THE VILLAIN

1248 Words
Macau, Agustus 2015. Venetian Macau. Siapa yang tidak mengenal tempat itu? Sebuah casino yang mendapatkan predikat sebagai casino terbesar nomor dua di dunia. Casino ini merupakan casino yang memiliki lokasi di Macau, Cina. Sebagai casino terbesar kedua, bangunan ini memiliki ukuran luas tempat judi sebesar 546.000 kaki. Di dalam tempat judi seluas ini, Venetian Macau memiliki lebih dari 3000 mesin judi serta memiliki 870 meja judi untuk judi kartu atau roullete. Namun sayangnya orang-orang dengan kehidupan yang bersih tidak akan peduli tentang tempat itu. Tapi mereka yang memiliki identitas sebagai penegak hukum tak jarang memasuki tempat itu untuk mencari buronan mereka. Jung Dae Hyeon, 29 tahun. Memiliki penampilan yang cocok dengan usianya. Dia bukan penegak hukum, dan datang ke sana juga bukan untuk berjudi. Pria yang hampir berusia tiga puluh tahun itu memasuki tempat perjudian dengan tatapan tajam yang tampak mencari keberadaan seseorang di antara puluhan atau bahkan ratusan orang di dalam bangunan itu. Dan setelah cukup lama berkeliling, pandangan Dae Hyeon menemukan seseorang yang cukup familiar tengah sibuk di meja judi. Dae Hyeon menghampiri pria yang tampak frustasi karena baru saja mengalami kekalahan. Dan tanpa permisi, begitu Dae Hyeon sampai di tempat pria itu, Dae Hyeon segera menarik kerah belakang pakaian pria itu hingga pria itu langsung berdiri dan tampak marah. "What are you—" "Tutup mulutmu!" Dae Hyeon menyela menggunakan bahasa Korea dan tentunya membuat pria itu sangat terkejut. Pria itu kemudian berbicara menggunakan bahasa Korea dengan gugup, "k-kau? Ada apa?" Dae Hyeon tak menjawab dan langsung menyeret pria itu, membawanya menjauhi keramaian. Keluar dari keramaian, Dae Hyeon mendorong pria itu hingga punggung pria itu menghantam dinding dan tampak kesakitan. "Di mana orang itu?" tegur Dae Hyeon tanpa basa-basi dengan sikap yang dingin. "Siapa yang kau maksud?" "Jangan mencoba untuk mengulur waktu. Katakan sekarang." Pria itu terlihat semakin gugup, "b-bagaimana aku bisa tahu? Aku tidak lagi bekerja dengan mereka." Dae Hyeon mengambil sebuah belati dari balik punggungnya dan langsung menggunakannya untuk menyudutkan pria itu. "Katakan sekarang." Pria itu mengangkat kedua tangannya yang gemetar ke udara dan tampak tertekan. "T-tunggu sebentar, kau tidak bisa membunuhku di tempat ini?" "Kenapa tidak bisa? Kau lupa siapa aku?" Dae Hyeon menekan ujung pisaunya pada leher pria itu dan memberikan peringatan terakhirnya. "Di mana orang itu? Ini kesempatan terakhir untukmu." "B-baiklah. Aku akan memberitahumu, tolong jangan bunuh aku." Pada akhirnya pria itu menyerah. "Katakan." "Jauhkan dulu benda ini dari leherku." "Aku tidak pernah mempercayai manusia hidup, kau sudah tahu tentang hal itu." Pria itu memandang dengan tatapan memohon dan merengek, "Jeoseung Saja ... kau juga sudah mengenalku sejak lama. Aku ... aku tidak akan pernah mengkhianatimu." Jeoseung Saja atau sebutan yang digunakan untuk seorang dewa kematian. Itulah julukan yang diberikan pada Jung Dae Hyeon. Seorang pembunuh berbahaya yang hanya akan membunuh korbannya pada pergantian hari, atau tengah malam. Kasus Jung Dae Hyeon cukup terkenal di Korea Selatan, namun identitas Dae Hyeon yang diketahui publik hanyalah julukan sebagai Jeoseung Saja. Tak ada yang tahu bagaimana rupa dari sang Jeoseung Saja yang sebenarnya kecuali mereka yang menekuni bidang yang sama dengan Dae Hyeon. Dan berkat identitasnya, Dae Hyeon terlibat dalam kasus pembunuhan berantai yang saat ini ditangani oleh kepolisian Distrik Seoul. "Dia ada di sini?" Pria itu mengangguk. Dae Hyeon kemudian menjauhkan belati dari leher pria itu dan langsung mendorong pria itu. "Tunjukan padaku tempatnya." Dengan berat hati pria itu membimbing Dae Hyeon. Sementara dalam perjalanan, beberapa orang mengawasi Dae Hyeon dan tampak menghubungi seseorang setelahnya. Meninggalkan lantai dasar, Dae Hyeon berjalan menyusuri lorong selebar satu meter. Di mana selama perjalanan ia sempat melewati beberapa pintu, hingga pada akhirnya pria itu membimbingnya untuk berhenti di depan salah satu pintu. Dae Hyeon memandang pria itu. "Pergilah." Pria itu mengangguk dan segera melarikan diri. Sementara Dae Hyeon menyusupkan tangan kirinya ke balik punggungnya dan mengambil sebuah revolver. Setelah memeriksa peluru yang ia miliki, Dae Hyeon kemudian membuka pintu itu dengan kasar, terkesan mendobraknya. Membuat semua pasang mata di ruangan itu tertuju padanya. Semua orang segera berdiri dan tampak waswas. Namun seseorang yang terlihat paling berkuasa di sana tak merasa terganggu dengan kedatangan Dae Hyeon. David Lee, ketua dari Seoul Night Organization itu berdiri dan memberikan sambutan pada Dae Hyeon. "Siapa ini? Tuan Jeoseung Saja? Aku merasa bermimpi mendapatkan kunjungan darimu." Dae Hyeon tak bermaksud menerima sambutan itu dengan baik dan justru menyahut dengan dingin, "Yoo Young Jae, siapapun orang yang pernah berurusan dengannya angkat tangan kalian." Satu persatu dari mereka mengangkat tangan hingga semua orang mengangkat tangan mereka. Seulas senyum licik lantas tersungging di wajah David Lee. Pria yang kini berusia empat puluh tahunan itu berbicara dengan nada yang sinis, "kau ingin berbicara dengan mereka semua?" Dae Hyeon berbalik dan mengundang tatapan meremehkan dari seluruh orang yang berada di ruangan itu. Namun sepertinya Dae Hyeon harus meminta maaf karena telah membuat semua orang salah paham. Bukan untuk melarikan diri, Dae Hyeon memunggungi mereka hanya untuk menutup pintu dan menguncinya. Hal itulah yang membuat senyum di wajah David Lee memudar. Dae Hyeon kembali menghadap orang-orang yang tengah meremehkannya. David Lee kemudian menegur, "kau datang untuk membalaskan kekalahan adikmu itu? Benar begitu?" Semua orang kemudian memasang badan untuk melindungi ketua mereka. Satu persatu dari mereka mengeluarkan senjata api dari balik baju mereka. Dan dalam keadaan ini, mustahil bagi Dae Hyeon untuk memenangkan pertarungan. "Hitungan ke tiga," suara itu terdengar oleh Dae Hyeon. Dan suara itu berasal dari alat komunikasi yang terpasang di telinganya. Batin Dae Hyeon menghitung. Dan dalam hitungan ke tiga, tepat setelah listrik di gedung itu padam, Dae Hyeon bergerak menyusup ke balik meja. Satu detik setelahnya semua orang menembak secara brutal tanpa peduli lawan atau kawan. Tak membutuhkan waktu lama. Berselang sepuluh detik, listrik kembali hidup dan saat itu Dae Hyeon keluar dari tempat persembunyiannya untuk menyergap orang-orang yang sebelumnya selamat dari tembakan yang dilakukan oleh rekan mereka sendiri. David Lee tak tinggal diam, dia turut menyerang Dae Hyeon. Namun Dae Hyeon menggunakan seseorang sebagai tameng dan terus menembaki lawannya. Tak ada kesempatan untuk lari, ruangan itu telah terkotori oleh darah. Tak ada orang suci, hanya ada seorang pendosa. Hanya dalam hitungan menit tempat itu menjadi sangat kacau, meja yang terbalik, orang-orang yang tergeletak dalam kondisi tak bernyawa ataupun sekarat, tergantung seberapa beruntung mereka. Hingga duel terakhir dilakukan oleh Dae Hyeon dan juga David Lee. Kehilangan senjata di tangan masing-masing, keduanya beralih bertarung menggunakan kekuatan fisik. David Lee membanting Dae Hyeon ke meja hingga meja itu terbelah. Namun ketika David Lee kembali ingin menyerang, Dae Hyeon mengapit leher David Lee menggunakan kedua kakinya dan membalik tubuh pria itu hingga terkapar di lantai dalam posisi terlentang. Keduanya bangkit dan kembali saling menghantamkan tinju mereka. Dan ketika mendapatkan kesempatan, Dae Hyeon menusuk paha David Lee menggunakan belati miliknya. David Lee berteriak dan langsung mundur. Namun akibat tendangan dari Dae Hyeon, pria berdarah campuran Korea-Amerika itu pada akhirnya tumbang. Dae Hyeon mengambil sebuah senjata api dan mendekati David Lee yang kini dalam keadaan berlutut. Pria itu memandang Dae Hyeon dengan penuh kemarahan. "Kau pikir kau bisa membunuhku di tempat ini? Jangan bermimpi!" ucap David Lee dengan nada menantang. "Tuhan bahkan tidak akan peduli tentang kematianmu," sahut Dae Hyeon dengan nada bicara yang sama. Sudut bibir David Lee tersungging. "Kau tidak akan bisa keluar dari sini dalam keadaan hidup-hidup." "Berhenti merendahkan orang Seoul," kalimat itu Dae Hyeon anggap sebagai kalimat perpisahan. Mengarahkan ujung senjata api di tangannya tepat pada kepala David Lee. Satu tembakan malam itu membuat sang dewa kematian membunuh korbannya lebih awal dari waktu yang telah ditentukan.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD