Vin duduk di sisi ranjang, tatapannya tidak pernah lepas dari wajah Hana yang tertidur pulas.
Wajah malaikat itu tampak begitu damai—
kelopak matanya tertutup sempurna, seolah dunia tidak pernah menyakitinya.
Napas Hana teratur, naik turun dengan ritme yang menenangkan.
Di bibir tipis yang begitu Vin hafal bentuknya, ada seulas senyum kecil…
seolah Hana sedang bermimpi tentang sesuatu yang indah.
Atau seseorang yang ia cintai.
Vin mengangkat tangan, membelai surai lembut Hana.
Sentuhannya pelan, penuh hati-hati, seperti ia menyentuh sesuatu yang rapuh namun paling berharga di dunia.
Senyum penuh perasaan terbit di bibirnya.
Senyum yang hanya dimiliki Hana.
Senyum yang tidak pernah ia berikan kepada siapa pun.
Dalam keheningan kamar itu, Vin mengingat kembali bagaimana ia pertama kali bertemu Hana—
sebuah pertemuan yang tidak pernah ia bayangkan,
tidak pernah ia rencanakan,
namun mengikat hidupnya lebih kuat dari takdir mana pun.
Pertemuan yang mengubahnya.
Pertemuan yang membuatnya jatuh.
Pertemuan yang membuatnya percaya bahwa cinta bisa menyelamatkan…
atau menghancurkan.
[Malam itu, Vin datang ke pesta yang digelar oleh sahabat baiknya.
Wajahnya dingin, langkahnya malas.
Ia kesal—pernikahan kakaknya terlalu lama, dan ia masih punya satu jam untuk melampiaskan kekesalan yang menumpuk sejak kepergian Kinara.
Kepergian itu telah mengubahnya menjadi seseorang yang tidak lagi memiliki hati.
Pria berhati dingin.
Pria yang tak segan menghancurkan apa pun yang menyakitinya.
Pria yang tak lagi mengenal ampun.
Begitu memasuki ruangan remang itu, pandangan Vin langsung tertarik pada sosok Julian yang berdiri sambil menatap seorang wanita yang terikat di atas sebuah kursi.
‘Julian…’ panggil Vin datar.
Julian melambaikan tangan, lalu berjalan mendekat dengan senyum sinis seperti biasa—senyum seorang pria yang selalu menyembunyikan kebusukan di balik wajah tampannya.
‘Kau datang? Kukira kau akan menghadiri pernikahan Dami,’ ucap Julian sambil menepuk bahu Vin.
‘Aku masih punya waktu satu jam,’ jawab Vin pendek, matanya menyipit menatap sahabatnya itu—Julian Perez.
Tatapan Vin kemudian jatuh pada wanita yang terikat di kursi.
Hana.
Tubuhnya terpasung, tangan dan kaki diikat erat, kulit putihnya kebiruan karena dingin dan ketakutan.
‘Bukankah dia kekasihmu?’ tanya Vin, alisnya terangkat.
Tentu saja ia tahu Hana—wanita yang sering ditiduri Julian, wanita yang dikenal sebagai permainan tetapnya.
Namun pemandangan malam ini… berbeda.
Terikat?
Dipertontonkan?
Julian menyeringai puas.
‘Aku senang kau kemari, Vin. Kau akan melihat pertunjukan menarik.’
Vin mengangguk kecil dan duduk.
Baginya, malam itu tidak ada bedanya.
Wanita yang terikat itu—meski cantik—tidak menggugah apa pun dalam dirinya.
Nafsu? Mati.
Emosi? Mati.
Hatinnya—sudah mati sejak Kinara pergi.
Julian menyodorkan segelas vodka pada Vin.
‘Minumlah. Malam ini aku akan melakukan lelang,’ ucap Julian santai.
‘Lelang?’
Vin menyesap vodka itu.
‘Melelang lukisanmu akan lebih berguna.’
Julian tertawa kecil.
Tawa yang terdengar busuk, penuh kesenangan gelap.
‘Aku akan melelang Hana.’
UHUK!
Vin terbatuk keras.
Vodka hampir keluar dari mulutnya.
Ia menatap Julian, matanya menyipit tak percaya.
‘Apa?’
Satu kata itu jatuh pelan namun penuh kemarahan tertahan—karena bahkan Vin, dengan hatinya yang dingin dan kosong, tidak pernah membayangkan seseorang akan melelang manusia.
Apalagi seseorang yang dulu pernah dicintai seseorang lain dengan begitu tulus.]
Vin tersentak keluar dari lamunannya ketika suara ketukan pelan terdengar dari balik pintu kamar.
Ia segera bangkit.
Refleks.
Ia tidak ingin Hana terbangun—wanita itu selalu sulit tidur jika terjaga di tengah malam.
Ceklek…
Pintu terbuka.
Seorang pelayan berdiri di ambang pintu.
Amora.
Pelayan pribadi Kinara.
Wajahnya pucat.
Air matanya mengalir tanpa kendali, jatuh satu per satu seperti butiran kaca yang retak di lantai marmer.
“Tu–tuan…” suaranya bergetar.
Ia langsung meraih lengan Vin, menariknya dengan panik seakan-akan sedang berhadapan dengan kematian.
“Ada apa ini, Amora!” bentak Vin, suaranya bergema tajam di lorong.
Mereka hampir mencapai tangga ketika Amora akhirnya terisak.
“Ny–Nyonya… Nyonya Kinara… dia, dia—”
Vin menatapnya penuh amarah.
Apa sekarang?
Apa Kinara mengutus pelayannya hanya untuk membuat kekacauan tengah malam?
Tidak adakah batas kebodohan yang bisa gadis itu capai?
“Katakan dengan jelas!” suaranya meninggi, dingin dan tajam.
Amora menelan ludah, air matanya jatuh semakin deras.
“Pintu ruangan Nyonya Kinara… terkunci sejak sore tadi, Tuan.”
Suaranya pecah.
“Dan… dan dia tidak menjawab satu pun panggilan saya…”
Vin terdiam.
Ada sesuatu yang salah.
Sangat salah.
Ia mengenal Kinara.
Gadis itu tidak pernah tahan sendirian lama-lama.
Setiap kali pulang menemani Hana, ia selalu memanggil Amora—selalu—untuk menemaninya, setidaknya sampai ia tertidur.
Tapi malam ini…
Hening.
Terkunci.
Tidak menjawab.
Dada Vin tiba-tiba mengencang, sebuah firasat gelap menusuk seperti benda tajam tepat di antara rusuknya.
Sesuatu terjadi.
Dan itu bukan hal kecil.