MASA SMA, AWAL PERTEMUAN

2236 Words
Ini adalah hari yang telah ditunggu-tunggu oleh Andra dan Denis. Hari pertama menginjakkan kaki di masa SMA. Menurut orang, masa SMA adalah masa terindah dalam kehidupan. Masa dimana, kebebasan menjadi hal yang lumrah dijalani. Masa-masa kala cinta mulai bersemi, masa di saat berteman bukan lagi sekedar hahahihi, masa ketika kehidupan mulai menampakkan wajahnya yang mendekati sejati. Begitulah awal pemikiran Andra, juga Denis dalam menghadapi masa awal sekolah SMA. Kini mereka sudah tak sabar berhadapan dengan imajinasi seindah itu. Tetapi hari ini, hari di mana mereka seharusnya memberikan pesona awal pada gadis-gadis SMA, nyatanya Andra dan Denis malah berdandan layaknya orang gila di pinggir jalan. Hal itu terjadi lantaran mereka sedang mengikuti kegiatan MOS (Masa Orientasi Siswa), semacam aktivitas pengenalan lingkungan sekolah kepada murid baru. Pagi ini, mereka berdua berangkat bersama dari rumah Denis yang bisa ditempuh berjalan kaki untuk sampai ke sekolah. Dengan langkah gontai, Andra harus ditarik-tarik Denis menuju sekolah. “Gue daridulu ga pernah setuju ada ritual beginian!! Kalau mau ngenalin tentang sekolah ya kenalin aja. Ajak murid baru jalan-jalan keliling sekolah, kenalan sama guru-guru, sama teman-teman baru, sama kegiatan yang ada di sekolah itu. Ga perlu bikin gue tengah malam harus ribet nyari roti kincir, biskuit italy atau apalah!!!” ucap Andra, kesal. “Lo juga waktu SMP perlakuin anak baru kayak kita sekarang. Jadi ini karma buat lo, tapi gue juga kena karma atas perbuatan lo!!” timpal Denis dengan masih menarik temannya itu untuk lebih cepat berjalan. Mendengar itu, Andra memilih diam saja, pandangannya justru tertuju ke banyak arah. Di jalan, matanya menemui beberapa anak sekolah yang berpakaian serupa dengannya. Bisa jadi mereka satu sekolah, bisa juga berlainan sekolah, yang pasti hari itu adalah hari pertama tahun ajar baru dilaksanakan. Tak seberapa jauh dari gerbang sekolah, mereka sudah dicegat oleh senior-senior yang memasang wajah galak sedari subuh. Jam masih menunjukkan pukul 06.00 sekarang, tapi para senior ini terlihat sudah siap dengan berbagai jurus penyambutan untuk para juniornya. Denis lantas melangkah lebih cepat, ia paham jika terlambat sedikit saja dari waktu yang telah ditentukan di hari pertama ini, mereka akan terkena sanksi hukuman dari kakak-kakak kelasnya. Benar-benar s**l, mereka terlambat hanya dua menit dari pukul 06.00. Jadilah mereka harus lakukan push-up 10 kali sebagai syarat memasuki sekolah. Saat mereka sedang menjalankan hukuman, terdengar gaduh keributan tak jauh dari tempat mereka push-up. Penasaran dengan apa yang terjadi, mereka berdua mengangkat sedikit kepala untuk melihat penyebab kegaduhan tersebut. Ternyata ada anak baru yang juga terlambat tetapi ia tidak mau melaksanakan hukuman, dia berdalih kalau kakak-kakak senior yang berada di hadapannya tidak punya hak melakukan itu. “Saya tidak merasa bersalah. Dan kalaupun saya bersalah, kesalahan saya hanya berhak disangsi oleh guru yang mengajar saya,” ujar anak itu. “Wah cari masalah dia,” bisik Denis pada Andra pelan. “Gue suka gaya dia, Den!” telisik Andra menaruh perhatian pada keributan. “Lu pacarin aja kalau suka.” Belum selesai obrolan Denis dan Andra berlangsung dengan posisi masih push-up, dari belakang terdengar teriakan yang menyuruh mereka melanjutkan hukuman. “Kalian malah ngobrol, bukannya push-up! Ayo lanjutkan lagi, tadi saya hitung masih kurang 4 kali!!” tegur seorang senior perempuan yang mengawasi anak-anak baru menjalankan hukumannya, termasuk Denis dan Andra yang menjadi sasaran ocehan senior itu. Merasa ditegur, Andra mempercepat gerak push up-nya. Selesai ia melaksanakan hukuman yang diberikan para seniornya, adu perdebatan masih berlangsung antara satu dua senior dan seorang junior tadi. Perdebatan agaknya baru mereda setelah seorang senior laki-laki lain yang berpakaian tidak seperti orang terpelajar hendak masuk menghampiri gerbang, kemudian melihat perdebatan itu. Senior laki-laki dengan seragam SMA dikeluarkan dari celana dan tas slempang yang terlihat sudah kumal, lantas menyela pembicaraan senior lainnya. Dia terlihat bukan bagian dari panitia MOS, karena penampilannya yang sama sekali tidak patut dicontoh ditambah gaya slengean ala jagoan sekolah. “Bro, sudahlah! Anak ini jalan sama gue tadi, cuma gue nongkrong sebentar di warung depan, makanya dia telat. Gue yang tanggung jawab nanti kalau ditanyain Pak Boris kenapa dia boleh masuk,” ucap senior compang-camping, sambil merangkul bahu si anak baru, berusaha menunjukkan keakraban. Akhirnya dia dilepaskan dari tanggungjawab hukuman. Tanpa permisi, senior slengean bersama junior anti hukuman ini masuk melalui gerbang sekolah. Jalannya santai seolah tidak punya beban, “Beruntungnya!” pikir Andra. Andra dan Denis pun diperbolehkan masuk setelah ada sedikit nasehat untuk tidak mencontoh gaya senior itu dan anak baru tadi. Memang gaya dan penampilan senior itu membuat mata kelilipan, belum lagi bau rokok yang menyengat dari pakaiannya, entah siapa dia, Andra dan Denis berpikir untuk lebih baik jika sudah masuk sekolah nanti, menghindari senior begajulan seperti itu. Di dalam gerbang sekolah, upacara penyambutan anak baru sudah hampir dimulai. Segala persiapan untuk seremoni acara terlihat matang, barisan guru-guru dengan seragam coklat berjajar di belakang podium pembina, kumpulan balon helium yang diikatkan pada banner kain bertuliskan ‘MOS 2000’ juga nampak di sudut lapangan tanah liat. Di lapangan, barisan anak-anak baru dengan topi kerucut dari bahan koran dan kaos kaki berwarna-warni juga ramai berkumpul. Andra ternyata masuk di kelas 1.2, lagi-lagi kelas yang sama dengan Denis. Hal itu baru diketahui ketika melihat papan nama pembagian kelas murid baru di lorong sebelum memasuki lapangan upacara. Mereka berdua mencari-cari di mana barisan kelas 1.2 itu. Akhirnya terlihat ketika ada seorang kakak senior perempuan membawa plang nama kelas yang dituliskan di atas kertas karton. Segera mereka menghampiri barisan siswa yang berada di belakang petunjuk tersebut. Ketika memasuki barisan kelas untuk upacara, ada pemandangan mengagetkan mereka. Anak baru yang tidak jadi dihukum karena terlambat tadi ternyata juga satu kelas dengan Denis dan Andra. Mereka tersadar ketika melihat ada anak yang berpenampilan tidak semestinya. Tanpa topi kerucut, tidak menggunakan papan nama, tidak menggunakan kaos kaki warna-warni, dan langsung menggunakan baju putih serta celana panjang abu-abu seperti anak SMA biasa. “Tidak salah lagi, ini anak yang tadi!” pikir Andra. Padahal murid baru lainnya masih mengenakan seragam SMP. Dalam ritual MOS ini, panitia memang tidak memperbolehkan murid baru mengenakan seragam SMA terlebih dahulu, jadi selama tiga hari MOS berlangsung, anak-anak baru masih mengenakan seragam SMP beserta pernak-perniknya. Ingin berusaha mengenal, Andra bermaksud mencolek bahu si junior yang terlihat seperti ikan mas di tengah kolam ikan cupang, berbeda sendiri. Tapi maksud Andra ditahan oleh Denis yang berbaris di sampingnya saat baru akan mengangkat tangan. “Mau ngapain lo?” setengah berbisik lalu menarik tangan Andra. “Mau kenalan,” jawabnya singkat. “Kayak ga ada waktu lain? Lagipula kita sekelas, masih ada waktu setahun buat kenalan.” “Gila! Kenal teman sekelas aja lo batesin gue, Den. Cemburuan banget lo sama gue,” gerutu Andra. “Bukan! Ini lagi upacara, kalau berisik dan kedengaran ada yang ngobrol, bisa kena hukuman lagi.” “Ini kita ngobrol.” “Kita ngobrol karena gue lagi ngingetin lo buat ga ngobrol!!” seru Denis dengan suara yang agak keras. Dari belakang mereka, seorang senior menepuk bahu Andra dan Denis. Mereka menoleh seketika ke belakang. Dengan tatapan mata tajam, dia memberikan tanda telunjuk di di bibir, “Sssssttttt!!!” suasana hening seketika, yang terdengar hanya suara komandan upacara. Setengah jam upacara berlangsung, matahari semakin merangkak ke permukaan. Di tengah lapangan berdebu, ditambah paparan langsung matahari pagi tetapi cukup menyengat, Denis tampak seperti cumi-cumi yang dijemur di terik panas. Dengan badan sedikit gempal, kulit kuning langsat dan mata cenderung kecil, dia seolah menemukan gairahnya. Kulit kuningnya menjadi kemerahan, terutama di bagian wajah. Kakinya pun semakin intensif bergerak bergantian menopang badan yang gempal. Melihat kondisi itu, Andra yang berukuran tubuh proporsional dan lebih ramping dari Denis hanya menikmati pemandangan di sampingnya. Sebetulnya Andra khawatir jika Denis pingsan. Tetapi dia lebih khawatir kalau Denis terjatuh pingsan dan menimpa dirinya. Bisa jadi ada dua orang yang pingsan. Karena itu, Andra cukup rajin mencandai Denis agar pikirannya teralihkan dari kelemahan tubuh yang gontai. Sambil berbisik karena tidak berani bersuara keras lagi, Andra mencolek tangan Denis. “Lu makin mirip Patricknya Spongebob, Den!! Pink gitu muka lo!? Hihihi,” tawa Andra perlahan. Denis yang sedang benar-benar gerah dengan keringat bercucuran, ingin sekali rasanya menabok mulut sahabatnya itu. Tapi ia tahu kalau Andra sedang bercanda untuk mengalihkan rasa lemahnya. Berbeda dengan Andra, seorang siswa perempuan memiliki ekspresi lain ketika melihat keringat bercucuran melintasi kulit merah Denis. Gadis yang berbaris di sisi kiri Denis itu kemudian memberikan sapu tangannya dengan maksud agar Denis bisa menyeka keringatnya. “Ini, untuk lap keringat. Pakai saja.” “Terimakasih ya,” Denis tersenyum sumringah menerima sapu tangan sang gadis, dan segera menyeka keringatnya. Selesai keringat terseka, Denis bermaksud mengembalikan, tapi ia justru bertanya, “Ini sapu tangannya, gue balikkin apa gue cuci dulu? Oh iya nama gue Denis,” menjulurkan tangan kanan tanda menyampaikan perkenalan, sementara tangan kiri masih memegang sapu tangan. Andra keki melihat adegan itu, ia berdehem cukup keras untuk mencuri perhatian sekelilingnya, termasuk Denis. “Uhuuukkk!!” Alih-alih Denis menoleh padanya, Andra justru mendapat sikutan Denis yang mengarah ke perutnya. Gadis itu tersipu malu melihat kelakuan dua orang sahabat tersebut. “Dicuci dulu ga apa-apa kok. Lagipula masih bisa dikembalikan kapan-kapan, kita kan sekelas. Nama gue Renata, panggil aja Rere.” Gadis berkacamata, berambut sebahu dengan poni yang menutupi setengah frame kacamata dan kulit sawo matang itu menyambut uluran tangan Denis yang mengajaknya berkenalan. “Kalau dicuci jangan lupa direndam ya, biar ga lengket, karena tadi gue buang ingus di situ,” sebutnya lagi, lalu tersenyum, kali ini senyumnya penuh kemenangan. Sontak Denis melepaskan genggamannya pada tangan Rere, bergegas menaruh sapu tangan Rere ke saku celananya. Wajahnya pun seketika berpaling dari yang tadinya penuh tatapan haru atas perhatian Rere, kini menatap tegang ke arah podium tempat pembina upacara sedang menyampaikan amanat upacara. Tatapannya kosong penuh penyesalan. Sementara Andra yang masih merasa kesakitan karena sikutan Denis tadi langsung menutup mulutnya, menahan tawa yang hendak meledak karena mendengar perkataan Rere barusan. Beruntung, tak lama melihat Denis begitu menyesal menerima sapu tangan itu, Rere kembali berkata jika ia hanya bercanda. “Bercanda, Den!” “Hufttt.” Mendengar klarifikasi Rere, Denis merasa lega. Peluhnya hampir saja berjatuhan kembali dan mungkin lebih deras karena ia merasa telah dikerjai oleh seorang perempuan yang tak jauh lebih culun darinya. Beruntung pengalaman tak mengenakkan di hari pertama masuk sekolah itu tidak jadi berujung menjijikan. “Iya, gue tahu kalau lu cuma bercanda kok, Re!” tambahnya. Rere menundukkan kepala, pipinya menggembung menahan tawa mendengar perkataan Denis. Ia sebenarnya tak percaya jika Denis tahu itu hanya candaan, karena tanggapan ekspresi yang begitu serius barusan. Tapi apapun itu, Denis memiliki teman pertamanya selain Andra. Dan yang hebat, temannya ini adalah seorang perempuan. Jauh di atas raihan sejarah semasa SMP atau SD. Denis hampir tidak memiliki teman perempuan, ia memang cukup pemalu untuk berdekatan dengan perempuan. Namun sekarang, saat masa-masa pubertas menyambangi seorang remaja, itu seolah merubah segalanya. Tak berselang lama, upacara seremonial dimulainya MOS hampir selesai. Hal itu ditandai dengan pelepasan balon oleh kepala sekolah, nama kepala sekolah itu Pak Miko. Denis mulai cerah ceria kembali, kini perhatiannya penuh tertuju pada jalannya upacara sambil sesekali berbincang dengan Rere. Beberapa menit yang berharga kala ia melupakan Andra sebagai sahabat yang juga berbaris di sampingnya. Andra memaklumi sedikit perubahan sikap Denis. Dia tak melayangkan protes, justru di dalam hatinya Andra merasa senang karena Denis perlahan sudah paham, minimal mengerti bagaimana cara memulai pertemanan, apalagi dengan seorang perempuan. “Upacara selesai, bubarkan!!” begitu ucap pembina upacara memberi perintah kepada komandan upacara. “Balik kanan, bubar jalan!” perintah komandan upacara menginstruksikan pada peserta upacara sebagai tindak lanjut dari perintah pembina upacara. Para peserta upacara berbalik kanan serentak, di arah belakang yang ketika berbalik kanan menjadi arah depan sudah menunggu para senior pembimbing di masing-masing kelas. Setiap kelas mendapatkan tiga orang senior pembimbing, kelas 1.2 mendapatkan bimbingan dari satu orang perempuan serta dua orang laki-laki, yakni Kak Tere, Kak Zahid dan Kak Gery. Hanya saja, kini yang berada di depan anak-anak 1.2 adalah Kak Tere dan Kak Zahid, sementara Kak Gery belum terlihat batang hidungnya. “Saya Zahid, kalian panggil kakak saja selama masa MOS ini. Dan ini teman saya, Tere, kalian juga wajib memanggilnya dengan sebutan kakak. Ada satu lagi yang akan menjadi pendamping kalian, Kak Gery. Dia izin ke belakang tadi, nanti menyusul perkenalannya dengan Kak Gery,” tegas Zahid. “Selama tiga hari kegiatan MOS, kalian akan kami mentori. Jadi segala kegiatan di dalam MOS ini, dan itu berhubungan dengan kelas 1.2 akan menjadi tanggungjawab kami bertiga,” menyusul, Tere berbicara. Barisan lalu dipersilahkan memasuki ruang kelas setelah dijelaskan mengenai peran mereka sebagai senior pembimbing. Sebelum memasuki kelas, barang bawaan dari siswa baru diperiksa satu persatu. Terutama kostum dengan tema mempermalukan ini. Topi kerucut dari koran, papan nama yang disamarkan, kalung pete, dan kaos kaki beda warna. Hampir semuanya menggunakan atribut yang lengkap, hanya tiga orang yang tidak mengenakan atribut. Salah satunya cukup akrab terlihat di mata Denis dan Andra, dia adalah siswa baru yang tadi anti hukuman. Kali ini dia tidak bisa lolos hukuman. Posisi kelas 1.2 yang bersisian dengan ruang guru serta tajamnya pengawasan dari wakil kepala sekolah bidang kesiswaan atas kegiatan MOS, Pak Boris, membuat sanksi disiplin harus dijalankan. Senior berpenampilan berantakan yang tadi membela siswa ini juga tidak menampakkan diri, jadi tidak ada lagi pembelaan atas dirinya. Kena lah siswa ini berlari tiga kali keliling lapangan upacara. Meskipun ia sudah mengatakan alasan jika baru semalam tiba di kota ini, dan urusan administrasi masuk sekolah diurus oleh tantenya, sehingga dia sama sekali tidak tahu tentang peralatan MOS. Tetapi para senior tidak memberikan celah alasan. Sungguh perpeloncoan yang mengesalkan!!
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD