BAB 2

2305 Words
Seperti yang dikatakannya tadi, malam ini Rachel benar-benar menginap di Apartemen untuk menemaniku. Aku bersyukur karenanya, meski tak berpengaruh sama sekali karena hantu yang menghuni Apartemen ini masih enggan untuk pergi meskipun ada aku dan Rachel disini. Tapi setidaknya, aku tidak tinggal sendirian malam ini dan hal itu membuatku sedikit lega.  Aku dan Rachel memutuskan untuk pergi tidur setelah waktu menunjukan pukul 10 malam. Besok pagi-pagi sekali, aku harus bangun dan bersiap-siap pergi ke perusahaan sepupu Rachel untuk melamar pekerjaan. Meskipun sepertinya berkat rekomendasi dari Rachel, aku pasti akan dinyatakan lulus dan diterima tanpa perlu menjalani tes ataupun interview sebelumnya.  Apakah aku lega karena hal ini? Jawabannya adalah tidak. Aku justru merasa terbebani karena aku harus menunjukan kinerja terbaikku agar aku tidak membuat Rachel yang telah merekomendasiku  merasa malu.  Setelah memikirkan banyak hal, akhirnya aku bisa terlelap satu jam kemudian. Aku tidur di kamarku sendiri sedangkan Rachel tidur di kamar lain. Apartemen ini memang memiliki dua kamar tidur.  Di tengah-tengah tidur lelapku, telingaku menangkap suara pintu kamarku yang terbuka dengan sendirinya. Pintu terbuka dengan sangat perlahan sehingga suara deritannya sangat jelas tertangkap indera pendengaranku. Aku membuka kedua mataku yang sudah terpejam erat. Ku edarkan pandanganku ke sekeliling kamarku dengan detak jantungku yang bagaikan sedang menaiki Roller coaster. Keringat dingin bercucuran dari pelipisku bersamaan dengan kedua mataku yang masih bergulir kesana-kemari.  Tidak ada sosok apapun di dalam kamarku, tapi pintu kamarku yang terbuka dengan sendirinya menjadi pertanda bahwa ada kekuatan makhluk astral disini. Sempat terlintas dibenakku untuk mengabaikannya karena aku memang tidak melihat penampakan apapun. Ku tarik selimutku untuk menutupi sekujur tubuhku agar aku tidak bisa melihat jika seandainya tiba-tiba ada penampakan di kamarku.  Kututupi sekujur tubuhku hingga menutupi kepalaku juga dengan menggunakan selimutku. Sesuatu yang sering ku lakukan jika aku merasakan ada aura makhluk mistis di sekitarku. Keadaan seperti ini sangat menyiksaku karena tak jarang hantu-hantu itu justru menelusup masuk ke dalam selimutku.  Aku mencoba memejamkan mataku lagi meski tak ku pungkiri tubuhku mulai gemetaran menahan takut saat ini.  Tidak... aku tidak melihat ada hantu yang menelusup masuk ke dalam selimutku, ataupun merasakan ada sosok yang berdiri di kamarku. Namun sesuatu yang membuatku gemetaran sekaligus membuatku akhirnya melepaskan selimut yang menutupiku adalah suara piano yang sedang mengalun merdu. Seseorang sepertinya sedang memainkan piano di ruang tengah. Tapi siapa yang memainkannya? Mungkinkah Rachel? TING... TING... TING  Musik piano terus berdenting di tengah-tengah malam yang sunyi. Irama yang dimainkan sangat familiar di telingaku. Aku sering mendengar irama ini. Sebuah lagu dari jawa yang mendengarnya saja sudah sukses membuatku merinding. Ku rasa tidak mungkin Rachel yang memainkan irama ini. Rachel memang pandai memainkan piano, mungkin itu juga alasan dia meletakan sebuah piano di Apartemen ini. Tapi memainkan irama lagu itu di tengah malam begini, ku rasa Rachel tidak memiliki keberanian sebesar ini.  Aku pun akhirnya memberanikan diriku untuk turun dari atas ranjang. Dengan langkah gontai, aku melangkah mendekati pintu yang sudah dalam keadaan terbuka lebar. Aku melongokkan kepalaku melihat keadaan sekeliling di luar kamarku. Sangat gelap karena sebelum tidur tadi, Rachel memang mematikan semua lampu. Tentu saja hanya lampu kamarku saja yang masih menyala karena aku tidak berani tidur dalam kegelapan. Hantu sangat suka tempat yang gelap karena itulah aku selalu tidur dengan lampu menyala.  Dengan debaran jantung yang semakin menggila, aku melanjutkan langkahku. Aku mendekat ke arah saklar untuk menyalakan lampu agar aku bisa melihat sekeliling ruang tengah. Sedangkan suara alunan piano masih terus terdengar.  TING... TING... TING  Irama musiknya semakin membuatku merinding. Bulu kudukku bahkan sudah berdiri sempurna. Aku bergegas menekan saklar untuk melihat siapa gerangan yang sedang duduk di kursi depan piano dan asyik memainkan pianonya.  Akan tetapi, entah mengapa meski kutekan saklarnya berulang kali, lampu ruang tengah tetap tak menyala. Akhirnya, aku memutuskan untuk lari kembali ke dalam kamarku. Aku mengambil ponsel yang ku letakkan di atas meja, ku nyalakan senternya dan bergegas kembali menuju ruang tengah.  Setibanya di ruang tengah, awalnya aku hendak mengarahkan senter di ponselku pada piano, namun kuurungkan ketika mendengar seseorang sedang bernyanyi. Mendengar irama pianonya saja sudah membuatku merinding, kini seseorang yang memainkan piano itu sedang bernyanyi. Bukan hanya membuatku merinding, sekarang aku merasa ingin menangis saking takutnya.      Lingsir Wengi     Lingsir wengi     Sepi durung biso nendro     Kagodho mring wewayang     Kang ngreridhu ati     Kawitane     Mung sembrono njur kulino     Ra ngiro yen bakal nuwuhke tresno     Nanging duh tibane aku dewe kang nemahi     Nandang bronto     Kadung loro     Sambat-sambat sopo     Rino wengi     Sing tak puji ojo lali Janjine mugo biso tak ugemi   Ya, seseorang itu sedang menyanyikan lagu jawa berjudul lingsir wengi dengan irama piano yang mengiringinya.  Aku meneguk ludahku dengan susah payah ketika akhirnya ku putuskan untuk melihat sosok itu. Ku arahkan cahaya ponselku ke arah piano. Benar dugaanku... ada sosok seorang wanita yang sedang duduk di depan piano. Cahaya senter pada ponselku menyorot kakinya, lalu dengan tangan gemetaran, ku arahkan cahaya dari senter di ponselku semakin naik ke atas sedikit demi sedikit.  Kulihat sosok itu mengenakan dress putih yang telah kumal dan banyak tanah yang mengotorinya. Rambut panjangnya yang gimbal menjuntai hingga menyapu lantai. Aku menahan napas ketika cahaya pada senterku mencapai tangannya. Dia memang duduk di depan piano tapi kedua tangannya tetap menggantung tak diletakkan di atas tuts-tuts piano. Aku yakin tidak sedang berhalusinasi karena tuts-tuts itu bergerak-gerak dengan sendirinya.  Kembali kuteguk ludah, ketika tanganku bergerak menaikkan sorotan cahaya ponselku ke wajahnya. Wanita itu sedang menatap lurus ke depan tanpa pergerakan apapun. Namun perlahan, dia menolehkan kepalanya menghadapku. Sungguh rasanya ingin sekali aku berteriak ketika tatapanku beradu pandang dengannya.  Kulit wajahnya sangat pucat, lingkaran hitam mengelilingi kelopak matanya. Kedua matanya berwarna merah dan sedang melotot ke arahku. Bibirnya berlumuran darah dan entah mengapa darah tak hentinya menetes keluar dari dalam mulutnya.  Dia bangkit berdiri dari duduknya, lalu melayang perlahan hendak menghampiriku, sontak aku pun melangkah mundur.  “J-Jangan mendekat, pergi dari sini. Ini bukan rumahmu,” ujarku seraya tetap memundurkan langkah. “Kamu yang harus pergi dari sini,” sahut hantu itu dengan raut wajah yang kentara sekali sedang marah. Lalu dia merentangkan tangannya hendak mencekikku sembari mengeluarkan suata tawa yang sangat menyeramkan di telingaku.  Hihihihihihihihihihihihihihihihihihihihihi...  Air mataku sudah berjatuhan saat ini, bahkan tanpa sadar aku menjatuhkan ponsel di tanganku. Kakiku ingin berlari tapi rasanya sulit sekali sekadar untuk bergerak. Aku ingin berteriak tapi lidahku terasa begitu kelu. Apa yang terjadi pada tubuhku? Kenapa rasanya tubuhku membatu?  Tangan wanita itu kini sudah mencengkram leherku. Air mata pun sudah membanjiri wajahku. Sempat aku berpikir, mungkinkah aku akan mati di tangan hantu ini? Pertanyaan ini seperti menyiratkan sebuah keputus asaan bukan? Namun tidak... tentu tidak mungkin nyawaku melayang di tangan hantu. Hanya Tuhan yang berhak menentukan batas waktuku. selain itu, kenapa aku menyerah seperti ini? Mungkin kakiku tidak bisa ku gerakan, lidahku tak bisa berucap, tapi hatiku masih bisa berdoa.  Aku yang tersadar dari kebodohanku, kini sedang melafalkan beberapa doa yang ku hafal. Aku yakin kekuatan Tuhan akan menyelamatkanku. Ku pejamkan kedua mataku, memutus kontak mataku dengan sang hantu. Hatiku terus berdoa, ku serahkan semuanya pada Tuhan.  Awalnya tangan hantu itu mencengkram leherku semakin kuat, namun seiring kuatnya keyakinanku pada Tuhan, perlahan namun pasti cengkraman tangan itupun mengendur hingga akhirnya terlepas sempurna. Di saat yang bersamaan, ku rasakan kakiku kembali bisa ku gerakkan. Ku manfaatkan kesempatan ini untuk lari sejauh-jauhnya dari sang hantu.  “Rachel, Rachel, buka pintunya. Buka, Ra!!” teriakku di depan kamar Rachel sambil menggedor-gedor pintunya kencang. Tak membutuhkan waktu lama hingga akhirnya pintu itu pun terbuka, menampakan sosok Rachel yang sedang mengucek-ngucek matanya.  “Kenapa, Na? Kamu kok belum tidur?” tanyanya, sambil menguap lebar menahan ngantuk. “Kamu kenapa, Na? Kok kayak yang ketakutan gitu?” tambahnya, ketika dia menyadari raut ketakutan yang memenuhi wajahku dengan peluh yang tak hentinya menetes dari pelipisku.  “Itu... i-itu... di sana,” ucapku tergagap sembari menunjuk ke arah piano. “Kenapa, kamu lihat hantu lagi, ya?” Aku mengangguk. “Ya ampun, dimana hantunya?” tanyanya. “Apa kamu gak denger dia main piano tadi?” “Main piano? Masa hantu bisa main piano? Lagian aku gak denger suara apa-apa kok.” katanya tampak sangsi dengan perkataanku. Lalu dia bergegas melangkah menjauhiku. Ku pikir dia akan pergi kemana, rupanya dia mendekati saklar lampu.  Lalu tanpa ragu dia menekan saklar lampu, dan ajaibnya lampu menyala detik itu juga. Mungkin dia tidak akan percaya jika aku mengatakan lampunya tadi tidak menyala ketika aku yang menekan saklarnya, karena itu ku putuskan untuk tidak menceritakan kejadian itu.  “Dimana hantunya, Na? Dia masih ada di dekat piano?” tanya Rachel lagi, membuyarkan lamunanku. Aku tidak menyahut tapi tatapanku sedang tertuju ke arah piano. Hantu wanita itu masih ada di tempatnya berdiri tadi. Dia masih memelototiku namun perlahan mulai melangkah menjauh. Kedua kakinya benar-benar melangkah layaknya manusia, namun kedua kakinya sama sekali tidak menapak di lantai. Dia berjalan kaki di udara. Dia berjalan sedikit demi sedikit mendekati sebuah lukisan yang tergantung di dinding. Lukisan yang menampilkan seorang wanita sedang berdiri membelakangi sehingga hanya punggung wanita itu yang terlihat.  Hantu wanita itu menembus lukisan dan menghilang begitu saja seolah dia masuk ke dalam lukisan itu.  “Ra, lukisan itu. Kamu dapat dari mana?” Rachel mengernyitkan dahi tampak heran, beberapa detik kemudian dia pun akhirnya menjawab. “Papaku yang belikan. Kenapa, Na?” “Kamu percaya gak kalau aku bilang ada hantunya di lukisan ini?” Rachel terenyak, kembali terlihat terkejut. “Serius, Na?” “Ya. Hantu yang memainkan piano tadi masuk ke dalam lukisan ini.  Kayaknya hantu wanita itu berbahaya, dia bahkan ingin mencekikku tadi.” “Ya ampun, serem banget. Terus gimana? Apa kita buang aja lukisannya?” Aku tertegun, memikirkan kira-kira bagaimana baiknya tindakan yang harus kami lakukan pada lukisan ini.  “Kita buang aja lukisannya, Na. Daripada ditinggali hantu berbahaya.” “Tapi papamu gak akan marah kan kalau lukisannya dibuang?” “Nggaklah, Na. Lagian papa juga gak bakalan beli lukisan ini kalau dia tahu ada hantunya. Kamu tenang aja, nanti aku suruh orang buat buang lukisan itu.” “OK, Ra,” jawabku menyetujui keputusannya. Kurasa memang sebaiknya lukisan itu dibuang saja, mengingat hantu itu justru menyuruhku pergi dari Apartemen ini. Sepertinya dia sudah betah menetap di sini.  “Mendingan kamu tidur di kamarku aja malam ini, Na, supaya hantu itu gak gangguin kamu lagi.” Aku mengangguk, kurasa untuk malam ini memang tidur bersama Rachel merupakan keputusan paling tepat. Setelah mengalami kejadian mengerikan tadi aku sangsi bisa tidur lelap kalau sendirian.  ***  Seperti rencana kami kemarin, tepat pukul 7 pagi... aku dan Rachel berangkat menuju perusahaan sepupunya yang bernama Araya. Pukul 8 tepat para karyawan sudah harus berada di kantor karena Araya sangat disiplin dan tepat waktu. Dia tidak akan segan-segan memberi surat peringatan pada karyawannya yang terlambat masuk kerja, itulah yang diceritakan Rachel padaku.  Semua ceritanya tentang Araya membuatku semakin ragu, sanggupkah aku menjadi sekretaris pribadi dari seorang CEO yang tegas sepertinya? Terlalu banyak melamun, membuatku tidak sadar ketika kami akhirnya tiba di tempat tujuan.  Aku terperangah ketika Rachel menghentikan mobilnya di depan sebuah gedung tinggi bertuliskan AA corp di bagian depan gedung.  “Araya Addison Corporation, itulah nama perusahaannya. Aku pernah bilang kan, perusahaan ini didirikan oleh Araya sendiri?” “I-Iya, tapi kalau diliat dari gedung kantornya sepertinya perusahaannya besar juga, ya?” “Tentu aja, makanya kamu beruntung banget bakalan jadi sekretaris CEO muda yang sukses. Kamu harus bilang makasih sama aku ya nanti. Pasti kamu gak bakalan nyesel deh kerja di sini,” katanya, menggodaku. “Ya, semoga aja. Terus sampai kapan kita diem di mobil? Kamu bilang sepupumu itu orangnya disiplin, kan? Ini udah jam 8 lewat lho,” kataku, berusaha menyadarkannya bahwa kami sudah terlambat, tapi sepertinya kata-kataku ini membuat Rachel salah paham.  “Waah, Waah, sepertinya ada yang udah nggak sabar nih pengin ketemu Araya Addison,” godanya lagi. “Oh ayolah, Ra. Aku cuma nggak mau kesan pertamaku jelek. Lagian kamu kan yang maksa aku kerja di sini? Kalau kamu terus godain aku kayak gini, aku batal nih kerja di sini.” “Hahaha... iya deh, cuma becanda. Ya udah yuk, turun!” ajaknya, dan bergegas turun dari mobil. Aku pun melakukan hal yang sama dengannya.  Begitu masuk ke dalam gedung, aku kembali terperangah. Gedung ini sangat luas, banyak karyawan yang berlalu-lalang dengan pakaian rapi mereka. Rachel membawaku ke meja resepsionis. Tampaknya resepsionis yang bernama Rina itu sudah sangat mengenal Rachel, karena mereka langsung berbicara dengan akrab.  “Rin, Araya ada di ruangannya, kan?” “Ada. Pak Araya sepertinya sudah menunggumu dari tadi. Oh iya, apa nona ini yang akan melamar jadi sekretaris Pak Araya, soalnya tadi dia bilang padaku hari ini kamu akan membawa orang itu ke kantor?” “Iya, dia orangnya. Kenalin, namanya Nana.” Rachel mengenalkanku pada Rina, aku bergegas mengulurkan tanganku seraya tersenyum ramah pada Rina, dan langsung diterimanya tanpa ragu. “Salam kenal dan selamat bergabung di perusahaan ini ya,” ucap Rina seolah aku ini sudah menjadi bagian dari perusahaan ini padahal bertemu dengan pemilik perusahaan ini saja belum ku lakukan. “Terima kasih,” sahutku.  Lalu tanpa membuang waktu lagi, aku dan Rachel pergi menuju ruangan Araya yang terletak di lantai 10. Jantungku berdentum-dentum bagaikan ingin melompat dari rongga dadaku ketika kini kami berdua berdiri tepat di depan ruangan Araya.  Rachel masuk begitu saja tanpa mengetuk pintu terlebih dahulu, membuatku membelalak kaget melihatnya. Kenapa dia bersikap tidak sopan begini, bagaimana jika Araya sedang sibuk di dalam? Aku hanya geleng-geleng kepala melihat tingkah laku Rachel yang tidak tahu sopan santun menurutku.  “Araya, selamat pagi,” sapa Rachel girang dan sudah berjalan mendekati meja kerja Araya. Sedangkan aku ... aku masih berdiri mematung di depan pintu. Mataku sibuk menatap ke arah ruangan yang cukup luas. Ada sofa berwarna putih yang berderet rapi mengelilingi sebuah meja. Rak-rak yang penuh dengan buku yang tersusun rapi. Ada juga beberapa piagam penghargaan yang terpasang di dalam pigura, berjejer bergantungan di dinding.  Ya, awalnya aku sibuk menatap keadaan ruangan kerja seseorang yang akan menjadi bosku.  “Rachel, seperti biasa sikap kurang ajarmu tidak pernah sembuh.” Hingga suara baritone yang mengalun merdu di telingaku itu, sukses membuatku memalingkan tatapanku. Kini tatapanku fokus ke arah seorang pria yang sedang duduk di kursi kebesarannya.  Aku seolah lupa cara berkedip ketika menatap sosok pria itu. Dia ... kurasa tidak ada kata yang mampu melukiskan betapa tampannya dia. Tatapan matanya tajam bagaikan elang dengan iris mata sehitam malam. Hidungnya mancung dengan bibir tebalnya yang seksi. Kulit wajahnya mulus, dan semua kesempurnaan dalam wajahnya terbingkai tulang pipi yang kokoh dan rahang yang tegas.  Pantas jika Rachel selalu membanggakan ketampanan sepupunya ini karena faktanya semua yang dikatakannya memang benar. Andai dia memiliki jambang maka dia akan benar-benar terlihat seperti pangeran dari kerajaan Arab. Sayangnya rahangnya putih mulus tanpa jambang sedikit pun.  Entah ini suatu keberuntungan atau kesialan untukku karena pria tampan itu sebentar lagi akan resmi menjadi bosku.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD