BAB 3

2223 Words
ARAYA POV  Hari ini, aku ingat Rachel mengatakan akan membawa salah satu teman baiknya yang dia rekomendasikan untuk menjadi sekretaris pribadiku. Sudah hampir satu minggu aku belum mendapatkan pengganti dari sekretaris pribadiku yang meninggal secara misterius dan tragis.  Namanya Cintya, dia sekretaris yang bisa diandalkan. Dia cukup gesit dan cara kerjanya memuaskan untukku. Dia mampu mengatur jadwalku dengan sangat baik, nyaris tak pernah sekalipun membuatku kecewa dengan kinerjanya. Dia juga sudah bekerja bersamaku cukup lama, sekitar dua tahun lamanya semenjak aku mendirikan perusahaan ini.  Sebagai seorang sekretaris, dia memang bisa diandalkan dan sebagai seorang wanita dia juga sangat cantik dan menggoda. Dia memang berlaku sopan di depanku jika masih dalam ruang lingkup pekerjaan, meski tak jarang dia selalu berusaha untuk menggodaku di saat kami sudah berada di luar jam kerja. Aku selalu mengabaikannya karena aku sudah memiliki seseorang yang aku cintai. Terlebih ketika aku dan kekasih yang sudah kupacari sejak SMA, akhirnya melangsungkan pernikahan. Aku semakin menjaga sikapku pada semua wanita.  Hingga sehari sebelum kematian Cintya, kejadian tak terduga terjadi. Cintya yang sepertinya memang menyukaiku mencoba menggodaku lagi. Dia tampak nekat dan agresif hari itu hingga dia berani menciumku. Entah ini kebetulan atau memang takdir berkehendak demikian, tepat di saat aku dan Cintya sedang berciuman, istriku... Mikayla datang ke kantorku dan memergoki kami berdua.  Saat itu, untuk pertama kalinya dalam hidup, aku benar-benar takut pada Mikayla. Aku takut dia akan marah dan parahnya meminta cerai dariku karena salah paham dan mengira aku berselingkuh dengan sekretaris pribadiku sendiri. Padahal belum genap satu bulan kami menikah, bukankah sangat memalukan jika istriku menggugat cerai? Kami pasti akan menjadi bahan olokan banyak orang.  Akan tetapi, pemikiranku tampaknya berlebihan karena Mikayla sama sekali tidak terlihat marah. Dengan santainya dia merangkul tanganku seolah dia tak melihat tindakan memalukan yang kulakukan bersama sekretaris pribadiku, yang seharusnya menyakiti perasaannya.  Namun, anehnya dia tak terlihat marah padaku sedikit pun. Dia bahkan tidak melabrak ataupun marah-marah pada Cintya seperti layaknya seorang istri yang dilanda cemburu karena memergoki suaminya sedang b******u dengan wanita lain. Dia membawaku pergi dari kantorku dan masih sempat tersenyum manis pada Cintya.  Di rumah pun, dia tidak membahas masalah itu seolah dia memang tidak melihat apa pun. Seperti biasanya dia memperlakukanku dengan baik tanpa perubahan sedikit pun dari sikapnya. Sungguh istriku sangat aneh, dia sangat berbeda dengan kebanyakan istri di luar sana.  Hingga keesokan harinya, Cintya tidak masuk kerja. Tepat pukul 10 pagi, barulah aku mendapat kabar dari kepolisian bahwa Cintya ditemukan meninggal di Apartemenya dengan kondisi jasadnya yang sangat mengenaskan.  Aku memang tidak melihat langsung bagaimana penampilan jasadnya, tapi berdasarkan cerita dari beberapa karyawanku yang sengaja mendatangi Apartemen Cintya untuk melihat jasadnya, penampilan jasadnya sangat mengerikan. Tulang-tulang di tubuhnya dipastikan remuk namun tidak ada tanda kekerasan fisik yang menimpa tubuhnya. Tidak ada luka lebam bekas pukulan maupun benturan. Tapi berdasarkan hasil pemeriksaan tim forensik, seluruh tulang di dalam tubuhnya memang remuk dan hancur menjadi serpihan kecil.  Kedua matanya melotot seolah melihat sesuatu yang begitu menakutkan sebelum dia meregang nyawa. Darah kental tak hentinya keluar dari lubang hidung, telinga, kedua mata maupun mulutnya. Sungguh kematian yang penuh misteri hingga tim forensik pun kesulitan mengidentifikasi penyebab kematiannya.  “Araya, selamat pagi.”  Aku terenyak di tempat dudukku dan semua lamunanku buyar seketika karena suara berisik sepupuku yang bernama Rachel. Dengan kurang ajarnya dia menerobos masuk ruanganku tanpa mengetuk pintu lebih dulu. Sebenarnya situasi seperti ini bukan pertama kalinya ku alami karena sepupuku yang gila itu memang selalu bersikap kurang ajar seperti ini setiap kali mendatangi kantorku.   “Rachel, seperti biasa sikap kurang ajarmu tidak pernah sembuh,” ucapku, yang dibalas cengiran tak berdosanya. “Sesuai janji, aku membawa sahabatku kemari untuk menggantikan sekretaris pribadimu itu.” Dia mengedipkan sebelah matanya padaku, aku mendesah lelah melihatnya. Apa maksudnya dia mengedipkan sebelah matanya? Apa dia sedang menggodaku?  Tatapan mataku beralih ke arah pintu, dimana di sana ada seorang gadis yang sedang berdiri kaku dengan kedua matanya yang membola menatapku. Dia gadis yang cukup cantik dengan rambut sebahunya yang diikat. Penampilannya juga cukup rapi. Dia mengenakan kemeja putih dipadukan dengan blazzer hitam dan rok hitam. Dia tak memakai make up berlebihan, sangat jauh berbeda dengan Cintya yang selalu tampil menggoda dengan riasan tebalnya, gadis ini terlihat begitu sederhana dan natural.  “Na, sini masuk. Jangan cuma berdiri di situ,” panggil Rachel, suara berisiknya sepertinya membuat gadis itu terperanjat kaget. “P-Permisi,” gumamnya pelan, namun masih bisa kudengar dengan jelas, sambil menunduk dia berjalan memasuki ruanganku. Lalu berdiri tepat di samping Rachel.  “Araya kenalkan ini dia sahabatku, namanya Nana Athalia.” Rachel mengenalkannya, sedangkan gadis bernama Nana itu masih betah menundukan wajahnya di depanku. “Berapa usiamu?” tanyaku, memulai pembicaraan di antara kami. Dia mendongak dengan gestur tubuh yang menunjukan betapa gugupnya dia saat ini.  “D-Dua puluh tiga tahun, Pak,” jawabnya terbata-bata. Usianya 3 tahun lebih muda dariku, tapi dia seumuran dengan Cintya. “Apa sebelumnya kau pernah bekerja sebagai sekretaris?” “Iya pernah, Pak. Saya pernah bekerja sebagai sekretaris di sebuah perusahaan di Bandung.” “Berapa lama kau bekerja di sana?” Dia menggulirkan bola matanya, terlihat panik karena pertanyaan sederhanaku ini. “Tidak lama, Pak. Hanya empat bulan,” jawabnya, wajahnya terlihat khawatir entah karena alasan apa. “Kenapa kau keluar dari perusahaan itu?” Aku semakin curiga dengannya ketika dia semakin salah tingkah karena pertanyaanku ini. Padahal pertanyaan yang aku ajukan padanya hanyalah sebuah pertanyaan sederhana yang biasanya ditanyakan ketika interview. Memang sepupuku yang merekomendasikan dia tapi bukan berarti aku tidak perlu mencaritahu tentang dia kan? Hei, dia ini akan menjadi sekretaris pribadiku nantinya. Sekretaris pribadiku tentunya harus pekerja yang berkualitas dan profesional.  “Araya, kamu kan udah janji sama aku, udah pasti bakal nerima sahabat aku, kok kamu malah nanya-nanya gitu sih? Kamu gak percaya sahabat aku pantas jadi sekretaris pribadi kamu, ya?” Rachel berkacak pinggang di depanku dengan bibirnya yang memberengut tak suka karena aku banyak bertanya pada sahabatnya.  Aku menghela napas panjang, tidak ada gunanya berdebat dengan Rachel karena mulut berisiknya tidak akan pernah diam jika aku meladeninya. Akhirnya kuputuskan untuk mengikuti apa keinginannya. Toh kami sudah membuat kesepakatan, jika sahabatnya itu tidak mampu bekerja sesuai keinginanku maka aku tidak akan segan-segan memecatnya.  “Nana ini sangat cerdas, aku jamin deh kamu gak bakalan nyesel jadiin dia sekretaris pribadi kamu. Kamu percaya aja sama aku. Jadi gak usah ngungkit-ngungkit masa lalunya waktu kerja di perusahaannya yang lama.” “Ya, ya, baiklah. Aku mengerti,” sahutku seraya mengembuskan napas pasrah. Masih banyak pekerjaan yang harus ku urus hari ini jadi tidak ada waktu untuk meladeni kekeras kepalaan sepupu gilaku ini.  “Nona Nana, mulai besok kau resmi menjadi sekretaris pribadi saya. Ruangan di sebelah itu adalah ruanganmu,” ucapku sembari menunjuk dengan daguku ke arah ruangan yang berada tepat di sebelah ruanganku, hanya dinding kaca yang memisahkan ruangan kami.  “Hari ini kau bisa lihat-lihat dulu kantor ini atau berkenalan dengan karyawan lain. Ingat, besok sebelum jam 8 pagi, kau harus sudah sampai di kantor. Saya tidak suka karyawan yang tidak disiplin, jadi tolong patuhi semua peraturan di perusahaan ini,” ucapku, Nana mengangguk dengan cepat. “Baik, Pak. Saya mengerti. Terima kasih,” sahutnya sopan. “Ra, mendingan kamu temenin dia lihat-lihat kantor ini agar nanti dia hafal letak-letak ruangan di sini. Kenalin juga sama karyawan-karyawan di sini.” “OK, Bos!” ujar Rachel girang, aku hanya menggeleng berulang kali menghadapi sepupuku yang tak pernah berubah sedikit pun sejak dulu. “Kalau begitu kami pamit dulu ya, Tuan CEO yang terhormat.” Rachel kembali berucap disertai kekehannya. Lalu bergegas menarik tangan Nana untuk mengikutinya keluar dari ruanganku.  Apa aku sudah melakukan kesalahan besar karena menerima sahabat yang direkomendasikannya? entah mengapa aku merasa Rachel akan sering datang ke kantorku untuk mengunjungi sahabatnya itu, dan jelas hal ini masalah besar bagiku. Aku tidak pernah bisa bekerja dengan tenang jika Rachel datang merusuh di kantorku. ***    Tepat pukul 4 sore, aku pergi meninggalkan kantorku. Begitupun dengan seluruh karyawan yang bekerja di perusahaanku, mereka pulang dengan teratur. Aku pulang dengan mengendarai mobilku sendiri, aku memang tidak suka jika harus menggunakan seorang sopir untuk mengantarku bepergian.  Meski demikian, aku tetap mempekerjakan seorang sopir untuk mengantar kemana pun Mikayla ingin pergi. Sebenarnya Mikayla yang sekarang dengan Mikayla yang dulu mengalami perubahan yang drastis. Jika dulu dia senang mengendarai mobilnya sendirian, tidak demikian dengan sekarang. Dia tidak pernah berani menyetir mobilnya sendiri.  Bagiku ini sesuatu yang wajar mengingat kejadian yang menimpa kami dua tahun lalu. Saat itu, kami berdua mengalami kecelakaan yang sangat parah. Mobil kami jatuh ke dalam jurang dan saat itu Mikaylalah yang mengendarai mobilnya. Mungkin dia trauma menyetir mobil sendiri.  Dulu, dia memang selalu mengebut jika sedang menyetir, sesuatu yang membuatku kahwatir sejak dulu. Dua tahun yang lalu kekhawatiranku menjadi kenyataan ketika kami mengalami kecelakaan yang nyaris merenggut nyawa kami.  Aku selamat karena terlempar keluar sebelum mobilnya jatuh ke jurang, namun berbeda dengan Mikayla yang ikut jatuh ke dalam jurang bersama mobilnya. Jika mobilnya meledak sudah dipastikan Mikayla tidak akan selamat saat itu. beruntung Tuhan masih menyelamatkannya sehingga mobilnya tidak meledak meski berguling-guling ketika terjatuh ke jurang.  Kendati demikian, Mikayla mengalami luka serius. Keadaannya kritis dan koma selama dua tahun lamanya. Pihak rumah sakit yang menanganinya sudah angkat tangan dan menyarankan padaku untuk merelakan kepergiannya karena otaknya mengalami kerusakan yang tidak mungkin lagi bisa disembuhkan. Tapi saat itu, aku tak pernah menyerah sedikit pun, aku percaya keajaiban dan mukjizat pasti ada.  Jika dipikir-pikir, betapa bersyukurnya aku karena selalu mempercayai Mikayla akan bangun suatu hari nanti, karena faktanya dia memang kembali bangun dari komanya. Kami pun akhirnya bisa mewujudkan impian kami sejak dulu yaitu menikah.  Baru satu bulan yang lalu kami melangsungkan pernikahan. Sebagai pengantin baru seharusnya kami melakukan sesi bulan madu, tapi Mikayla menolaknya meski aku membujuknya dengan cara apa pun. Aku begitu mencintai istriku jadi apa pun yang diinginkannya pasti akan selalu aku kabulkan.  Setibanya di rumah kami, seorang pelayan membukakan pintu untukku.  “Dimana Mikayla, Bi?” tanyaku pada Bi Narsih yang kupekerjakan di rumah ini sejak kami resmi menikah. Aku menyukai cara kerjanya yang rajin, selain itu masakannya cukup lezat karena aku tidak membiarkan Mikayla melakukan pekerjaan rumah apa pun termasuk memasak. Aku sengaja memberikan kenyamanan untuknya karena bagiku kebahagiaannya adalah hal paling penting di dunia ini.  “Nyonya sedang bersantai di gudang, Tuan.” Aku mengernyit mendengarnya.  Gudang yang dimaksud Bi Narsih merupakan rumah kecil yang terletak tepat di belakang rumah kami. Jika rumah kami cukup luas terdiri dari 3 lantai, gudang yang terletak di belakang rumah hanyalah sebuah rumah sederhana yang terdiri dari satu ruangan saja. Awalnya, aku ingin menjadikan rumah itu sebagai gudang, namun entah mengapa Mikayla sangat senang menghabiskan waktunya disana sehingga gudang itu pun disulapnya menjadi ruangan yang nyaman.  Aku bergegas menuju gudang, tempat istriku berada. Baru seharian saja tidak melihat wajah cantiknya, sudah membuatku tersiksa karena merindukannya.  Jalan menuju gudang itu bisa dikatakan cukup jauh dari rumah kami. Banyak pepohonan di sekitar sini yang menambah kesan sejuk di sini, namun juga cukup menyeramkan jika berjalan di sini pada malam hari.  Kubuka pintu gudang tanpa mengetuknya dulu karena aku tahu Mikayla tidak pernah mengunci pintunya jika sedang menghabiskan waktunya di dalam.  “Kay!” teriakku, memanggil namanya. Aku menggulirkan kedua bola mata, menatap ke sekeliling ruangan, namun tak kutemukan sosoknya dimana pun. Hanya kursi goyang yang biasa diduduki Mikayla tengah bergoyang-goyang. Kupikir mungkin Mikayla tertidur di kursi itu.  Aku melangkah mendekati saklar untuk menyalakan lampu di ruangan ini karena di sini cukup gelap. Mikayla memang menyukai kegelapan, entah sejak kapan karena setahuku dulu dia tidak seperti ini. Dia tidak membuka gorden jendela sehingga tak ada cahaya yang bisa masuk ke dalam ruangan.  Setelah lampu di ruangan ini menyala, aku kembali melangkah mendekati kursi goyang yang masih bergoyang-goyang pertanda ada seseorang yang sedang duduk di sana.  Aku merentangkan kedua tanganku bermaksud memeluk istriku dari belakang, namun...  Begitu aku melihat ke arah kursi, ternyata tak ada siapapun disana. Mikayla yang kupikir sedang tertidur di kursi goyang itu, rupanya pemikiranku salah karena dia tak terlihat sedang duduk di sana. Kursi goyang itu kosong. Lalu kenapa kursi goyang ini terus bergoyang padahal tak ada siapa pun yang mendudukinya?  Aku berbalik hendak pergi mencari Mikayla, dan betapa terkejutnya aku ketika sosok Mikayla sudah berdiri tepat di depanku sekarang. Dia menatapku intens, membuatku menegang seketika. Jantungku berdetak cepat karena dia tiba-tiba memelototiku, wajahnya entah mengapa terasa menyeramkan bagiku.  “Kamu udah pulang, Honey?” tanyanya seraya tersenyum manis padaku. Kunormalkan kembali detak jantungku, sepertinya pemikiranku terlalu berlebihan. Bagaimana bisa istriku yang cantik ini, membuatku sempat ketakutan tadi? Sepertinya aku terlalu lelah bekerja hari ini.  “Iya, aku mencarimu. Kupikir kamu lagi duduk di kursi goyang tadi. Tapi ternyata kamu gak ada di sana.” “Tadi aku duduk di sana, tapi aku cepat-cepat bangun saat menyadari kamu berniat menyalakan lampu. Aku pengin mengejutkanmu, tapi sepertinya rencanaku gagal.” “Tidak, sebaliknya kamu sukses buat aku kaget. Aku takut banget tadi waktu gak lihat kamu duduk di kursi goyang,” sahutku.  Aku nyaris terjengkang ke belakang ketika Mikayla tiba-tiba memelukku. Lalu dia menarik leherku agar wajahku mendekat ke wajahnya. Dia mendaratkan ciuman menggairahkannya padaku dengan bertubi-tubi. Aku bahkan kewalahan mengimbanginya. Satu hal lagi perubahan pada Mikayla semenjak dia bangun dari komanya. Dia menjadi sosok wanita yang sangat agresif, padahal dulu dia cukup pemalu.  Aku terpaksa mendorongnya ketika mulai merasakan sesak napas, mungkin pasokan oksigen di paru-paruku mulai menipis karena ciumannya yang brutal dan tidak memberiku kesempatan sekadar untuk meraup oksigen.  “Maaf,” ujarnya, tampak menyesal. “Nggak apa-apa sayang, aku cuma kaget aja. Ayo, kita kembali ke rumah. Temani aku makan, aku laper banget.” Mikayla mengangguk, aku merangkul pinggangnya seraya membawanya keluar dari ruangan yang batal ku jadikan gudang.  “Oh iya, Kay, hari ini aku dapat sekretaris baru. Namanya Nana, dia sahabat baik Rachel. Besok dia mulai kerja.” Aku memberitahu Mikayla perihal Nana. Aku memang nyaris tak pernah menyembunyikan apapun dari istriku. Aku tidak ingin dia mengetahuinya dari orang lain karena menurutku lebih baik aku sendiri yang memberitahunya.  “Hm, bagus kalau gitu. Besok, boleh aku ke kantormu? Aku pengin ketemu sekretaris barumu?” tanyanya, yang langsung kuangguki. Tentu tidak mungkin aku melarang istriku untuk mendatangi kantorku.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD