KAU MENJIJIKKAN

1240 Words
['Bagaimana aku bisa lupa? Bagaimana aku bisa menghapus semua kenangan indah itu… seolah semuanya tak pernah terjadi? Sudah berkali-kali aku mencoba… tapi hati ini bukan benda yang bisa dibanting lalu diganti. Ini hatiku. Luka di dalamnya pun milikku sendiri. Biarlah… biarlah aku yang menyimpan cinta itu, walau setiap detiknya menusukku dari dalam. Biarlah aku yang menanggungnya, meski rasanya seperti berdiri di tengah hujan— melihat tiap tetesnya jatuh, pecah, dan hancur di dataran yang keras. Seperti itulah cintaku. Jatuh. Hancur. Tapi tetap turun… tanpa pernah tahu bagaimana caranya berhenti.'] Kinara membuka matanya perlahan. Kelopak matanya terasa berat, seolah ada beban timah yang menggantung. Dunia berputar, tak stabil—dinding kamar berayun seperti ingin runtuh. Kepalanya nyeri, berdegup kencang seperti genderang perang yang ditabuh tepat di dalam tengkoraknya. Ia mencoba bergerak. Dan di detik itu juga— Rasa sakit asing menghantam tubuhnya. “Kkh…” Rintih kecil lolos dari bibirnya, seolah tubuhnya sendiri menolak kenyataan yang sedang ia rasakan. Kinara menoleh. Dan tubuhnya membeku. Di sampingnya… Seorang pria asing. Terbaring begitu saja, tidur pulas, wajahnya tenang seolah ia baru saja memesan mimpi yang nyaman. Kinara memandang keadaan dirinya— Selimut yang kacau, kulitnya yang terasa perih, dan dentuman rasa tidak berdaya yang membelah dadanya. Tidak. Tidak… ini tidak mungkin. Ia menarik napas, tersengal seperti orang tenggelam. Tangannya gemetar ketika ia menarik seprai untuk menutupi tubuhnya, tapi jemarinya bahkan tak sanggup menggenggam kain itu. “Tidak… T-Tidak…” Suaranya pecah, nyaris tak terdengar. Dengan sisa tenaga, ia merangkak turun dari ranjang, tubuhnya gemetar hebat, seperti anak rusa yang baru lahir. Ia tersandung menuju kamar mandi, memegangi dinding agar tidak jatuh. Sesampainya di cermin, ia nyaris ambruk. Ia melihat dirinya sendiri. Dan seketika… napasnya hilang. Ada tanda-tanda kasar. Ada bekas-bekas yang bukan berasal dari cinta. Ada luka di kulitnya… dan luka yang jauh lebih dalam di jiwanya. Air mata jatuh begitu cepat, tak bisa ditahan. Tubuhnya bergetar hebat. Tidak hanya marah. Tidak hanya takut. Ia merasa… kotor. Hancur. Dibuang. Dicabik tanpa ampun. “Kenapa… kenapa…” Ia meremas wastafel sekuat tenaga sampai persendiannya memutih. Dadanya seperti diremas tangan raksasa, menghancurkan tulang-tulangnya dari dalam. Dengan tangan gemetar, ia membungkus dirinya dengan handuk. Masih ada rasa sakit di tubuhnya setiap kali ia bergerak, tapi ia memaksakan diri keluar—napasnya terputus-putus oleh tangis yang bahkan tidak sempat ia keluarkan sepenuhnya. “BANGUN KAU!!!” Teriakan itu pecah tanpa ia sadari. Di saat yang sama pintu kamar terbuka. Dan Vin berdiri di sana. Wajah pria itu… tidak menunjukkan keterkejutan. Tidak ada panik. Tidak ada rasa bersalah. Hanya senyum sinis. Senyum yang menusuk seperti paku panas di jantungnya. Pria asing itu terbangun—mengusap wajahnya dengan malas. “Tubuhnya… luar biasa,” ujarnya santai, seperti sedang memuji hidangan yang baru disantapnya. Darah di tubuh Kinara seolah menghilang. Tulang-tulangnya terasa mencair. Vin melipat tangan di d**a. Tatapannya dingin. Dingin yang mematikan. “Kau beruntung bisa ‘membeli’ dia dariku, Daniel.” Jiwanya runtuh saat itu juga. Kinara jatuh berlutut—lututnya menghantam lantai, tapi ia bahkan tidak merasakan sakitnya. Karena rasa sakit yang lain… jauh lebih menghancurkan. Vin menghampirinya. Berjongkok tepat di depan wajah kosong itu. “Kinara Wijaya,” bisiknya. “Akhirnya… kau berguna.” Ucapan itu seperti pisau yang diputar di dalam dadanya, perlahan, sengaja untuk menyiksa. Napas Kinara hilang. Penglihatannya bergetar. Daniel berjalan melewatinya sambil mengambil pakaiannya. Tak ada rasa hormat, tak ada rasa malu—seolah dia melewati sampah di jalan. “Semalam… cukup menyenangkan,” katanya sambil menutup pintu kamar mandi. Kinara menatap lantai yang berguncang di bawahnya. Suaranya keluar dalam bisikan patah—suara seorang wanita yang tidak lagi mengenali dirinya sendiri. “Kau… menjijikkan…” Dia memegang rambutnya sendiri, menariknya, seolah ingin memastikan dirinya masih nyata—atau mungkin ingin merobek bagian yang masih tersisa darinya agar rasa sakitnya hilang. “Kinara—” Vin memanggilnya. Tapi tubuhnya sudah lebih dulu menyerah. Dunia menjadi gelap. Telinganya berdenging. Sesuatu di dalam dirinya retak—dan runtuh sepenuhnya. Tubuhnya limbung. Kepalanya terjatuh ke lantai. Kesadarannya terlepas. Yang tersisa hanyalah hening… Dan Vin Mandala yang terdiam, menatap tubuh tak berdaya itu—entah dengan rasa puas, rasa ngeri, atau sesuatu yang bahkan ia sendiri tidak mampu pahami. --- Hana duduk di kursi rotan sebuah kafe taman beraroma melati. Sinar matahari pagi menyentuh pipinya yang pucat, dan dua wanita di hadapannya—Diana dan Jessica—tertawa kecil sambil menyeruput minuman masing-masing. Mereka terlihat santai, tapi Hana… hanya menggenggam tangan di pangkuannya, mencoba membaca arah suara setiap teman yang sedang berbicara. “Jadi?” suara Diana terdengar ceria namun menyodok, “hubungan kalian ada perkembangan?” Jessica langsung menimpali dengan nada menggoda, “Atau… apa Vin sudah kau izinkan menyentuhmu? Ayolah Hana, kalian butuh Baby Mandala.” Hana menunduk. Senyum kecil muncul di bibirnya—senyum yang terdengar seperti patah. “Aku… belum ingin melakukan hal itu,” jawab Hana pelan. “Aku hanya ingin… mendapatkan restu Ayah dan Ibu mertua terlebih dahulu. Dan… tentu saja, aku ingin Dami memaafkanku.” “WHAT!!!” seru Diana frustrasi. “Kau ini kenapa sih?” Jessica menghela napas panjang. “Hana, dengarkan aku. Kau harus melakukan sesuatu. Vin pasti tertekan. Berikan dia anak. Cucu akan membuat keluarga Mandala diam dan menerima kalian. Itu solusi paling cepat.” Hana menggigit bibir bawahnya. Hatinnya tercekik. “Aku… tidak bisa,” ucap Hana dengan suara gemetar. “Apa yang aku dan Vin lakukan sudah salah dari awal. Kami menikah tanpa restu, tanpa persetujuan siapa pun. Dan—” Kata-katanya terhenti. Suaranya pecah. Jessica maju sedikit, nada bicaranya berubah lebih keras. “Dan kecelakaan mobil itu membuatmu buta, ya kan? Tuhan, Hana… kau harus berhenti menyalahkan diri sendiri.” Diana menyilangkan tangan. “Hana, dengarkan kami. Seorang anak itu anugerah.” “Dan anugerah bukanlah musibah,” timpal Jessica tegas. “Itu titipan Tuhan.” Hana diam. Ia tak pernah merasa serendah ini. Ia tidak ingin anaknya lahir dari ibu yang bahkan tak bisa melihat wajahnya. Ia tidak ingin anaknya dikasihani, dianggap beban keluarga besar Mandala. Ia ingin damai. Ia ingin menghapus masa lalu yang kelam. Ia ingin melihat wajah anaknya… tapi dunia telah merenggut cahaya itu darinya. “Hana, jangan hanya menunduk begitu,” suara baru muncul tiba-tiba. Rangga berdiri di samping meja, menghampiri mereka lalu mencium kening Jessica sebelum duduk. Pria itu selalu penuh percaya diri. “Kami memberi saran yang bagus,” lanjut Rangga sambil menatap ke arah Hana. “Jangan sampai kau menyesal.” “Tapi aku—” “Tidak,” Rangga memotong cepat. Suaranya mantap, seakan memahami isi kepala setiap pria yang ada di dunia. “Aku pria. Aku tahu apa yang Vin inginkan. Dia mencintaimu, Hana. Dia ingin menyentuhmu, memelukmu, bercinta denganmu… menanamkan benihnya. Kalian punya kesempatan membangun keluarga kalian sendiri.” Jessica mengangguk cepat. Diana mengangkat jempol. Rangga melanjutkan, nada suaranya lebih lembut namun tetap menusuk. “Percayalah, seorang anak akan mengubah segalanya. Darah lebih kental daripada air. Anak itu akan diterima, dilindungi, dicintai. Kau tidak akan kehilangan apa pun… kau justru akan mendapatkan kembali semuanya.” Hana menarik napas gemetar. Suaranya nyaris pecah. 'Aku buta…' 'Aku tidak sempurna…' 'Apa aku pantas menjadi ibu?' Ia meremas tangannya sendiri, mencoba menahan rasa sesak yang perlahan merayap ke dadanya. Ia tersenyum kecil—pahit, rapuh, dan penuh luka yang tak pernah selesai sembuh. “Aku… akan memikirkannya,” ucap Hana lirih. Dan ketiga sahabatnya tersenyum puas—tanpa pernah benar-benar mengerti badai yang sedang terjadi di dalam hati wanita yang kini hidup dalam gelap itu.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD