MAAF

1108 Words
[‘Aku benci saat harus sendirian,’ ucap Kinara, suaranya lirih, seolah setiap kata ditarik paksa dari ujung luka di dadanya. ‘Kenapa?’ tanya Vin, matanya mencari wajah Kinara, seakan ingin membaca sesuatu yang tak pernah benar-benar ia mengerti. ‘Jika sendiri… aku selalu ingin pergi sejauh mungkin,’ bisik Kinara. ‘Aku ingin kau mencariku, menahanku… dan tentu… tak pernah melepaskanku, Vin.’] Vin berlari menuruni anak tangga dengan napas terengah, seakan setiap pijakan menghantam dadanya yang sudah penuh rasa bersalah. Di kepalanya, satu suara terus berputar seperti kutukan yang tak mau pergi —‘Aku benci saat harus sendirian… aku ingin kau mencariku, menahanku, dan tak pernah melepaskanku, Vin.’ Setiap hurufnya menampar kesadarannya. Amora menyusul di belakang, langkahnya kacau oleh rasa panik. Mereka memasuki lorong menuju ruang bawah tanah—lorong sepi bercahaya temaram yang kini terasa seperti jalan menuju bencana. Di ujung lorong itu, pintu besar berdiri tertutup rapat. Terkunci. Seperti d**a Vin. “KINARA WIJAYA!!! Buka pintunya!!” teriak Vin, suaranya pecah, bergema—namun tidak ada jawaban. Tidak ada suara. Tidak ada tanda kehidupan. Hanya sunyi. Sunyi yang membuat tubuhnya bergetar. Amora memegangi dadanya sendiri, menahan tangis. “Tuan… percuma. Kita harus mendobraknya…” Vin mengangguk kaku, wajahnya tegang. Ia mundur lima langkah… lalu berlari. BRAAAR!! Tubuhnya menghantam pintu dengan kekuatan penuh. Pintu itu bergeming dingin, seolah menertawakan ketakutannya. Vin mencobanya lagi. Dan lagi. Denyut nadinya memukul-mukul telinga. Napasnya memburu. Bahunya memar. Tapi dia tidak berhenti. Untuk yang kesepuluh kalinya, ia berlari sekuat tenaga— BRAAK!!! Pintu itu terbelah. Ruangan terbuka. Hening. Perapian mati. Ranjang kosong. “…Kinara?” suara Vin retak, hampir tak terdengar. Amora berlari ke sudut-sudut ruangan, membuka lemari, menarik tirai, mengetuk pintu kecil di dalam ruangan itu—panik, terisak. Dan di tengah kekacauan itu—Vin mendengar sesuatu. Gemercik air. Samar… namun cukup untuk membuat darahnya berhenti mengalir. Ia melangkah cepat ke kamar mandi. Gagang pintunya… terkunci. “KINARA!!” TOK! TOK! TOK! Tapi tetap tak ada jawaban. Vin menarik napas panjang—lalu menghantam pintu itu seperti orang yang kehilangan seluruh arah hidupnya. BRAKKK!!! Pintu terlempar. Dan dunia Vin runtuh. Kinara berada di bawah permukaan air—tenggelam, tubuhnya terkulai pucat bagai mayat hidup, rambutnya menari lambat dalam air dingin seperti tirai kematian. “Ki—Kinara…” Suara Vin patah, bagai pecahan kaca yang diinjak. Ia berlari, meraih tubuh itu dari dalam bathtub, mengangkatnya dengan gemetar. Rambut Kinara sebagian membeku. Bibirnya menghitam. Napasnya begitu lemah, hampir tak terasa. “Tidak… tidak, tidak…” Vin memeluk tubuh itu, kakinya goyah. Ia membaringkan Kinara di atas ranjang, tangannya gemetar mencari denyut nadi. Ada. Tapi pelan. Sangat pelan. Amora muncul di depan pintu, menjerit lirih, menutup mulutnya dengan kedua tangan. Tubuh Kinara… pucat seputih salju yang membunuh. “Nyalakan penghangat! SEKARANG!! Dan buatkan makanan hangat! Cepat!!” suara Vin meledak penuh kepanikan. Amora menyalakan pemanas lalu berlari keluar dengan air mata menetes tanpa henti. Vin kembali pada tubuh Kinara. Ia menyentuh pipinya—dingin. Ia menyentuh tangan—kaku. “Kau bodoh…” bisiknya, suara berguncang. “Kau bodoh sekali…” Vin buru-buru melepas pakaiannya sendiri, membuka semua—hingga kulitnya bertemu kulit Kinara. Ia menarik tubuh dingin itu ke dadanya, memeluk sekuat tenaga seakan ingin menyalakan kembali nyawa yang hampir padam. “Bangun…” “Hangatlah…” “Ayolah Kinara…” Vin mengecup keningnya, lalu kedua pelupuk matanya, lalu bibir yang membiru itu. Kinara tidak bergerak. “Jangan lakukan ini padaku…” “Kau tidak boleh pergi…” Untuk pertama kalinya dalam hidupnya, Vin Mandala—pria yang tidak pernah menangis—menangis. Air matanya jatuh di pipi Kinara yang dingin. “Maafkan aku…” “Maafkan aku…” Suara itu pecah. Penuh sesak. Penuh luka. Di tengah malam yang membeku itu, Vin hanya bisa memeluk tubuh yang ia hancurkan dengan tangannya sendiri—takut kehilangan, takut terlambat, takut hari ini adalah hari di mana Kinara berhenti bernapas. [‘Jika aku mati, aku akan selalu mencintaimu, Vin…’ Suara itu lirih, bergetar—seperti sehelai napas terakhir yang menempel di udara. ‘Jika kita tak bisa bersama di kehidupan saat ini… aku akan menunggumu di kehidupan berikutnya.’ Kata-kata itu jatuh pelan, namun terasa seperti pisau yang menembus sampai ke tulang. Mata Kinara berkaca-kaca saat mengucapkannya, seolah ia sudah tahu bahwa kebahagiaan yang ia inginkan… bukan untuk dirinya di dunia ini.] Vin terisak pelan. Tangis yang ia tahan selama bertahun-tahun akhirnya pecah di tengah keheningan ruang bawah tanah itu. Ia memeluk tubuh Kinara lebih erat, seolah jika ia mengendurkan sedikit saja… wanita itu akan lenyap dari dunia. Sakit. Bukan hanya sakit—tapi seperti tulang dadanya retak dari dalam. Vin memejamkan mata, membenci dirinya sendiri lebih dari siapa pun di dunia ini. Ia menunduk, memandangi wajah Kinara yang masih terlelap, pucat, hampir tanpa warna. Bibir itu membiru, dingin… Padahal bibir yang sama itu pernah tersenyum hanya untuknya. Pernah memanggil namanya dengan lembut. Pernah menjadi alasan ia percaya pada cinta. Vin menahan napas, lalu mencondongkan tubuhnya perlahan. “Bangun, Kinara… ayo buka matamu…” bisiknya parau, suara yang retak oleh rasa takut yang tak pernah ia kenal sebelumnya. Dan ketika wanita itu tetap tak bergerak, kerinduan yang selama ini ia kubur dalam-dalam akhirnya pecah. Vin menangkup wajah pucat itu, lalu mengecup bibirnya—pelan, lama, hampir seperti doa yang ia hembuskan langsung ke tubuh Kinara. Ciuman itu bukan ciuman nafsu. Bukan pula ciuman seorang suami yang menginginkan istrinya. Ciuman itu adalah rintihan seorang pria yang hampir kehilangan satu-satunya cinta yang pernah ia miliki… dan hancurkan dengan tangannya sendiri. Vin menyusuri garis rahang Kinara dengan jemarinya, gemetar. Ia membelai tubuh itu, mencoba menghangatkannya dengan seluruh kehangatan yang ia punya. “Aku bodoh…” desahnya di antara helaan napas. “Aku menyakitimu… aku menghancurkanmu… tapi tolong… jangan tinggalkan aku, Kinara…” Tangannya menyelimuti tubuh Kinara, menariknya lebih dekat ke dadanya. Setiap kali detak jantung Kinara terdengar lemah, d**a Vin tercabik semakin dalam. Ia membenamkan wajahnya ke leher Kinara, mencium kulit yang masih dingin. Mengingat setiap kenangan mereka—tawa, janji, kebodohan, cinta yang ia buang. “Aku… aku menginginkanmu…” suaranya pecah. “Bukan cuma tubuhmu… tapi seluruh dirimu… semua yang pernah kau beri padaku… semua yang dulu kubuang…” Pelan, jemarinya menyapu pipi Kinara, turun ke bahunya, memastikan wanita itu masih ada. Masih hidup. Masih bisa kembali jika ia memohon cukup keras pada takdir. Di depan pintu, Amora berhenti. Wanita tua itu menutup mulutnya, menahan tangis ketika melihat Vin memeluk Kinara seolah dunia akan runtuh jika ia melepaskannya. Amora mengalihkan pandangannya—ia tak sanggup menjadi saksi. Di balik pintu yang menutup perlahan, hanya ada seorang pria yang mencintai terlalu terlambat… dan seorang wanita yang hampir kehilangan nyawanya karena cinta yang terlalu dalam.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD