KINARA DAN LUKA

1138 Words
Melepaskan sesuatu yang harusnya kau lindungi. Melepaskan seseorang yang harusnya kau miliki. Melepaskan pria yang seharusnya kau peluk dengan erat dan kau genggam selamanya. Menyakitkan, bukan? Tidak—ini bukan sekadar menyakitkan. Rasa ini jauh lebih perih daripada saat malaikat maut mencabut nyawamu. Karena kematian memberi akhir… Sedangkan cinta yang patah membuatmu hidup sambil terkoyak sedikit demi sedikit. Kinara berlutut di bawah pancuran air kamar mandinya, tubuhnya membungkuk, bahunya bergetar hebat. Air hangat dan air mata bercampur, membasahi wajahnya, namun tak ada yang bisa meredakan perih di dadanya. Ia memukul dadanya keras—berulang, dan berulang. Seakan berharap tulangnya akan retak, seakan berharap rasa sakit fisik bisa menutupi pedih yang merobek jantungnya. Namun semuanya sia-sia. Sakit itu tumbuh, merayap, menjalar… Melewati rongga dadanya, menembus jantungnya, memamah seluruh dirinya tanpa ampun. Bagian dalam hatinya seperti pecah—retak, berlubang, berdenyut tanpa henti. Bagai ada tangan tak terlihat yang meremasnya dengan kejam. Kinara meraung. Suara yang pecah, parau, dan menyayat. Tangisan yang tidak ada harganya bagi siapa pun kecuali dirinya sendiri. Cinta… Apakah selalu sesadis ini? Apakah perasaan itu selalu mengajarkan bahwa kau harus hancur untuk membuktikan betapa dalam kau mencintai? Kenyataan demi kenyataan menghantam hidupnya seperti gelombang yang tidak mengenal belas kasihan. Setiap hari, setiap menit, setiap detik. Kadang, kematian terasa seperti pilihan yang lebih lembut. Pilihan yang bisa mengakhiri semuanya. Semua rasa sesak, semua penantian, semua harapan yang dipatahkan sebelum sempat bertunas. Kinara menatap cermin kamar mandi dengan mata kosong—mata yang seolah kehilangan cahaya, kehilangan arah, kehilangan alasan untuk tetap hidup. Perlahan ia berdiri, tubuhnya lemas, namun ia memaksa melangkah menuju bathtub. Dengan tangan yang gemetar, ia menekan tombol biru. Air dingin mengalir dan memenuhi bathtub, menimbulkan suara yang terdengar begitu jauh—seperti dunia sudah tidak peduli lagi padanya. Ia berbaring di dalamnya. Air naik perlahan, menyentuh kulitnya, merayap ke seluruh tubuhnya. Dingin itu menikam… menusuk… sampai tulangnya terasa membeku. Tapi rasa dingin itu tidak ada apa-apanya dibandingkan rasa dingin di hatinya. Ia memejamkan mata. Membiarkan air mengelus tubuhnya, membiarkan dirinya tenggelam dalam diam. Kini pikirannya melayang kembali ke masa itu… Masa ketika ia memutuskan pergi ke luar negeri. Meninggalkan rumah, meninggalkan Indonesia, meninggalkan segalanya—hanya demi bertahan hidup. Bukan untuk dirinya. Tapi untuk cinta. Untuk seorang pria bernama Vin Mandala. Pria yang ia cintai sampai dirinya sendiri hancur berkeping-keping. Pria yang ia ikhlaskan seluruh jiwanya… bahkan ketika pria itu tak pernah benar-benar kembali padanya. Dan kini, di dalam bathtub penuh air dingin, Kinara membiarkan dirinya merasakan apa pun yang tersisa— baik itu dingin, sakit, atau bahkan… keinginan menyerah yang semakin lama semakin kuat. ‘Vin…’ Nama itu lolos dari hatinya seperti pecahan napas yang patah. Kinara kembali menangis, tubuhnya bergetar hebat di dalam dinginnya air. Ia meremas d**a kirinya, seolah mencoba mencabut rasa sakit yang sudah menancap terlalu lama. ‘Vin… kenapa…’ Suara batin itu lirih, penuh getaran putus asa. Ia membenci hidupnya. Membenci dirinya sendiri. Membenci kenyataan bahwa ia pernah begitu mencintai seseorang hingga lupa bagaimana caranya bernapas tanpa rasa sakit. Dan lebih dari semuanya— Ia membenci masa lalu. Masa lalu yang mencuri kebahagiaan mereka. Masa lalu yang memisahkan dirinya dari pria yang ia perjuangkan dengan seluruh hidupnya. Masa lalu yang membuatnya kembali hanya untuk menemukan… tak ada lagi tempat untuknya di hati Vin Mandala. Wanitanya kini hanya bisa menggenggam duka, merintih dalam kesepian. Karena cinta yang dulu begitu indah… kini tinggal menjadi luka yang tak bisa ia hentikan. [‘Kinara… kau harus pergi ke Amerika. Ini demi dirimu, demi hidupmu, dan demi masa depanmu bersama Vin.’ Suara Tuan Wijaya terdengar bergetar, meski ia berusaha tampak tegar. Ia berdiri di hadapan putrinya seperti pria yang sudah kehabisan pilihan, memohon dengan mata seorang ayah yang takut kehilangan anak satu-satunya. ‘Ayah! Aku tidak bisa meninggalkan Vin!’ Kinara menggeleng kuat. Tubuhnya goyah, namun tekadnya terasa kukuh—atau setidaknya itulah yang ia coba tunjukkan. Ia tidak mau jauh dari pria itu, tidak mau kehilangan satu-satunya orang yang membuatnya ingin hidup. ‘Kinara… dengarkan Ayah.’ Tuan Wijaya mendekat, memegang kedua bahunya. Suara pria itu pecah. ‘Apa kau ingin MENINGGALKANNYA dengan kematianmu? Apa kau ingin Vin menangisimu seumur hidupnya?!’ DEG!!! Kata-kata itu menghantam keras—begitu keras hingga seluruh dunia Kinara seperti runtuh di bawah kakinya. Kinara menatap ayahnya dengan mata yang membesar. Wajah pria yang sudah menua itu tampak hancur. Hancur karena ketakutan. Hancur karena harus memaksa putrinya pergi, padahal ia tahu putrinya akan patah karenanya. ‘Ayah… aku akan terus hidup.’ Suara Kinara bergetar, setengah yakin, setengah memohon agar kata-katanya sendiri menjadi kenyataan. ‘Hidup?’ Tuan Wijaya menghela napas panjang, menyeka sudut matanya yang mulai basah. ‘Iya, kau akan hidup. Tapi hanya jika kau menuruti permintaan Ayah dan Ibu. Kau akan hidup… jika kau berjuang, Nak.’ Kinara menelan ludah. Kata-kata itu masuk… tapi tidak mengisi apa pun, hanya membuat dadanya semakin penuh. Pergi berarti menjauh dari Vin. Tinggal berarti menunggu kematian. Tidak ada pilihan yang tidak menyakitkan. Tidak ada pilihan yang tidak membuatnya merasa seperti sedang mencekik lehernya sendiri dengan rantai panas. Kinara menutup mata. Air mata mengalir tanpa bisa ia tahan. ‘Aku… aku…’ Suaranya pecah. Hatinya seperti dikoyak. ‘Tapi jangan…’ Kinara membuka mata pelan. Memandang ayahnya dengan tatapan penuh permohonan, penuh rasa takut. ‘Jangan katakan pada Vin ke mana aku pergi. Jangan bilang dia… jangan bilang dia kalau aku sakit-sakitan.’ Tuan Wijaya terdiam lama sebelum akhirnya mengangguk perlahan. Anggukan yang terasa seperti mengubur putrinya hidup-hidup. Kinara menunduk, memalingkan wajah karena tak sanggup menatap ayahnya lebih lama. Ia merasa bersalah. Merasa jahat. Merasa seperti pengkhianat untuk meninggalkan pria yang paling ia cintai. Namun paling menyakitkan dari semuanya… Ia hanya bisa berdoa dalam hati— berharap bahwa keputusan ini tidak akan menjadi penyesalan terbesarnya. Dan pada hari itu… Kinara memilih pergi demi hidupnya. Tanpa tahu bahwa kepergiannya justru akan menghancurkan hidupnya.] Kinara membuka matanya di dalam air. Pandangan kabur itu menembus permukaan, menatap langit-langit kamar mandi yang tampak jauh dan bergetar seperti ilusi. Air dingin sepenuhnya menelan tubuhnya—dari ujung rambut hingga ujung kaki—membuat setiap napas yang ia tahan terasa berat… tetapi tetap tidak seberat rasa sesak di dadanya. Buih halus keluar dari hidungnya, melayang naik ke permukaan, pecah begitu saja. Kinara tetap diam, tetap tenggelam, tetap memandang ke atas seakan langit-langit itu adalah satu-satunya hal yang menahannya dari hancur total. Air menyusup ke telinganya, membuat dunia menjadi sunyi. Sunyi yang menyakitkan… namun tetap tak sebanding dengan sunyi di dalam hatinya. Ia tersenyum—senyum kacau yang hampir tidak terlihat karena gelombang air. Dan air mata jatuh dari sudut matanya… mengalir ke samping, bercampur dengan air di sekitarnya hingga tidak bisa dibedakan lagi. Dingin ini… sama sekali tidak menyakitkan. Tidak membuatnya merasa apa-apa. Hanya hatinya yang terasa perih— lebih dingin, lebih kosong, lebih terluka daripada tubuh yang tengah direndam air. Jika air bisa membekukan tubuhnya, maka cinta telah membekukan hatinya jauh lebih dulu.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD