[‘Ibu, Ayah… aku ingin menikahi Hana.’
Ucapan itu lahir lirih namun tegas dari seorang pria muda yang berdiri di ambang pintu ruang keluarga.
Vin Mandala—dengan jas rapi dan wajah yang penuh tekad—menggenggam tangan seorang wanita di sampingnya.
Wanita itu adalah Hana, yang kini menunduk, jemarinya gemetar dalam genggaman Vin.
‘TIDAK!’
Teriakan itu memecahkan udara.
Nyonya Mandala bangkit dari sofa dengan mata membelalak penuh amarah—amarah yang selama ini ia pendam dan kini meledak tanpa kendali.
‘KAU TIDAK AKAN PERNAH menikah dengannya, Vin Mandala!’
Tatapannya langsung menusuk ke arah tangan Vin dan Hana yang saling berpegangan.
Tatapan itu bagai pisau panas yang siap menguliti.
‘Kau!’
Ia menunjuk Hana dengan jari yang bergetar marah.
‘Karena dirimu, putriku menanggung malu! Karena dirimu, putriku mencoba MENGAKHIRI hidupnya!’
Suara wanita itu pecah, namun tidak melemah—justru semakin menggila.
‘Dan sekarang apa?! Kau malah mengganggu hidup putraku?!’
Napasnya memburu. Ia beralih ke Vin.
‘Dan KAU! Vin Mandala!’
Suara itu bahkan membuat dinding seperti ikut bergetar.
‘Bagaimana bisa kau ingin menikahi wanita p*****r itu?! Apa kau ingin melihat kakakmu mati?! APA KAU INGIN MELIHAT IBU MU INI MATI?!’
Tuan Mandala yang sejak tadi diam, akhirnya berdiri.
Wajahnya penuh kecewa, sorot matanya redup.
Ia melangkah mendekati putranya.
Tanpa peringatan—
PLAK!!!
Tamparan keras itu menggema di ruangan.
Hana tersentak, menutup mulutnya dengan kedua tangan.
Vin menoleh perlahan, pipinya memerah, namun ia tersenyum kecut… pahit… terlukai.
‘Ayah… kecewa padamu,’ ucap Tuan Mandala.
Suaranya dalam, penuh penyesalan dan kemarahan yang ditekan.
Namun Vin mengangkat dagu, matanya menusuk balik kedua orang tuanya.
‘TAPI AKU MENCINTAI HANA, AYAH! AKU MENCINTAINYA, IBU!’
Suara Vin retak di ujung kalimat, namun tetap tegas.
‘V-Vin… jang—’
Perkataan Hana terputus ketika Vin menarik tangannya, membawanya pergi dari ruangan keluarga itu.
Namun langkah mereka terhenti oleh suara yang begitu dingin…
suara yang mampu memutuskan seluruh masa depan dalam sekejap.
‘VIN MANDALA!’
Nyonya Mandala menatap mereka dengan mata basah namun membara.
‘Jika kau BERANI menikahi wanita itu… kau akan melihat MAYAT ibu BESOK PAGI.’
Hening seketika.
‘Dan saat kematianku… kau bukan lagi anakku.’
Langkah Vin terhenti.
Seluruh tubuhnya kaku.
Hana merasakan tangan Vin bergetar.
Matanya menatap pria itu—mata yang penuh cinta, tapi juga penuh ketakutan.
Vin tidak bergerak.
Matanya berkaca-kaca.
Dada naik turun, seolah dunia menumpuk tepat di atasnya.
Dia mencintai Hana…
Tetapi di depan matanya berdiri wanita yang membesarkannya.
Wanita yang ia hormati, yang ia banggakan…
Wanita yang kini mengancam akan mati jika ia memilih cintanya.
Vin memejamkan mata.
Dia ingin memilih Hana…
Tapi dia mencintai ibunya lebih dari siapa pun di dunia ini.
Dan hari itu, sesuatu dalam diri Vin Mandala pecah—
pecah menjadi luka yang tak pernah benar-benar sembuh.]
“Vin… lepaskan aku.”
Suara Hana terdengar pelan, hampir berbisik. Namun cukup kuat untuk menghentikan lamunan panjang Vin.
Pria itu terdiam sejenak. Ia menarik napas dalam-dalam—mencoba meredakan kekacauan di dadanya. Ketika ia memandang Hana, ia melihat wanita yang selama ini ia jaga begitu erat… wanita yang bahkan tidak bisa melihat wajahnya, tetapi mengenal setiap getaran perasaannya.
“Hana…” suara Vin bergetar, “tidak. Aku tidak akan melepaskanmu. Maafkan aku. Aku akan membuat mereka menerimamu. Aku mencintaimu.”
Hana meraba tangan Vin yang menggenggamnya—sentuhannya lembut, hati-hati, seolah memastikan apa yang ia rasakan itu nyata.
Kemudian ia pelan-pelan melepaskan diri.
“Aku juga mencintaimu, Vin.”
Nada suaranya lembut, namun tajam menusuk hati.
“Aku akan menunggumu.”
Vin menutup mata kuat-kuat. Kata-kata Hana selalu terdengar lebih jujur karena ia tidak bisa melihat—hanya bisa merasakan.
“Aku lebih mencintaimu, Hana…” ucap Vin lirih, seperti memohon pada takdir.
Hana tidak bisa melihat wajah Vin yang hancur, tapi ia bisa merasakan getaran di suara pria itu. Jemari Hana terangkat mencari—Vin segera menggenggamnya, mengarahkan ke pipinya. Hana menyentuh wajah itu, mengusapnya perlahan, menangkap setiap napas tersengal di sana.
Vin kemudian mencondongkan tubuh dan mencium bibir Hana dengan lembut—ciuman yang dipenuhi ketakutan kehilangan. Setelah itu, tangannya bergerak ke pita gaun putih Hana, hendak melepaskannya.
Hana langsung menahan tangan itu.
“Tidak…” ucap Hana sambil menggeleng, walau gerakannya ragu karena ia tidak tahu arah. “Tidak, Suamiku. Jangan menyentuhku… sampai keluargamu menerima keberadaanku. Biarkan aku menjadi milikmu tanpa harus membuatmu kehilangan siapa pun.”
Vin memejamkan mata, napasnya patah.
Bagaimana mungkin keluarganya bisa menerima Hana…
ketika ia sudah menikah dengan Kinara—anak kesayangan keluarganya, gadis yang kakaknya lindungi mati-matian?
Namun tetap… hanya Hana yang ia cintai.
“Baiklah…” Vin akhirnya menyerah, suaranya pelan tapi berat.
“Aku akan menunggumu, Sayang.”
Ia mengecup kening Hana dengan lembut, lama, seperti menitipkan janji.
Vin menggenggam tangan Hana, membiarkan Hana mengenali bentuk jemarinya lagi dan lagi.
“Aku tahu ini melelahkan… tapi aku sangat mencintaimu, Hana.”
Hana tersenyum—senyum yang tidak membutuhkan mata untuk terlihat indah. Ia meraba pipi Vin, mengusapnya penuh kasih.
“Aku lebih mencintaimu, Suamiku,” ujarnya pelan. “Terima kasih… karena tetap bertahan bersamaku.”
Di antara sentuhan-sentuhan kecil itu, keduanya tahu—
cinta mereka sedang berperang melawan dunia.
Dan untuk pertama kalinya…
Vin merasa ia mungkin tidak cukup kuat untuk memenangkannya.