GERY MANAKAR, KEJENAKAAN YANG MENGERIKAN

1220 Words
Obrolan mereka semakin seru seiring semakin dalam pertemanan terjalin. Berbagai pembicaraan menjadi tema obrolan, mulai dari buku, tempat tinggal, lingkungan, sampai latar belakang mereka masing-masing. Maklum, Gilang adalah anak baru bukan hanya di sekolah ini, tetapi juga di kota ini. Beruntung dia bertemu Denis dan Andra yang menjadi teman pertamanya. Selang sepuluh menit, bel tanda masuk kelas berbunyi. Kelas dilanjutkan kembali, kali ini seorang guru yang masuk ruang kelas, mengisi materi mengenai kedisiplinan dan sosialisasi sanksi jika terjadi pelanggaran terkait dengan peraturan sekolah. Kelas sudah semakin ramai karena guru yang menerangkan mampu membangun suasana. Ia adalah Bu Fera, Guru BK (Bimbingan Konseling) sekaligus pembina OSIS. Sebagai Guru BK, Bu Fera terlalu baik dan tidak menampakkan kesan horor kepada murid-murid. Setelah materi Bu Fera, masih ada dua materi lagi sebelum waktu jam pulang di hari pertama pelaksanaan MOS ini. Pada hari pertama dan ketiga, siswa pulang agak sore, sekitar jam tiga. Sementara untuk hari kedua, mereka bisa pulang seperti jam sekolah biasa, sekira jam dua belas siang atau paling lambat jam satu. Dua materi lanjutan berlangsung normatif, satu mengenai OSIS dan satu lagi mengenai metode belajar di SMA, yang menurut teori akan berbeda dengan masa SMP. Bel jam pulang adalah bunyi yang paling siswa-siswa tunggu untuk saat ini. Apalagi bagi Andra, Denis dan Gilang. Mereka sadar jika saat istirahat tadi tidak dimanfaatkan ke kantin untuk sekadar mengganjal perut. Hingga di penghujung jam pulang, perut mereka bertiga kompak keroncongan. “Teeeetttt..... Teetttt..... Teetttt....!!!” bel pulang sekolah berbunyi. Sorak dari siswa-siswa baru menyusul bunyi bel sekolah tadi, “Yeeaaaa!!!” Sorakan itu merata hampir di semua kelas. Para siswa baru ini merasa terbebas dari segala macam kekonyolan di hari pertama. Sementara kakak pembimbing kelas menginformasikan mengenai kegiatan besok termasuk barang apa saja yang harus dibawa, para siswa sudah terlihat tidak sabar untuk beranjak pulang. Ketika dipersilahkan, mereka seperti sekumpulan lalat yang digeprak dengan sapu lidi, berhamburan terbang menyelamatkan diri. Tak lama, kelas sudah agak kosong, hanya beberapa orang yang masih menghabiskan waktu berbincang bersama teman lainnya. Denis mengajak Andra juga Gilang untuk sebentar mengunjungi kantin. Barangkali di sana ada yang bisa dimakan. Kayu, kusen atau batu pun tidak jadi persoalan untuk Denis sekarang.  Tubuhnya yang gempal, agak pendek dan kekar memang sulit menahan rasa lapar. Kantin tidak berada jauh dari kelas mereka. Posisinya ada di belakang ruang guru. Posisi kantin yang seperti ini sangat tidak strategis sebenarnya. Dengan posisi kantin seperti itu, sudah pasti siswa tidak bisa membolos jam pelajaran ke kantin, karena keberadaannya bisa terlihat jelas dari jendela ruang guru. Tolong untuk membolosnya, jangan dijadikan contoh, ya! Lingkungan sekolah, termasuk lapangan yang masih berbentuk hamparan pasir, terlihat sudah mulai sepi. Cepat sekali para siswa bubar. Yang tertinggal hanya beberapa kakak kelas mondar-mandir tidak jelas. Saat tiba di kantin, hanya dua warung yang buka. Satunya penuh dengan perkumpulan siswa, para senior kelihatannya, karena ada Zahid di sana. Satu warung lagi hanya ada seonggok manusia, yang kelihatannya akrab di mata Andra, Denis dan Gilang. Shit! Gery ada di sana. Denis mencoba menahan gembel-gembel di perutnya yang mulai berteriak demonstrasi minta dikasih makan, tetapi tidak bisa. Andra mengusulkan untuk mencari makanan di luar saja. Dengan pertimbangan, jika ke warung yang ramai senior-senior, ada perasaan tidak enak menghinggapi. Dan jika ke warung satunya, ada perasaan segan karena Gery berada di sana. Mereka berdua agaknya terlihat ingin menghindari Gery. Bagaimana tidak? Bahkan senior-senior yang notabene seangkatannya saja memilih berdesakan di warung satunya ketimbang ikut duduk bersama Gery. Tapi yang apes tentu ibu pemilik kantin tempat Gery duduk, tidak laku dagangannya. Keinginan Andra dan Denis untuk beranjak ternyata ditahan oleh Gilang. Bagaimanapun, tadi pagi Gery sudah berjasa menyelamatkan Gilang dari hukuman senior. Tentu Gilang ingin sekadar berbasa-basi mengucapkan terimakasih pada Gery. Toh sejak pertemuan tadi pagi, Gilang belum berbicara lagi dengan Gery.  Keinginan Gilang itu mendapat dukungan dari gembel di perut Denis. Meski merasa segan, dorongan dari gembel kelaparan di perut sudah semakin sporadis. Tak perduli rasanya, jikapun ada kebakaran, ia akan tetap melahap apinya. Sesampainya di warung tempat Gery sedang duduk dengan santai, Denis langsung melaporkan perihal kelaparannya pada ibu kantin dan memesan seporsi mie. Hal itu diikuti pula oleh Andra, sedangkan Gilang memilih langsung duduk dan menitipkan pesanannya pada Andra. Sementara Gery? Tampak tak menggubris kedatangan mereka. Ia tetap saja berfokus pada minuman serta pandangannya yang entah kemana. Gilang mengambil posisi di seberang tempat Gery terduduk. Kini mereka hanya dibatasi meja kayu bercat hijau muda. Sepotong kata langsung meluncur dari mulut Gilang kepada Gery yang kelihatan tak pernah ingin diganggu. "Makasih ya kak, pertolongannya tadi pagi.” Gery melirik ke arah mata Gilang yang mengajaknya berbicara. “Tadi pagi emang gue ngapain? Kok lo bilang makasih,” tanya Gery, ketus. “Lo selamatkan gue dari hukuman senior di depan gerbang sekolah,” jawab Gilang singkat. Selesai memesan makanan, Andra dan Denis langsung mengambil posisi duduk berdekatan dengan Gilang juga Gery. Mau tak mau mereka duduk di situ karena Gilang sudah keburu mengambil satu meja dengan Gery. Sialnya, Denis kalah cepat dari Andra yang mengambil posisi di sebelah Gilang. Sedangkan Denis harus bersebelahan dengan Gery. Sungguh posisi yang tidak menguntungkan. “Oh ituuu, ga masalah. Kebetulan gue lewat,” Gery menanggapi dingin. “Kakak, senior pendamping kelas kita kan? Jarang masuk kelas kak?” Andra duduk sambil menimpali pembicaraan antara Gery juga Gilang. Sebenarnya ia agak segan dengan Gery, tetapi bagaimanapun juga mereka ada di satu lingkungan sekolah yang sama. Andra sadar, komunikasi memang harus dibangun, dengan siapapun itu, termasuk dengan Gery. “Ga usah panggil gue kak, kalau di kelas boleh lah. Tapi kalau di luar, panggil nama aja, Gery,” santai menjawab. “Gue ga punya peran apa-apa, pendamping kelas kan cuma status. Ya itu buat orang yang ingin tebar pesona aja lah. Lagian udah ada Tere sama Zahid juga kan. Mereka sudah lebih dari cukup kok. Oh iya, gue belum kenal lo berdua,” menunjuk ke Denis dan Andra. “Gue juga lupa nama lo,” Gery melirik Gilang. “Gue Andra, Andra Sastra Gumilang.” “Gue Gilang Gitara.” “Denis, Denis Rakasenja.” Tanpa uluran tangan, layaknya perkenalan antar pria. “Oke. Kalian sudah tau nama gue kan?” “Iya ingat kok Ger. Gery Manakar kan?” sahut Andra menanggapi. Pesanan makanan sudah datang, standar anak sekolah. Tiga porsi mie untuk tiga orang. Sambil makan, obrolan masih berlanjut. Kini mereka tahu, Gery sebenarnya tidak seperti yang dibayangkan, atau mungkin belum terlihat apa yang mereka bayangkan. Tampilan fisik Gery yang terlihat seperti orang timur Indonesia, membuat mereka was-was. Stigma jika orang timur itu menakutkan, erat melekat di ingatan mereka. Padahal Gery tidak terlalu sangar, kulitnya memang lebih legam dibanding orang pulau Jawa, rahangnya agak keras, badan kurus nan berisi menjadi ciri lain yang tak bisa dipisahkan. Maskulinitas Gery juga terlihat dari gaya rambut mohawk ditambah dengan matanya yang cekung ke dalam. Selain tampilan fisik, keseganan orang pada Gery muncul karena ia yang kadung pendiam, itu menambah kesan misterius. Tetapi Gery sangat baik hati dalam soal pertemanan, juga kemanusiaan. Itulah kali pertama pertemanan antara Andra, Denis, Gilang serta Gery terjalin. Bangku sekolah SMA mempertemukan mereka dengan caranya sendiri. Andra dan Gilang melalui obrolan sastra, Denis yang selalu berhasil menjadi pemecah kebekuan dan Gery yang masih tidak bisa terbaca. Mereka mengarungi masa sekolah dengan penuh petualangan, anak-anak muda ini yang kelak mengisi hari dengan berbagai kisah, canda, tawa, keharuan, ketakutan sampai kebahagiaan. 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD