chapter 9

1040 Words
Melanie menatap alat testpack yang ia beli beberapa hari lalu saat berbelanja bulanan. Dia menggigit bibirnya dan menahan rasa sesak yang ia rasakan. perasaan yang seakan seperti menyiksanya dengan begitu dalam. Disaat Lauren yang mendapatkan pelukan yang sangat erat dari Fabian setiap kali dia menangis. Dirinya hanya bisa menangis dalam kesunyian. Hidup sendiri dalam dunia yang kejam sangatlah menyakitkan. Seakan dunia ingin menumpuk seluruh beban pada dirinya. Membuatnya menyerah dan akhirnya dia memilih untuk menghentikan waktunya. Melanie mencoba untuk menarik napas dan menghelanya. Dia membasuh air matanya dan beranjak dari kamarnya. Semua keluarga sedang menikmati musim semi dengan sarapan di gazebo yang berada di samping kanan kamar Lauren. Pelayan sudah mendapatkan perintah dari Melanie untuk merapikan seluruh sarapan di sana. Semua keluarga Aiden pun berkumpul di halaman belakang. Menikmati teh hangat dengan semilir angin musim semi yang baru datang. Melanie menatap seluruh keluarg Aiden yang sedang menikmati sarapan mereka. Awalnya dia sangat ragu untuk mendekati mereka. Tapi dia akan tetap harus mengatakannya, cepat atau pun lambat mereka harus mengetahuinya. Melanie menarik napasnya dan menghelanya. Dengan kekuatan yang selalu ia simpan sebisanya di dalam dirinya. Melanie sadar dia harus memiliki kekuatan untuk dirinya sendiri, karena pada akhirnya dia akan tetap harus berdiri sendiri. Setelah berdiri di hadapan seluruh keluaraga. Melanie meletakkan hasil testpacknya di atas meja. Semua pun menoleh padanya dan Melanie hanya menundukkan kepalanya. Yang pertama berdiri adalah Naora dan memeluknya. Dia menangis antara senang dan sedih. Naora tidak pernah ini terjadi pada Melanie. Dia sudah meminta pada suaminya jangan membebani ini semua pada Melanie, tapi cinta pria itu yang terlalu besar padanya, membuatnya harus mengorbankan siapa pun. Bahkan putra dan menantunya. Naora merasa menjadi sangat merasa bersalah atas semuanya. Kalau saja ini semua tidak terjadi padanya. Kalau saja dia yang bisa bertahan untuk anak-anaknya. Mungkin tidak ada yang perlu berkoban untuknya. “Mom, kamu tidak perlu menangis,” ucap Melanie. Naora masih memeluk Melanie dan perlahan melepaskannya. Dia memberikan ciuman pada perempuan itu dan membelai rambut wanita itu. “Aku baik-baik saja, mom,” ucap Melanie. Naora mencoba untuk tersenyum, tapi dia tetap saja menangis. Orang yang kedua beranjak dari bangkunya adalah Lauren. Dia berusaha untuk tersenyum dan memeluk Melanie. “Terima kasih,” ucap Lauren dengan sangat lirih. Setelah Lauren melepaskan pelukannya, Melanie pun membungkukkan tubuhnya dan berniat untuk pergi. Tapi Fabian yang lebih dulu menahannya dan menyuruh Melanie untuk sarapan bersama. Melanie sudah berniat untuk mengelak, tapi suara Gail membuat Melanie terdiam. “Duduk.” Suara bariton yang selalu Melanie takuti itu membuatnya langsung mengambil satu bangku kosong di sisi Samuel. Fabian menatap ayahnya yang benar-benar tidak memiliki perasaan sedikit pun. Perempuan yang sudah berkorban untuk keluarganya ini pun masih saja bisa ia lukai seperti itu. Fabian menarik napas dan menyuruh seorang pelayan untuk mengambikan piring untuk Melanie. **** Lauren sedikit agai sibuk setelah mengetahui Melanie hamil. Dia sering menemani Melanie yang sedang mual. Dia juga membuatkan Melanie teh mint dan juga sibuk membuat daftar makanan yang sehat untuk Melanie. Dia selalu meyakinkan Melanie untuk makan walau hanya sedikit. Fabian hanya memperhatikan istrinya dan Melanie. Mereka sama-sama terluka, tapi mereka berusaha untuk tetap kuat satu sama lain. Fabian menarik napas dan mendekati dua perempuan itu. Dia tidak tahu siapa yang paling terluka di sini, tapi semuanya seakan memiliki luka yang sama. Fabian mendekati keduanya dan menatap istrinya yang masih terlihat khawatir dengan keadaan Melanie. Tangan istrinya memijat kening Melanie. Semenjak sarapan Melanie tidak berhenti mual dan memuntahkan makanannya. Dan sejak tadi dia hanya makan beberapa potong buah yang manis dan juga teh mint dengan biskuit asin. “Lauren, Melanie, ayo kita pergi sekarang,” ucap Fabian. Naora sudah menghubungi temannya yang bekerja sebagai dokter kandungan. Lauren pun sudah mendaftarkan Melanie. Fabian membantu Melanie berjalan hingga ia masuk ke dalam mobil dan mereka pun segera pergi. **** Fabian mengantar Melanie ke kamarnya dan menyuruhnya untuk tidak bekerja terlalu keras. Dia harus banyak istirahat untuk sementara waktu dan tidak memikirkan hal-hal yang berat. Dokter juga memberikan beberapa vitamin dan obat mual. Fabian membiarkan Melanie untuk beristirahat di kamar dan ia pun meninggalkannya. Fabian menitipkan pada beberapa pelayan untuk memberikan Melanie s**u pada jam-jam tertentu, beberapa cemilan dan juga membuat apa pun yang dia inginkan. Pelayan pun menganggukkan kepalanya dengan sopan dan meninggalkan Fabian. Dan saat ia menoleh Fabian melihat istrinya yang masih terpaku pada gambar usg bayi yang baru genap satu minggu. Awalnya dia hanya terlihat takjub dengn gambar itu, tapi perlahan wanita itu menitikkan air mata tanpa ia sadari. Fabian yang melihat itu pun mengambil foto usg itu dan membuat Lauren menatapnya. Dia memberikan ciuman pada wanita itu dan memagutnya. “Kita akan memiliki seorang anak. Apa lagi yang membuat kamu menangis?” tanya Fabian. Lauren pun menundukkan kepalanya dan menggigit bibirnya. Dia pun tidak tahu kenapa dia menangis. Dia hanya takjub dengan keajaiban itu, tapi sayangnya kejaiban itu tidak ada pada dirinya. “Aku hanya terharu. Bukan karena sedih,” ucapnya. Senyumnya memang mengembang, tap Fabian tahu itu bukan senyum sesungguhnya. Lauren pun kembali berjalan melewati halaman belakang dan masuk ke dalam kamarnya. Dia membuka satu laci dan meletakkan foto usg itu di dalamnya. Fabian mendekati Lauren dan tanpa berkata apa-apa, pria itu mencium bibir Lauren sangat dalam. Wanita itu tidak sempat mengelak, karena tubuhnya sudah lebih dulu terjatuh ke kasur dengan Fabian yang berada di atasnya. Pria itu tidak hanya memagutnya. Dia juga mengambil kedua tangan Lauren dan mengikatnya di atas kepala. “Fab, kamu apa-apaan?” tanya Lauren. Fabian hanya tersenyum dan kembali mencium bibir wanita itu dan memagutnya. “Aku sudah lama tidak bermain denganmu, sayang,” ucapnya. Lauren menelan salivanya dan menggigit bibirnya sendiri. Mereka memang memiliki satu kesamaan yang tidak banyak orang lain tahu. Mereka memang suka bercinta dengan romantis, tapi terkadang mereka juga suka bermain dengan keras. Lauren merasakan resleting pakaiannya turun secara perlahan. Dengan jempol Fabian yang berjalan di sepanjang punggungnya. Desahan napasnya berderu dan sialnya dia tidak bisa berbuat apa-apa. Kedua tangannya hanya bisa saling mencengkram dan bibirnya yang mendesah saat bibir pria itu mencecap dadanya. Memeberikannya gigitan-gigitan halus yang terasa sangat menyiksa untuknya. Fabian berdiri sesaat dan memandangi tubuh Lauren yang sudah terlihat menggeliat dan memintanya untuk bertindak lebih. Tapi dia seakan membiarkan Lauren dengan tubuhnya yang terbuka dan memuaskan matanya menatap tubuh wanitanya yang sangat sempurna untuknya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD