MOS hari pertama selesai dengan berbagai kesan. Andra serta Denis mendapat teman baru yang kebetulan sangat nyambung dengan kebiasaan mereka sehari-hari, dia adalah Gilang. Hal tak terbayangkan justru terjadi kala mereka berteman pula dengan senior seperti Gery. Tapi sekadar mengenal saja tentu tak jadi masalah. Kalaupun menjadi teman dekat, sebetulnya mereka juga tidak ada masalah, yang masalah adalah pandangan orang-orang lain ketika mereka dekat dengan Gery.
Sebagai teman, Andra, Gilang atau Denis mencoba menepis sangkaan itu. Mereka berusaha sebaik mungkin melindungi Gery dari stigma yang kadung dilepaskan. Menurut Andra, kalau berteman hanya memandang bingkai luar, rasanya tak adil. “Bukankah kita seharusnya sudah harus menjadi adil sejak dalam pikiran,” kata Andra, mengutip perkataan Pramoedya Ananta Toer.
Di lingkungan sekolah ini, Gery memang cukup terasing. Ia jarang terlihat memiliki teman, padahal Gery tipikal orang yang loyal kepada temannya. Di satu sisi, Gery juga sebenarnya membangun batas atas siapa saja orang yang bisa berteman dengan dirinya. Tapi, di depan Andra, Gilang, dan Denis, batas itu diruntuhkan.
MOS hari kedua dan ketiga juga berlangsung dengan baik. Di hari kedua, saat jam sosialisasi ekskul, siswa baru terlihat tertarik dengan apa yang ditampilkan ekskul sekolah. Ekskul musik yang diketuai Krishna dan ada Gery di dalam organisasinya mendapat sambutan cukup meriah. Mereka menyewa alat band sederhana untuk bisa sekedar unjuk gigi dengan para siswa. Targetnya tentu mendapatkan anggota baru.
Krishna menjadi pusat perhatian, terutama siswa-siswa perempuan. Selain posisinya sebagai vokalis, hingga terlihat paling menonjol di dalam band, parasnya yang tampan juga mencuri sorak-sorai dari siswa-siswa perempuan itu. Sementara Gery, hanya menjadi remahan rempeyek teri ketika berada di belakang satu set drum tabuhannya.
Jauh dari keriuhan hingar bingar para siswa menyambut band dadakan kakak kelasnya, ada tiga orang siswa yang tidak hanya menikmati pertunjukan musik, tetapi juga mempelajari penampilan kakak-kakak kelas mereka di ekskul tersebut. Ketiga orang itu tentu adalah Andra, Gilang serta Denis. Andra sedari tadi terfokus pada cara Gery bermain drum. Begitupun dengan Denis. Sedangkan Gilang, hanya berekspresi datar dan menganggap semuanya biasa saja.
Sebetulnya, ada hal yang belum diketahui Andra dan Denis. Gilang sebenarnya sangat berprestasi di bidang musik. Sewaktu di Surabaya, ia pernah menjuarai festival musik kategori solois gitar terbaik se-Kota Surabaya. Karenanya, Gilang menganggap apa yang dilihat dan didengarnya pada demo ekskul musik sekolah barunya, adalah hal biasa.
Terkesan sombong memang, tetapi toh Gilang juga tidak bereaksi apapun. Tidak memuji ataupun melakukan kritik kepada penampil. Namun secara keseluruhan, ia sepakat pada penilaian Andra tentang cara Gery bermain drum. Gery memang memiliki tekhnik dan energi istimewa pada pukulan drumnya.
“Cara Gery main drum bagussss!!!” seru Andra setengah berteriak karena bising suara, pada Denis dan Gilang di kanan kirinya.
“Dia biasa pukulin orang kali ya? Emosi banget mainnya, tapi jadi terasa apa yang dipukulnya. Beatnya juga pas,” Denis menanggapi pembicaraan Andra.
Gilang masih terdiam tak berbicara, hanya mengangguk sesaat. Menghargai pembicaraan teman-temannya.
“Paling kerasa waktu tadi dia menggantung tempo. Kalau drummer amatir pasti sudah lari ngejar bass, tapi Gery tepat, kasih celah dengan kombinasi tom-tom,” seru Andra masih setengah berteriak.
“Gilang menurut lo, gimana?” tanya Denis.
“Oke. Ga ada masalah, paling menonjol memang energi pukulannya. Soal beat digantung, gue rasa dia ga rencanain, itu improvisasi. Bassisnya agak gagap.” Cukup panjang Gilang menjelaskan dengan serius. Apa yang dikatakan Gilang membuat Denis dan Andra keheranan.
Meskipun terlihat kurang tertarik, tapi Gilang ternyata memiliki pengetahuan musik yang tak jauh berbeda dari mereka berdua. Keheranan mereka timbul karena Gilang sebelumnya tak pernah bercerita mengenai ketertarikannya di dunia musik.
Jadilah Andra dan Denis saling bertatap mata, heran dan menelisik memastikan jika Gilang sedang tidak kesurupan arwah John Lennon. “Lo tau cukup banyak ya Lang!” mata Andra menelisik Gilang yang masih melihat ke arah band.
Diburu pertanyaan seperti itu, Gilang berusaha menghindar dan menjawab jika itu sebuah kebetulan. Andra sebenarnya tidak percaya, tapi ya sudahlah, tidak ada untungnya juga mendesak Gilang dengan pengetahuannya. Gilang sendiri sebenarnya bukan ingin menghindar, hanya saja, ia memang tidak ingin teman-temannya di sini menjauh.
Pengalaman itu yang pernah terjadi di Surabaya dulu, ketika masa SMP. Gilang sempat tidak diinginkan teman-temannya, apalagi di lingkungan musiknya. Bakatnya jauh melampaui apa yang dimiliki teman-teman sebayanya. Karena itu, teman-temannya banyak yang mengasingkan Gilang seorang diri. Itulah salah satu kenyataan yang ada di dunia ini.
Orang yang sangat berbakat biasanya akan terasing hidup di tengah-tengah orang tanpa bakat. Sementara kini, dunia mayoritas diisi oleh orang tanpa bakat yang memaksakan berbakat, atau orang yang salah tempat untuk bisa diakui sebagai berbakat.
Di akhir kegiatan demo ekskul, Andra dan Denis memutuskan untuk masuk ekskul musik. Gilang tadinya enggan untuk masuk ekskul musik, tapi atas desakan Andra serta solidaritas pertemanan, akhirnya ia harus mengalah dan ikut mendaftar menjadi anggota ekskul musik.
“Ayolah, kita kayaknya harus coba masuk ekskul musik. Gue tertarik, apalagi kita udah kenal sama Gery kan. Minimal dia bisa bantu kalau ada yang bully kita. Hehehehe,” desak Andra kepada Denis dan Gilang.
“Gue setuju, tapi gue juga pingin masuk KIR deh. Kakak-kakak kelasnya bakal bikin gue betah kayaknya,” Denis menanggapi. KIR memang menjadi salah satu ekskul unggulan di sekolah itu. Selain kegiatannya terkait dengan pelajaran, di GS, mayoritas pengurus ekskul KIR adalah senior perempuan yang terbilang cukup cantik.
“Lo tuh ya. Apa bisa lo terpisah dari gue?” mata Andra melirik Denis, menyindir.
“Ndra, lo siapa gue sih? Bukan emak atau pacar gue tapi seolah gue selalu nggak bisa hidup tanpa lo.”
“Emang bukan, tapi lo sendiri yang anggap gue kayak emak lo. Lagian emak lo juga setiap hari selalu nitipin lo ke gue. Emangnya gue panti asuhan? Mana lo makannya banyak lagi. Rugi gue dititipin elo!!”
“Gue makan selalu bayar sendiri, kadang malah bayarin lo.”
“Itu biaya penitipan atas diri lo, Den!” Andra enggan mengalah.
Perdebatan yang tidak bermanfaat itupun disela oleh Gilang. “Sudahlah kalian. Gue setuju sama Denis sih. Kita masuk KIR aja. Banyak yang bisa dikecengin di sana.”
“Duh, kalian mikir ga sih? Kalau masuk ekskul musik, kita bentuk band, terus band kita populer, bukan cuma anak KIR kecengan kita, tapi satu sekolah. Ayolah, Lang, Den!!” pinta Andra pada kedua temannya.
“Iya juga ya. Emang cocok lo jadi emak gue, Ndra. Selalu mengarahkan ke jalan yang hampir benar. Hahahaha,” canda Denis.
“Nah, Denis udah setuju. Lo gimana, Lang?”
“Gimana ya. Gue ga tertarik, Ndra,” Gilang mengalihkan pandangan, coba beralih perhatian, tapi tak ada bahan pembicaraan. “Lagian gue ga bisa main musik.”
“Makanya kita belajar musik di ekskul. Gue juga ga bisa, tapi kalau kumpul sama yang bisa kan jadi ketularan nanti.” Gilang pun hanya terdiam, sulit untuk berkelit lagi.
Di saat ketiga orang itu sedang asyik berbincang, tiba-tiba Rere datang menghampiri. Mereka sudah saling mengenal kini. “Hay kalian tiga setangkai!!” duduk di sebelah Denis, membawa selembar kertas.
“Eh ada Rere. Kenapa gitu, tiga setangkai?” tanya Denis, akrab.
“Karena kalian berbatang, terus kalau tiga serangkai sudah ada yang punya. Tiga setangkai ga masalah kan, Den?” ucap Rere dengan wajah polos.
Agaknya Denis memiliki perasaan lebih dari sekedar teman kepada Rere. Itu terlihat dari tatapan mata dan kecepatannya bereaksi menanggapi Rere. “Ga akan pernah ada masalah kok kalau itu keluar dari mulut Rere,” canda Denis menggoda.
“Tapi akan jadi masalah kalau mulut lo nanggepin mulut Rere,” timpal Andra, keki.
“Lo ada masalah banget sama gue ya, Ndra? Perasaan gue ga punya hutang sama lo. Tapi sensi terus sama gue,” Denis serius, berdiri berkacak pinggang, kesal. Rere dan Gilang yang mendengar keributan dua sahabat itu hanya tersenyum, mereka mengetahui kalau berdebat tanpa manfaat adalah ciri persahabatan yang erat.
“Eh Re, bawa apaan itu?” tanya Andra tak gubris Denis yang masih kesal.
“Benar-benar lo ya! Gue marah ga lo tanggapin?” Denis kembali menghardik Andra.
“Lo ga akan pernah bisa marah sama gue, Den. Lo cuma caper (cari perhatian) aja ke Rere.” Mendengar itu, Denis merunduk, perlahan duduk, menutupi malu yang telanjur mencambuk. Sebelumnya, dia dorong dulu Andra sebagai ekspresi tingkah yang salah.
“Hehehe... Oh ini? Formulir pendaftaran ekskul, Ndra. Gue masuk ekskul musik,” Rere dengan wajah sumringah menunjukkan kertas yang ditanyakan Andra barusan.
“Masuk ekskul musik, Re? Emang bisa main musik?” telisik Andra penasaran.
“Nggak bisa sih. Hehehe... Tapi minimal di ekskul musik, banyak kakak kelas laki-laki yang bisa gue kecengin, Ndra,” jelas Rere tersenyum penuh muslihat. “Udah ya, gue balik dulu ke kelas, mau isi form ini. Dahh.”
Sesaat Rere pergi, mata Andra dan Gilang memicing pada Denis. Denis yang heran dilihat dengan penuh tanda tanya itupun bertanya. “Kenapa kalian lihat gue begitu?”
“Pemikiran lo sama Rere cocok. Sama-sama aneh dan penuh niat buruk. Lo mau masuk KIR buat kecengin cewe-cewe di sana, Rere masuk ekskul musik ternyata juga cuma buat kecengin cowo-cowo,” dijelaskan Andra.
“Hahaha. Benar, benar itu. Gue juga tadi mau bilang gitu, Ndra,” tawa Gilang. Denis hanya merengut, meratapi bulan-bulannan yang diterimanya dari Andra dan Gilang.
“Jadi gimana, Lang? Kita daftar musik ya. Kalau kita bareng-bareng kan enak buat belajarnya, enak juga buat interaksi di organisasinya, jadi ga terlalu lama beradaptasi,” Andra masih saja penasaran dengan mendesak Gilang untuk ikut dengannya mendaftar di ekskul musik.
Gilang yang sedang tertawa, diam sebentar, tampak berfikir. Mudah sebenarnya untuk memutuskan. Hanya saja, banyak ketakutan yang membayangi. Rasanya tidak terlalu enak ditinggalkan oleh teman-teman karena diri kita memiliki kelebihan dibanding yang lainnya. Namun, hidup adalah persoalan ditinggalkan atau meninggalkan dan itu lumrah. Gilang hanya butuh waktu untuk siap menghadapi kenyataan.
“Tapi kalau lo nggak mau, kita ga maksa kok Lang.” Kata-kata Andra yang seolah mengikhlaskan tetapi dengan ekspresi bersungut itu semakin membuat bimbang.
“Tapi apa hendak dikata, toh cepat atau lambat gue pasti akan kembali bermusik,” pikir Gilang. Bermusik bagi Gilang bukan hanya soal bakat, dibalik itu tentu ada keinginan yang kuat, juga usaha yang keras. Semua itu ia lakukan tidak hanya untuk dirinya sendiri, melainkan juga untuk menuntaskan harapan ayahnya yang menginginkan Gilang menjadi musisi hebat kelak.
Gilang pun mengangguk perlahan, tanda setuju pada ajakan Andra, juga Denis. Hal itu membuat Andra senang dalam batas kepalang. Mereka pun berjalan menuju stand pendaftaran ektra kurikuler musik. Ada dua meja di stand musik, satu ditunggui Sendi, salah seorang anggota ekskul musik. Dan satu meja lagi diisi Gery. Tak butuh waktu lama, Andra langsung meminta pada Gery tiga lembar formulir pendaftaran.
“Kak, saya minta tiga formulir ya,” sapa Andra pada Gery yang sedang setengah melamun menjaga meja pendaftaran.
“Eh, elo! Jadinya masuk ekskul musik ya kalian bertiga?” tanya Gery, melihat ke arah Andra, Denis dan Gilang yang berjejer rapi depan meja.
“Iya nih, biar lo punya teman kak,” celetuk Denis yang kemudian disikut Andra.
“Hahahaha..... Gue biasa sendiri kok. Santai lah. Ini formulirnya! Segera diisi terus kembalikan ke sini lagi ya.”
Tiga setangkai itu lantas beranjak pergi, mengisi formulir pendaftaran dan segera menyerahkan lagi pada Gery. Tak lama, jam pulang pun tiba. Ditandai dengan bunyi bel pulang bagi para siswa. Tidak seperti hari pertama MOS, kali ini waktu pulang agak siang, pukul dua belas. Mereka bertiga pun langsung menuju rumah, tidak lagi mampir ke kantin sekolah.
Di hari ketiga MOS, segalanya berjalan normatif. Cukup membosankan dibanding hari kedua dan pertama yang dilalui kemarin. Hanya saja, bagi para siswa ada perasaan lega karena prosesi MOS segera berakhir. Tak akan ada lagi tugas menjengkelkan menebak barang bawaan yang disamarkan dengan berbagai nama. Dan akhir masa MOS sekaligus menandai jika murid baru telah sah menjadi anak SMA.
Tiada jejak kehidupan yang ditinggalkan tanpa kesan. Namun, kesan yang ditinggalkan dari seluruh kegiatan MOS ini hanya mampu menjadi bahan pembicaraan satu atau dua minggu ke depan. Setelah itu, MOS dilupakan, berganti dengan berbagai tema pembicaraan di masa SMA. Ada cinta, persahabatan, pengkhianatan, permusuhan, keceriaan, keharuan, pertemuan atau bahkan perpisahan.