GILANG GITARA, FREKUENSI YANG SAMA

1243 Words
Memasuki ruang kelas, para siswa diperbolehkan memilih tempat duduknya masing-masing. Denis dan Andra memilih duduk bersama di barisan kanan, ketiga dari depan. Di depannya duduk dua orang perempuan, salah satunya adalah perempuan yang berkenalan dengan Denis sewaktu upacara pagi tadi, Rere. Sementara selang waktu para siswa baru saling berkenalan satu sama lain. Siswa yang anti hukuman tetapi baru saja kena hukuman susulan, masuk ruang kelas. Kali ini gayanya sedikit lebih sopan, mungkin karena lelah sehabis berlari keliling lapangan. Sebelum duduk di meja yang masih kosong, ia terlebih dahulu diminta oleh Tere mengenalkan diri di depan kelas. “Halo, dek. Sini sebelum duduk. Tolong kamu perkenalkan diri kamu dulu! Karena tadi teman-teman kamu yang lain sudah saling mengenalkan diri.” seru Tere. Anak itu tampak malu-malu. Beban untuk meninggalkan bekas perkenalan pertama dengan kesan terbaik tentu sangat terasa. “Baik kak!” jawab murid baru anti hukuman ini. Dengan tangan melipat ke arah belakang, mirip sikap istirahat di tempat, anak itu pun mulai buka suara di hadapan kelas 1.2. “Salam semuanya!!!” “Salaaammmm!!!” jawab anak-anak kelas 1.2 serempak. Anak itu berhenti bersuara sebentar, malu tak bisa ditutupi dari raut wajahnya. Hanya saja, dengan senyuman yang sesekali dilemparkannya kepada teman-temannya, ia berhasil mengembalikan kepercayaan diri. “Nama saya Gilang Gitara. Kalian bisa panggil saya, Gilang. Asal sekolah saya dari Surabaya. Baru semalam tiba di kota ini dan saya minta maaf kalau pakaian saya tidak seperti apa yang kalian pakai sekarang.” Inilah kali pertama Andra, Denis dan teman-teman lainnya termasuk Rere mengenal nama Gilang. Selesai perkenalan, Gilang kemudian berjalan mencari meja kosong untuk ditempati, kebetulan meja di belakang Andra dan Denis belum ada yang menempati. Entah mengapa. Mungkin karena posisinya tanggung, tidak terlalu ke depan dan tidak pula terlalu ke belakang. Selain itu, anak-anak lainnya juga duduk saling berkelompok tergantung pada siapa yang dikenal mereka terlebih dahulu. Jadi meja di belakang Andra dan Denis tidak masuk hitungan. Anak laki-laki juga seperti biasanya, lebih memilih meja paling belakang untuk ditempati dibanding yang di depan. Gilang duduk seorang diri untuk sementara. Kakak-kakak kelas juga tidak terlalu mengatur mengenai posisi duduk. Mereka lebih fokus untuk mengakrabkan suasana dibanding mempersoalkan tempat duduk. Kini suasana kelas sudah kondusif setelah sesi perkenalan dilakukan. Tere kemudian memulai materi pertama untuk mengenalkan bagaimana lingkungan SMA dijalani. Menurut senior-senior itu, hal ini penting untuk dijadikan materi. Karena masa SMA dan SMP agaknya berbeda. Entah berbeda dalam hal apa yang dimaksudkan mereka. Hampir setengah jam materi itu berlangsung dengan khidmat. Sebagian murid mencatat, sebagian lagi pura-pura memperhatikan sambil lalu melamun. Mereka yang melamun lantas terbuyarkan ketika bunyi ketukan pintu kelas terdengar. Tanpa dipersilahkan masuk, seonggok lelaki masuk ke dalam ruangan. Dia adalah senior yang membela Gilang saat hendak dihukum di depan gerbang pagi tadi. Seragam SMA-nya kini sudah terlihat lebih rapi dengan ujung baju yang dimasukkan ke dalam sela celana. Bau rokoknya sudah tidak tercium, berganti wangi dengan parfum ala Don Juan mafia-mafia Italia. Tanpa menoleh ke arah siswa baru dan dengan gaya jalan yang masih sama seperti tadi, ia menghampiri Zahid yang berada di meja guru. Sementara Tere terus menjelaskan, seperti tak ada apapun mengganggunya. Zahid dan senior kumal ini terlihat saling berbisik. Sejenak Zahid menghentikan Tere yang sedang tebar pesona memberikan materi. Meminta untuk berbicara sebentar. “Nah adik-adik atau teman-teman, ini satu lagi pendamping kelas kalian. Namanya Kak Gery, untuk Kak Gery silahkan perkenalkan diri!” Gery kemudian memperkenalkan diri. “Halo semua!!” “Halo kakkkkk!!!!” sambut murid-murid serentak. “Nama gue Gery Manakar. Kalian bisa panggil kakak, abang, mas atau dengan nama saja, gue ga masalah.” Perkenalan diri yang nihil sopan santun dalam kesan pertama. Tere hanya berdehem pelan memberi tanda pada Gery agar sedikit berlaku sopan, sementara Zahid menggaruk kepalanya sebagai reaksi dari cara Gery memperkenalkan diri. Sedangkan anak-anak baru hanya diam mendengarkan, begitu pula dengan Andra, Denis, serta Gilang. Gery tak menyadari tanda-tanda yang diberikan teman-temannya sesama senior agar menggunakan bahasa lebih sopan. Antara tak menyadari atau tak memperdulikan teguran sebenarnya, Gery lalu melanjutkan kembali perkenalan dirinya. “Gue bukan pengurus OSIS, dan kenapa gue jadi pendamping kelas? Karena perwakilan dari ekstrakurikuler. Kebetulan gue perwakilan dari ekskul musik, ekskul ini baru dibentuk dua bulan lalu, nanti di sesi perkenalan ekskul, akan ada penjelasan lebih detail. Ga janji sih tapi,” dia terdiam sebentar mengharap tawa anak-anak baru, tetapi mereka dingin menanggapi candaan Gery. Jangankan tertawa, senyumpun enggan. Menyadari candaannya tak ditanggapi, dia kemudian melanjutkan lagi berbicara, seolah tidak pernah terjadi apapun. “Segitu dulu kali ya perkenalannya, kalau ada yang mau ditanyakan bisa ketemu di luar kelas,” ucapnya tegas mengakhiri perkenalan. Gery balik arah ke tempat Zahid di meja guru, kali ini Tere maju lagi dan kembali melanjutkan materi yang terpotong barusan. Materi berlangsung kurang lebih dua jam mata pelajaran. Selama materi berlangsung, suasana kelas sungguh hening. Pemandangan seperti ini biasanya hanya akan bertahan paling lama satu minggu. Setelah mereka telah akrab dengan lingkungan yang berisi teman-teman baru, kalian boleh samakan ruang kelas tanpa guru dan lapak pedagang ayam di pasar. Jam istirahat berbunyi. Pendamping kelas keluar ruangan terlebih dahulu, disusul kemudian anak-anak kelas yang berhamburan keluar. Andra dan Denis masih bertahan sejenak di dalam kelas, merapihkan buku catatan dan kemudian mereka masukkan ke dalam laci meja. Di belakang bangku mereka berdua, tampak Gilang sedang asyik membaca buku. Entah sejak kapan ia membaca buku itu. Dilihat dari sampulnya, itu bukan merupakan buku pelajaran, apalagi buku tulis untuk mencatat materi. Tertarik ingin tahu, Andra yang melihat kegiatan membaca Gilang mencoba bertanya sekaligus berbasa-basi agar bisa berkenalan secara langsung dengan Gilang. “Pramoedya Ananta Toer ya?” Gilang menengadahkan kepala, ia sedikit lebih lama mengambil perhatian pada pertanyaan Andra. “Lo tau Pram?” “Gue koleksi banyak buku di rumah, termasuk buku Pram.” “Oh, begitu. Baguslah. Gue kira anak Jakarta apalagi yang masih SMA ga tau soal Pram. Ternyata lo tau.” Percakapan seolah menemui jalan buntu, Gilang begitu dingin menanggapi. Justru kini ia kembali terbenam dalam kenikmatannya membaca. Andra yang memang sejak kali pertama bertemu Gilang merasa tertarik pada kepribadiannya, karena merasa banyak kesamaan dengan dirinya, tak ingin menyerah begitu saja. Dia mengambil inisiatif untuk memperbincangkan buku yang dibaca Gilang, kembali. “Buku yang lo baca, Bumi Manusia kan?” “Ya, gue sudah tiga kali baca buku ini sampai selesai, tapi ga pernah bosan,” jawab Gilang, dengan mata yang masih fokus ke buku. “Sastra klasik memang selalu menarik. Bukunya Moechtar Lubis, Manusia Harimau juga asyik buat dibaca.” “Selera lo boleh juga ya!” ucap Gilang, kagum. “Oh iya, kita belum kenalan kan? Gue Andra,” mengulurkan tangan. “Gue Gilang,” menyambutnya hangat.    Percakapan antar kedua orang itu tak berlangsung lama, ada Denis yang sedari tadi memperhatikan obrolan mereka lalu menyela. “Eheemm..... Kayak ga ada orang lain ya kalian ngobrol. Gue boleh kenalan juga ga?” “Penting kah?” tanya Gilang spontan, memasang muka heran. Denis menjadi merasa bersalah mendapat jawaban Gilang yang seperti itu. Wajahnya serius memastikan jika Gilang hanya bercanda. Tidak dianggap, memang adalah hal paling menakutkan bagi Denis. Tak lama, Andra tertawa kecil, disusul Gilang. Denis memang mudah dipermainkan. “Hahahaha. Ya boleh lah, kalau cuma mau kenalan. Asal jangan pinjam uang. Masa baru kenal pinjam uang,” Gilang mengulurkan tangan, ramah. Denis tersenyum sumringah menyambut tangan Gilang. Ia tak jadi malu karena permintaan berkenalannya ditolak. “Hehehe.... Gue kira tadi serius, kalau kenalan sama gue ga penting,” tawanya memicingkan mata, dan berkata kembali, “Gue Denis!” 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD