.” Tegur papa. “Maaf ya Ar, ini nih anak Om yang memang kegenitan.” Jelasnya pada Arsen.
Arsen tersenyum kecil kepada papa dan itu sudah cukup membuatku meleleh. “Jangan kegenitan gitu senyum kamu.” Tegur papa sambil menyenggol lenganku.
“Ayo makan siang dulu Arsen.” Tawar mama. Aku menatap Arsen untuk melihat tanggapannya dan saat ia menolak, aku sedikit tidak terima dan ingin protes, tapi kutahan demi menghargai haknya menerima atau menolak tawaran mama.
“Terima kasih, Tante, karena sudah menawarkan saya, tapi mungkin lain kali saya akan bergabung untuk makan bersama.” Ujarnya.
“Oh ada kesibukan lain ya. Ya sudah, lain kali saja.” Ujar mama menanggapi dengan baik.
“Kalau begitu saya pulang dulu ya Tante, Om.” Pamitnya.
“Samaku?” tanyaku dengan percaya dirinya. Kan aku juga tuan rumah, jadi sudah sewajarnya kan kalau ia juga berpamitan padaku.
“Kamu ini.” Papa kembali menegurku sambil menyenggol lenganku.
Arsen menatapku dengan cukup datar, tapi kemudian mengangguk sekali dan berkata, “Saya pamit pulang, Armia.” Ujarnya.
Aku membulatkan mataku tanpa sadar saat mendengar ia menyebutkan namaku dengan sangat lembut dan penuh perasaan. Aku tidak bisa menahan senyumku sekalipun sudah berusaha semaksimal mungkin hingga akhirnya aku memeluk Papa dan menyembunyikan wajahku di balik punggung papa karena merasa malu.
Papa melepaskan tanganku dan pergi mengantarkan Arsen hingga ke luar rumah. Aku mengintip kepergian pria itu dari jendela yang menghadap depan rumah dan tersenyum sambil memegang dadaku hanya karena mendengar ia menyebut nama depanku saja sudah membuatku sebaper ini.
“Kamu kenal Arsen dari mana Mi, sampai dia tau nama kamu?” tanya mama, bersamaan dengan itu, papa juga masuk dan bertanya hal yang sama.
“Namanya juga jodoh, Pa, Ma.” Jawabku malu dan segera membaringkan diri di sofa sambil menutup wajahku dengan bantal sofa.
“Jangan berulah depan Arsen, Mi. Dia itu anaknya atasan Papa.” Ujar papa kepadaku.
Aku melotot kepada papa dan kini paham alasan papa yang sering mengantarkan anak atasannya pulang hingga ke depan rumah. “CEO perusahaan Papa bekerja?” tanyaku ragu.
“Iya, makanya jangan berulah depan Arsen.”
“Dia ada urusan apa ke rumah?” tanyaku penasaran.
“Dia lagi kerja di perusahaan Papanya dan mulainya dari anak magang biasa, kayak orang lain juga. Cuma di beberapa urusan, dia memang dibimbing lebih banyak sama orang-orang perusahaan termasuk Papa.” Jelas papa kepadaku.
“Pa, boleh minta nomornya nggak?” tanyaku.
“Enggak, jangan dikasih Pa. Itu kan privasinya Arsen, nanti dia malah terganggu karena kamu ngechat dia. Dia itu sibuk kuliah dan kerja.” Ujar mama menegurku sambil berusaha menghalangi papa untuk memberikan nomor Arsen.
“Yaudah, aku cari tau sendiri aja.” Ujarku dengan yakin sambil berjalan ke kamar dan memainkan ponseku untuk mencari tau akun sosmed Arsen setelah tau nama lengkapnya dari bang Dimas tadi.
Dengan insting hebat sebagai seorang cewek, kini aku merasa menjadi detektif terhandal hanya karena bisa menemukan akun Arsen, tapi bukan dari mencari nama lengkap pria itu, tapi mencari nama saudara kembarnya, yaitu Aldan Blacker. Aku kecewa karena ketika menemukan akun Arsen, aku tidak menemukan informasi yang berarti darinya.
Akun IG-nya hanya berisi foto-foto pemandangan, kutipan buku dan beberapa keramaian ibu kota yang mungkin saja ia ambil sendiri dengan ponselnya. Kalau bukan karena akun itu diikuti oleh Aldan dan bang Dimas, aku mungkin tidak percaya bahwa itu adalah akun Arsen. Menyadari bahwa cowok itu memang sangat cuek dan pendiam, kini aku yakin bahwa itu memang akunnya.
Aku mengklik follow pada akunnya tanpa ragu dan tanpa akun second atau sebagainya. Aku segera mengirim pesan melalui DM dan secara terang-terangan meminta nomor ponselnya agar bisa berteman lebih dekat. Aku sebenarnya tidak yakin bahwa ia akan membalas pesanku atau minimal membaca, tapi apa salahnya berusaha.
Begitu tersadar bahwa di akun Aldan ada banyak sekali foto, aku akhirnya mengepoi Arsen melalui kembarannya. Terlihat ada banyak sekali foto Aldan yang berjalan-jalan bersama teman-temannya dan di akunnya juga tertera fotonya bersama Arsen meski hanya 4-5 foto saja. Aku tersenyum melihat Aldan memegang pipi Arsen dan seperti memaksa pria itu berfoto.
Aku mengamati benar-benar foto-foto mereka untuk mencari perbedaan dan persamaan diantara keduanya sambil sesekali juga membuka foto pribadi Aldan untuk mencari letak perbedaan. Wajah mereka terlihat sangat sama dan sulit untuk dibedakan.
Oh ya, selain mencari informasi dari akun Aldan, aku juga melihat akun-akun yang pernah menge-tag Aldan dan membuka akun itu dengan cukup penasaran, siapa tau ada informasi penting di akun mereka. Dan benar saja, aku mendapatkan informasi paling penting, yaitu tanggal ulang tahun Aldan dan Arsen.
Aku bisa mengetahuinya saat salah satu akun teman Aldan dan Arsen men-tag Aldan dan Arsen dengan perayaan ulang tahun untuk kedua pria itu, tapi aku cukup kesal saat mendapati foto Arsen bersama seorang gadis. Aku yakin itu Arsen karena t**i lalat di sudut kiri mata pria itu, yang menjadi perbedaan antara ia dan Aldan.
Aku cukup kecewa karena mereka terlihat cukup akrab, meski hanya dari foto saja. Sedikit mempertanyakan di mana kejutekan Arsen saat berfoto dengan gadis itu hingga bisa tersenyum dengan sangat sumringah.