KONTRAS

735 Words
Mobil mewah itu berhenti perlahan di halaman luas mansion Vin Mandala—rumah megah yang dulu dibangun Vin dengan cinta dan doa. Bukan doa untuk Kinara… tapi untuk wanita lain yang ia puja sepenuh hidupnya, wanita yang membuatnya percaya bahwa masa depan bisa seindah mimpi. Kini, doa itu menjadi sarkasme yang menggantung di udara pagi yang dingin. Kinara masih meringkuk di kursi penumpang. Tangannya membiru, bibirnya menghitam pucat, lututnya dipeluk erat seperti satu-satunya cara agar ia tidak membeku. Vin menoleh. Sorot matanya tajam, namun sesuatu yang lain—sesuatu yang ia sembunyikan dengan rapat—berkelip setengah detik. “Turun.” Suaranya dingin seperti baja. Kinara mendongak pelan. Pandangannya goyah. “Tu—” “Turun! Atau kau akan mati kedinginan di dalam sini!” bentaknya lebih keras. Tubuh Kinara bergetar. Katanya ‘mati’ tak pernah terdengar sesungguhnya… kecuali dari mulut Vin, dan entah mengapa setiap kali terdengar, hatinya selalu retak sedikit lebih dalam. Dengan tangan yang menggigil hebat, ia membuka pintu mobil. Ceklek. Bunyinya terdengar seperti pisau yang ditarik dari sarungnya. Pelan, sangat pelan, Kinara mengulurkan kakinya. “Akh…” Satu keluhan kecil lolos ketika tulangnya protes pada setiap gerakan. Kaki kirinya turun lebih dulu. Tumitnya bahkan tak kuat menahan berat tubuhnya. Ia memegang pintu mobil erat-erat, menarik napas panjang, mencoba menyeimbangkan tubuhnya yang terasa seperti mau roboh kapan saja. Ketika kedua kakinya menyentuh tanah, Kinara memejamkan mata. Hawanya dingin. Terlalu dingin. Dingin yang membekukan napasnya, dingin yang menusuk lurus ke tulang-tulangnya yang kaku. Ia mencoba melangkah. Sekali… Dua kali… Tubuhnya goyah, lututnya seperti tidak mengenal fungsi. Kakinya terasa lumpuh. Vin berdiri di sisi mobil, menatapnya. Hanya menatap. Diam seperti patung. Namun di dalam tatapan itu, ada badai yang ia kubur dalam-dalam. Ingin, sangat ingin ia berlari, mengangkat Kinara, memeluknya, menutup tubuh itu dengan mantel tebalnya. Instingnya berteriak menyuruhnya melakukan sesuatu. Tapi tubuhnya menolak. 'Hatimu jangan lemah, Vin.' 'Jangan peduli pada dia.' 'Jangan tampakkan apa pun.' 'Jangan…' 'peduli.' Hanya saja, ketika Kinara akhirnya benar-benar jatuh—tubuhnya terhempas ke tanah dingin… Vin membuang muka. Kuat-kuat. Meski dadanya terasa seperti sepotong besi panas yang ditikamkan ke dalam d**a. ‘Kau pengecut. Kau penjahat. Kau kejam.’ Kata-kata itu bergema di kepalanya. Kinara menggigil hebat, tubuhnya menahan sakit dan dingin bersamaan. Namun ia tetap tersenyum—senyum rapuh yang dipaksakan, seolah itu satu-satunya tameng yang ia miliki agar tak runtuh. Baru saja ia mencoba bangkit, seseorang berlari ke arahnya. “Nyonya…” Pelayan Amora langsung memeluk dan menopang tubuhnya. Kinara tersenyum pudar. “Pe—pelayan Amora…” suaranya bergetar hebat. Pelayan Amora menahan napas—ingin menangis namun ia tahu tidak boleh. “Pelan-pelan, Nyonya. Saya akan membawa Anda ke kamar.” Pelayan lain di sekitar mereka menunduk hormat, namun tatapan mata mereka dipenuhi iba yang tak berani mereka tunjukkan. Kinara melangkah tertatih masuk ke mansion. Di tangga besar lantai dua, seorang wanita sedang dituntun oleh pelayan lain. Hana. Wajahnya berseri-seri, senyum lembutnya memantulkan cahaya matahari pagi dari kaca besar di belakangnya. “Selamat pagi… Kak Hana,” bisik Kinara pada dirinya sendiri. Ia tahu Hana tidak bisa melihatnya. Tidak bisa melihat wajahnya yang pucat. Tidak bisa melihat luka-lukanya. Tidak bisa melihat kenyataan pahit yang tersembunyi di dalam rumah ini. Begitu Kinara dan Amora hendak menuruni tangga menuju pintu ruang bawah tanah, suara langkah tergesa menggema dari pintu depan. “Sayang! Aku pulang!” Suara Vin langsung memenuhi aula besar rumah itu. Hana berhenti menapak. Wajahnya langsung berbinar, seperti anak kecil yang menemukan kembali mainan kesayangannya. “Suamiku… aku merindukanmu,” ucap Hana lembut. “Pelayan Mira, cepat… aku ingin memeluk suamiku.” Kinara menunduk lebih dalam. Dadanya mencengkram sakit. Malam yang dingin barusan saja ia lalui… dan pagi ini ia harus menyaksikan cinta yang tidak pernah ia miliki. “Sini sayang,” ucap Vin. Suaranya berubah lembut—lembut yang tidak pernah ditujukan pada Kinara bahkan dalam mimpi. Pelayan Amora mengetatkan pegangan tangannya di lengan Kinara. “Nyonya… Anda pasti kuat,” bisiknya. Kinara tidak menjawab. Hanya air mata yang mengalir perlahan, jatuh ke marmer dingin di bawahnya. Mereka menuruni tangga panjang menuju ruang bawah tanah, lorong temaram menyambut mereka. Jauh dari cahaya. Jauh dari kehangatan. Jauh dari cinta. Semakin jauh dari semua yang pernah ia impikan. Kinara menahan isakan kecil. Hari itu terasa panjang—terlalu panjang bagi seseorang yang menanggung cinta yang tidak pernah terbalaskan. Dan setiap langkah yang ia ambil… terasa seperti berjalan menuju neraka yang sama sekali tidak pernah ia pilih.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD