chapter 8

1127 Words
Fabian khawatir saat mendapati tubuh Lauren demam saat ia bangun di pagi hari. Fabian terus mengompres istrinya dan berharap sedikit menurunkan suhu tubuhnya. Pria itu sangat terkejut saat terbangun pada jam dua pagi dan istrinya ini tidak ada di sampingnya. Dia mendapati istrinya itu rebah di sofa dengan memeluk tubuhnya dan menggigil. Fabian segera mengangkat tubuhnya dan memindahkannya ke kasur. Dia langsung menghubungi ke intrercom, karena pasti akan ada pelayan yang berjaga malam. Dia meminta untuk dibawakan air hangat. Dia juga mengganti pakaian Lauren dengan pakaian yang lebih sedikit tipis dan menaikan suhu pemanas ruangan. Sepanjang malam Fabian mengurus Lauren. Suhu tubuhnya terus naik dan turun. Bahkan dia juga terus menggumam dengan suara yang sangat parau. Pada awalnya Fabian tidak mengerti apa yang dia katakan. Namun, setelah mendengar dengan sangat baik Fabian pun mendengar suara parau istrinya itu yang terdengar memilukan. "Fabian... maaf..." gumam Lauren berulang kali. Fabian menarik napasnya dan membelai rambut wanita itu dengan sangat lembut. Dia juga mendekati Lauren dan memberikan ciuman pada bibir Lauren yang dingin dan pucat. Dia masih berusaha untuk membangunkannya, istrinya hanya terus bergumam tanpa membuka matanya. Tangan Fabian membelai pipinya dengan sangat lembut dan menatap wajahnya. Keinginannya untuk menghilangkan seluruh lukanya seakan tidak berjalan dengan sangat lancar. Seberusaha apa pun dia berusaha untuk membuang semua air matanya, seakan Tuhan masih ingin memberikan luka yang lebih banyak lagi. Hanya untuk meyakinkan Fabian seberapa sanggup dia menutup kesedihannya. Dia meletakkan kain basah di atas ember kecil dan masuk ke dalam selimut. Dia memeluk Lauren dan mencium keningnya. "Aku disini sayang." Tangan Fabian membelai pipi Lauren seakan masih berusaha untuk menyadarkan istrinya. Dia merasa menyesal sudah bertingkah dengan sangat keras padanya. Seharusnya ia tidak melakukan itu, seharusnya ia mencoba mengerti dan memahaminya. Fabian merangkul pinggang Lauren dan membelai rambutnya. Seakan berusaha untuk menenangkan seluruh pikiran buruk yang terputar dari kepalanya. Fabian kembali kembali mengecup bibirnya lembut. Dan menemaninya sepanjang malam. Menenangkan gumamannya sepanjang malam. **** Fabian merasa lega saat pagi hari suhu tubuh Lauren sudah kembali normal. Walau masih sedikit demam, setidaknya tidak sepanas semalam. Naora pun datang untuk mengecek keadaan Lauren yang ia ketahui dari pelayan yang berjaga semalam. Naora juga menghubungi dokter pribadinya untuk memeriksa Lauren. Walau Lauren berulang kali berkata kalau dia baik-baik saja, Naora tidak menghiraukannya dan tetap menghubungi dokter. Fabian pun terlihat khawatir dan membatalkan beberapa pertemuannya dengan klien hari ini. Dia juga mengambil sendiri beberapa makanan untuk Lauren. Dia meminta Melanie untuk membuat soup untuk Lauren dan juga yoghurt. Fabian masih terlihat biasa pada Melanie, walau perempuan itu terlihat sedikit menghindar darinya. Melanie hanya akan menganggukkan kepala dan pergi dari hadapan Fabian. Melihat sikap perempuan itu yang semakin tertutup membuat Fabian menarik napas dan menghelanya. Dia tahu perempuan itu sudah mengalami banyak hal dan dia harus kembali terbebani dengan keinginan ayahnnya. Fabian juga tidak mengerti kenapa ayahnya tidak bisa menerima Melanie sebagai putrinya. Padahal dia sudah sangat lama berada di rumah ini. Bahkan sama seperti Fabian dan Samuel, Melanie juga lahir di rumah ini. Fabian memilih untuk meninggalkan Melanie agar dia tidak merasa risih. Saat di kamar pun istrinya itu sudah berniat untuk beranjak dari kasur. Dan karena tubuhnya yang masih lemas hampir saja terjatuh. Fabian dengan cepat menahan tubuh wanita itu dan kembali mendudukkannya. “Kamu masih sakit, sayang. Jangan terlalu banyak gerak dulu,” ucap Fabian. Tangan pria itu menyentuh kening Lauren dan demamnya masih terasa. Mata Lauren pun terlihat sayu. “Aku mau ke kamar mandi, Fab,” ucapnya lirih. Fabian pun membantu Lauren berdiri dan membawanya ke kamar mandi. Setelah wanita itu duduk di closet, Fabian pun berjalan keluar. Tidak berapa lama dia kembali dan kembali membantu istrinya itu kembali ke kasur. Tidak berapa lama Melanie datang dengan satu baki yang berisitri sarapan untuk Lauren. Fabian pun mengambil nampan itu dan membelai rambut Melanie seperti biasa. Melanie pun mengangguk hormat dan berjalan keluar. Fabian berjalan ke arah Lauren dan menyuruhnya untuk makan. Setelah beberapa suapan Lauren pun mendorong mangkuk soup, karena merasa mual dengan rasa pahit setiap kali menelan makanan. "Sudah fab.." rengek Lauren. Fabian membujuk Lauren untuk menghabiskan satu mangkuk soup. Tapi perempuan itu tetap mengelak dan menutup mulutnya dan mendorong mangkuk itu. "Kamu harus menghabiskannya, kamu tidak makan apapun sejak kemarin, sayang." Fabian mengetahui itu dari beberapa pelayan. Karena Lauren tidak ikut makan bersama dan juga tidak meminta dibawakan makanan apa pun. "Ayolah, sayang. Jangan seperti anak kecil," ucap Fabian. Lauren menggeleng kepala keras. "Suapan terakhir," bujuk Fabian. Dengan terpaksa Lauren menurutinya. Dia menyuap soup terakhir dengan sedikit siksaan di tenggorokkan. Fabian memberikan air putih dan juga yougurt. Fabian menaruh semua makanan di baki dan mengambil obat Lauren. Istrinya itu sudah kembali berniat untuk mengelak saat Fabian membuka bungkus obat. Dia mengambil bantal untuk menutupi mulutnya. Fabian menggelengkan kepalanya dengan sikap Lauren yang terkadang seperti anak kecil saat sakit. "Tidak boleh mengelak. Kamu harus memakan semua obatnya," ucap Fabian. Perempuan itu merenggut kesal dan bibirnya yang cemberut. Fabian hanya tersenyum dan menahan diri untuk tidak memagut bibir menggemaskan itu. Satu demi satu Fabian memberikan obat pada Lauren. Seakan dia sedang menebus kesalahannya. Setelah selesai dia kembali menyuruh Lauren untuk istirahat. Dia pun memeluk Lauren dan mencium keningnya. Tangannya membelai rambut Lauren. Seakan mengantar wanita itu ke dalam mimpinya. Dan dia berharap tidak ada lagi mimpi buruk yang harus ia rasakan. Yang Fabian inginkan hanyalah kebahagiaan untuknya. Tangan Fabian membelai rambut Lauren yang sudah terpejam. Dia sangat suka memainkan rambut Lauren yang halus. Istrinya ini mempunyai rambut panjang dan kecoklatan. Dia sangat suka membuat rambutnya menjadi sedikit ikal. Tentu saja ia juga melakukan perawatan yang sangat mahal. Fabian tidak pernah peduli jika dia harus mengeluarkan uang banyak untuk seluruh kebutuhan Lauren. Fabian masih membelai rambut Lauren dan mencium ujung bibir wanitanya. "Jangan pernah membuatku panik," bisik Fabian di kuping Lauren. Keduanya pun saling bertatapan. Dan Fabian langsung memagut bibir wanita itu dan mencecapnya. Gigitannya pada bibir Lauren membuat perempuan itu mengeluarkan lenguhan yang memuat Fabian menjadi gila. Dia pun menghentikan ciumannya dan menarik Lauren ke dalam pelukannya. "Istirahatlah," ucap Fabian. Lauren hanya mengangguk, ia mencoba menormalkan nafasnya dan degup jantungnya yang selalu bergemuruh akan sentuhan Fabian. Bahkan dalam keadaan seperti ini pun dia masih membuatnya berpikir nakal. "Hentikan fikiran nakalmu itu," ucap Fabian seraya memperhatikan jemari nakal Lauren yang bermain di d**a bidangnya. Merasa malu Lauren bersembunyi dalam pelukan Fabian, membuat suaminya itu tersenyum geli. Sekali lagi Fabian menangkup pipi Lauren dan mengecup bibirnya pelan. "Cepatlah sembuh, aku juga merindukanmu." Lauren tak bisa menahan rona pipinya yang semakin memerah karena godaan Fabian. Pria itu masih saja tersenyum seakan ia sangat bahagia setiap kali mengganggu Lauren. Lauren pun tidak bisa menahan diri untuk ikut tersenyum dan mencium bibir kekasihnya itu. Pria yang selalu berusaha untuk tidak menyakitinya. Pria yang berusaha untuk tetap membuatnya tersenyum. Walau dunia terasa sangat kejam dan menyakitkan. ****
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD