ISTRI SAH DAN ISTRI KEDUA?

893 Words
Cinta itu buta—benar-benar buta. Bukan karena tidak punya mata… tapi karena saat kita mencintai, kita kehilangan arah, kehilangan logika, kehilangan kemampuan untuk menilai mana yang menyakiti dan mana yang perlu dilepaskan. Saat jatuh cinta, kita hanya tahu satu hal: kita jatuh… tanpa bisa memilih di mana kita akan mendarat. Di dalam sebuah ruangan kerja yang luas, seorang pria tampan duduk sendirian. Cahaya sore menembus jendela besar, memantul lembut di permukaan meja kayu mahal itu. Pria itu menatap tajam pada sebuah foto. Foto seorang wanita yang tersenyum manis—wanita yang berhasil membuat hidupnya terasa lengkap, namun sekaligus menghancurkannya perlahan. “Dami Mandala… aku sangat merindukanmu, Sayang.” Bisikan itu keluar begitu lembut, namun sarat luka. Kata sayang terdengar getir di ujung lidahnya, seperti sesuatu yang ia genggam terlalu lama hingga melukai dirinya sendiri. Cintanya tidak pernah terbalas. Ia mencintai… memuja… berusaha meraih hati wanita itu. Namun ujungnya? Kesakitan. Penolakan. Dan harapan yang terjun bebas tanpa parasut. Dan ketika akhirnya ia hampir berhasil menggenggam hati itu, masalah datang bertubi-tubi—seakan dunia menolak memberi kesempatan baginya untuk bahagia. 'Izinkan aku… hanya sebagai teman.' Kalimat itu terus menggema di kepalanya. Suara Dami, suaranya yang lembut namun tegas saat memotong harapannya. Pintu ruangannya diketuk. Pelan. Teratur. Mengganggu lamunannya. Pria itu menutup mata sebentar, menarik napas panjang. Ia sedang tidak ingin bertemu siapa pun. Tidak ingin bicara. Tidak ingin melihat orang lain berjalan di hadapannya ketika dirinya bahkan tidak bisa bergerak dari masa lalu. Namun ia harus menjawab. Ia harus tetap menjadi pria yang disegani—seorang pemimpin, bukan seorang pecinta yang patah. “Masuk,” ucapnya akhirnya, sedikit keras. Pintu terbuka. Seorang wanita muda masuk dengan map di tangannya. Aprilia—sekretarisnya. Wajahnya menyimpan senyum tulus, senyum yang terlalu hangat untuk ruang sedingin itu. “Tuan, saya baru saja menyelesaikan laporan yang Anda minta.” Ia berdiri tegap di depan meja, berusaha profesional meski jantungnya berdegup tidak karuan. “Letakkan di meja. Lalu keluar.” Nada dingin itu memotong udara. Aprilia menelan ludah. Ia mengangguk, namun kakinya seakan menolak bergerak. Ada sesuatu dalam tatapan pria itu yang membuatnya sulit melepaskan pandangan. Pria itu mendongak, sorot matanya menusuk. “Apa kau ingin aku memecatmu?” Tubuh Aprilia tersentak halus. “A-ah, maaf, Tuan.” Ia buru-buru berbalik dan keluar, menutup pintu dengan sangat hati-hati. Tamat—begitulah rasanya setiap kali ia membuat kesalahan kecil. Ia takut kehilangan pekerjaannya, tapi lebih takut kehilangan kesempatan untuk sekadar berada dekat pria itu. Setelah Aprilia pergi, ruangan kembali tenggelam dalam sunyi. Pria itu meraih ponsel di atas meja. Jarinya menari lincah di atas layar, mengetik pesan pendek. Sesaat bibirnya terangkat—senyum kecil yang hanya muncul ketika ia menghubungi seseorang yang berarti baginya. Pesan terkirim. Dan senyum tipis itu perlahan memudar—meninggalkan sepotong rindu yang semakin dalam, semakin menyakitkan, semakin mengikat dirinya pada cinta yang mungkin… tidak pernah benar-benar menjadi miliknya. --- Kinara duduk bersama Hana di kamar pribadi milik Hana dan Vin—ruangan yang seharusnya menjadi tempat terhangat bagi sebuah pasangan, namun bagi Kinara… ruangan itu adalah neraka kecil yang selalu mengingatkannya bahwa ia tidak dimiliki. Tatapan Kinara terpaku pada dinding luas di hadapan ranjang besar. Dinding itu penuh dengan foto-foto kebahagiaan—kebahagiaan yang tidak pernah menjadi miliknya. Ada foto Vin memeluk Hana dari belakang, wajah keduanya dipenuhi tawa. Ada foto Vin mengangkat tubuh Hana, seolah dunia hanya milik mereka berdua. Dan yang paling menusuk… foto pernikahan besar yang dipasang tepat di tengah dinding. Vin tersenyum sangat bahagia di sana. Di sebelahnya, Hana terlihat begitu cantik dalam gaun putih, merangkul lengan pria itu tanpa ragu—tanpa takut kehilangan. Kinara memalingkan wajah. Dadanya seperti diremas perlahan. Ia menarik napas panjang, menahan rasa sakit yang terus mendesak naik. “Hm?” Hana menoleh—atau lebih tepatnya, mengarahkan wajahnya ke arah Kinara. Meski matanya kosong, senyum hangat tetap terukir di bibirnya. “Nyonya…” Kinara memulai dengan hati-hati. “Bolehkah saya bertanya? Kenapa Anda… bisa buta?” Pertanyaan itu keluar sangat pelan. Karena bahkan Kinara tahu, tak semua luka pantas disentuh. Hana tersenyum miris. Senyum yang berbeda dari biasanya—lebih berat… lebih sesak. “Namamu Marisa, bukan?” tanya Hana lembut, memastikan ia berbicara pada orang yang tepat. “Maaf… tapi aku belum bisa menceritakannya. Rasanya masih terlalu sakit.” Hana menundukkan kepala. Matanya yang hampa memandang tembok kosong—tembok yang bahkan tak bisa ia lihat. Gelap. Itulah dunia Hana sekarang. Tidak ada lagi matahari pagi yang ia sukai. Tidak ada lagi langit malam dipenuhi bintang. Tidak ada lagi wajah suaminya—wajah yang dulu bisa membuatnya kuat bertahan hidup. Kinara menggigit bibir, menyesal. “Maafkan saya, Nyonya… saya tidak bermaksud—” “Tidak apa,” Hana memotong lembut. “Kau tidak salah.” Keheningan mengisi ruangan sejenak. Hanya terdengar napas lembut Hana, dan detak jantung Kinara yang berujar luka. Hana tiba-tiba tersenyum kecil. “Marisa… bolehkah aku mendengar kisah cintamu? Aku ingin tahu… bagaimana cara hatimu mencintai.” Permintaan itu membuat Kinara membeku. Kisah cinta? Cinta seperti apa yang harus ia ceritakan? Cinta yang mematahkan dirinya? Cinta yang menjadikannya bayangan? Cinta yang membuatnya hidup dalam dingin yang tidak pernah hilang? Ia menatap Hana lama. Kemudian menarik napas perlahan. Senyumnya muncul—senyum getir yang berusaha ia buat terlihat normal. “Mungkin…” bisiknya pelan, “berbagi memang lebih baik.” Walau cintanya sendiri adalah kisah yang seharusnya tidak pernah didengar siapa pun.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD