chapter 7

1111 Words
Fabian terbangun dengan Melanie yang sudah berpakaian rapi. Perempuan itu terlihat menundukkan kepalanya saat melihat Fabian yang sudah bangun. Tanpa berkata apa pun, Fabian beranjak dari kasur dan memakai celana yang semalam ia kenakkan. Melanie pun beranjak saat pria itu sudah masuk ke dalam kamar mandi. Melanie menggigit bibirnya dan merasa sangat takut dengan tatapan Fabian. Biasanya dia yang menjadi sebagai pelindungnya, sekarang seakan dia sangat membencinya. Melanie menutup matanya dan menarik napasnya panjang. Mencoba untuk menenangkan perasaannya. Setelah ini semua selesai dia akan pergi dari rumah ini dan membuat hidupnya sendiri. Tabungannya sudah sangat cukup untuknya hidup sendiri. Dan tidak akan ada lagi bayangan keluarga Aiden dalam hidupnya. Lauren mencoba menyapa Fabian yang baru saja memasuki kamar pribadi mereka. Tapi pria itu terlihat mengacuhkannya. Dia hanya mengganti pakaiannya dan kembali berjalan keluar. Setelah selesai merapikan pakaiannya, Fabian pun berjalan keluar dari kamar tanpa berkata apa pun pada Lauren. Lauren masih tetap mengikuti Fabian dan berharap pria itu masih mau berbicara sedikit saja dengannya. Rasanya sangat sesak melihat Fabian yang mengacuhkannya seperti ini. "Aku pergi," ucap Fabian. Dia mengacuhkan Lauren yang berdiri di belakangnya dan pergi begitu saja. Dia bahkan tidak memperhatikan kantung mata wanita itu, bagaimana Lauren bisa tidur dengan nyenyak. Saat ia tahu dengan akal sehatnya, suaminya tidur dengan wanita lain. Botol-botol alcohol sama sekali tidak membantunya untuk tidur. Ia malah menangis dengan keras seakan hidupnya sudah hancur. Dan sekarang pria itu pun pergi dari hadapannya. Tanpa memeluknya dan menatapnya. Luka mereka sama. Hanya saja cara mereka menyembuhkannya yang berbeda. **** Lauren mencoba untuk menenangkan pikirannya dan merasa semua akan baik-baik saja. Mereka akan memiliki anak dan semua perjuangan mereka akan mendapatkan hasil. Bukankah itu sudah sangat cukup? Dia tahu semua ini akan membaik, tapi kenapa dia masih merasa hatinya seakan ingin menangis dan berteriak. Lauren mencoba menahan perasaannya sendiri. Dia menyembunyikan semua sesak dan lukanya dengan membersihkan sendiri kamar paviliunnya. lauren melarang siapa pun untuk masuk dan membersihkan kamarnya. Dia membersihkan sendiri seluruh kamar itu. dari mengganti seprai, gorden, bahkan dia membersihkan seluruh perabotan. Dia juga menyikat kamar mandi dan berharap seluruh isi kepalanya akan hilang dan semua akan membaik setelah semua selesai. Para pelayan berdiri di depan pintu kamar Lauren, mereka takut untuk beranjak dari kamar itu karena mereka tahu menantu rumah ini sedang membersihkan semua barang-barangnya sendiri. Tapi mereka pun tidak bisa berbuat apa apa, karena Lauren yang melarangnya untuk masuk ke dalam. Melanie yang melihat itu pun segera mendekati para pelayan itu. Dan mereka pun mengatakan apa yang terjadi pada menantu majikannya. Melanie menyuruh dua orang untuk ikut dengannya dan sisanya kembali pada pekerjaannya masing-masing. Melanie membuka pintu dengan kunci cadangan dan dia melihat wajah Lauren yang sudah terlihat kacau. Dia menarik Lauren agar menghentikan kegilaannya. Tapi perempuan itu malah mendorongnya dan menyuruh Melanie untuk pergi. Melanie tidak berhenti, dia menarik Lauren dan menamparnya dengan sangat keras. Membuatnya terdiam dan menatapnya. “Kamu yang menginginkan ini semua, tapi kenapa kamu melukai dirimu sekarang?” tanya Melanie. Lauren pun terdiam dan perlahan dia meluruh dan menangis dengan kencang. Melanie segera menyuruh dua pelayan untuk menggantikan pekerjaan Lauren. Dia pun membawa Lauren ke sofa dan mengambilkan air putih untuknya. “Aku hanya ingin membahagiakannya, tapi ternyata aku melukainya, Melanie,” ucap Lauren. Dia masih menangis. Bahkan gelas air putih yang Melanie berikan hanya di pegang olehnya. Dadanya terasa sesak. Dia ingin berteriak dan memukul dirinya sendiri. Semua kebodohan ini adalah salahnya. Kalau saja tidak ada masalah dengan rahimnya, semuanya tidak akan sesulit ini. “Kamu yang membuat keputusan, berarti kamu harus siap dengan semua konsekuensinya. Seharusnya kamu sudah menyiapkan hati kamu untuk semua luka yang kamu terima,” ucap Melanie. “Aku lupa. Aku tidak siap untuk itu.” Lauren merasa dadanya semakin sesak dan kepalanya semakin tertunduk. Kegagalan seorang perempuan adalah saat dia tidak bisa memberikan anak. Dan kegagalan seorang istri adalah mempertahankan suaminya untuk tetap menjadi miliknya. Melanie tidak berkata apa pun, dia hanya menatap Lauren yang menangis. Dia membiarkan wanita itu menangis agar seluruh perasaannya lepas. Agar seluruh beban dalam hatinya pergi. Sampai akhirnya dia tenang dan Melanie pun menyuruh seorang pelayan untuk membawakan makanan manis untuk Lauren. “Terkadang aku memakan makanan paling manis untuk menenangkan perasaanku,” ucap Melanie. Lauren pun tersenyum dan mengucapkan terima kasih pada Melanie yang sudah menyadarkannya. **** Lauren merapikan dirinya dan bersiap menyambut Fabian yang seharusnya sudah pulang dari kantor. Dia menunggu di pintu utama dan saat pintu terbuka dia hanya melihat Gail dan Sam yang pulang bersamaan. Lauren hanya tersenyum kikuk pada Gail dan pamit kembali ke kamarnya. Jam menunjukkan pukul sepuluh malam, tapi Fabian juga juga pulang. Lauren mencoba untuk menghubungi Fabian, tapi pria itu tidak menjawab pesannya. Lauren duduk di bangku taman yang langsung mengarah ke carport. Tapi hingga pukul sebelas malam suaminya itu pun belum juga pulang. Malam semakin larut dan udara dingin semakin terasa menusuk. Namun, masih tetap menunggu di taman sampai suaminya itu kembali. Kepalanya sudah terasa pening karena dia tidak tidur dari semalam dan sekarang dia merasa khawatir karena Fabian yang belum juga kembali. Sampai akhirnya mobil Fabian masuk dan terparkir di carport. Lauren tersenyum dan mendekati Fabian. "Kemana saja kamu? Kenapa ponselmu tidak aktif?" Tanya Lauren dengan cemas. Namun, Fabian masih mengacuhkannya ia berjalan ke kamar mereka. Lauren menghela nafas dan mengikuti Fabian kekamar. Dia melihat Fabian berusaha melepaskan jas, ia mendekati Fabian membantunya melepaskan jas dan dasinya. "Kamu sudah makan? Chef masak makanan kesukaanmu, aku sedikit membantunya. Apa kamu mau?" tanya Lauren. “Tidak, terima kasih,” jawab Fabian dengan nada datar. Pria itu melewati Lauren seakan menyalahkan semua yang terjadi padanya. Lauren berbalik pada Fabian yang sudah membuka satu wine dan menuangnya ke gelas. "Kamu fikir hanya kamu yang terluka?" Lauren tak lagi bisa membendung airmatanya. Tatapannya tertuju pada pria yang juga kecewa pada keadaan. Lauren mencoba menarik napa dan menghelanya. Tapi semuanya terasa semakin menyesakkan untuknya. “Aku juga hancur! Aku juga menderita! Aku juga tidak ingin semua ini terjadi! Tapi aku punya alasan kenapa aku meminta kamu untuk melakukan itu!! Aku juga membenci diriku sendiri, Fab! Karena aku tidak bisa memberikan keturunan untuk keluargamu!” teriakan Lauren membuat Fabian menaruh gelasnya. Wanita itu sudah tertunduk dan menangis dengan keras. Fabian pun membawa perempuan itu ke dalam pelukannya dan mengangkat tubuh Lauren. Dia membiarkan wanita itu menangis dalam pelukannya. "Maaf jika kamu tersakiti dengan keegoisanku," ucap Fabian. Lauren tak berucap apa pun lagi. Dia tidak pernah menginginkan wanita lain, dari hari pertama Lauren masuk dalam hidupnya. Hanya dia yang ingin dia bahagiakan. Namun, apa kebahagiaan itu harus ia berikan dengan cara mengkhinatinya? Dan semua ini sudah membuatnya semakin gila. Dan sekarang wanita ini menangis di dalam pelukannya. Terluka karena dirinya yang sudah bersumpah untuk membahagiakannya. ****
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD