Hari ini sama seperti hari-hari sebelumnya. Pagi tanpa warna. Pagi tanpa suara.
Kinara membuka mata perlahan, memandangi langit-langit putih kamarnya yang terasa semakin menekan setiap harinya. Dulu, ia selalu bangun dengan senyuman—menantikan pesan pagi dari sahabatnya, menantikan suara tawa yang dulu pernah akrab. Tapi kini, yang tersisa hanya sepi yang menggerogoti ruang kecil tempat ia menumpuk sisa-sisa harapannya.
Dulu, setiap pagi mereka selalu bertegur sapa. Menyapa dengan candaan kecil, bertukar rencana harian, atau sekadar menyampaikan selamat pagi dengan tatapan yang hangat.
Sekarang?
Kenangan itu tak lebih dari bayangan kabur yang menggantung di udara—sebuah angin kosong yang berputar-putar tanpa pernah menyentuh lagi.
Kinara sadar, cintanya pada Vin hanyalah jalan yang menuntunnya menuju kehancuran.
Cinta itu tak menghasilkan apa pun selain luka.
Selain penolakan.
Selain jarak yang terus melebar tanpa pernah bisa ia jangkau.
Ia duduk perlahan di tepi ranjang besar yang tampak terlalu luas untuk orang yang tidur sendirian setiap malam. Seprai putih itu selalu rapi, kecuali bagian di mana tubuhnya berbaring—sebuah tanda kecil bahwa hidupnya hanya menempati setengah ruang, atau bahkan kurang.
“Ck…” desahnya lirih.
Rasanya semua yang ia jalani salah.
Ruangan besar itu terasa sesak.
Dadanya terasa penuh.
Dan hatinya seolah kehilangan tempat untuk pulang.
Lalu melintas ucapan itu—ucapan yang jatuh dari bibir Vin seperti palu yang menghancurkan sisa-sisa keberaniannya.
'Kau memang memiliki ragaku, tapi hatiku tak akan pernah menjadi milikmu.'
Matanya memanas, dadanya terasa diremas dari dalam.
Kinara menutup wajah dengan kedua tangan. Bahunya bergetar.
“Aku merindukan sesuatu yang tak boleh kurindukan…” suaranya pecah.
“Aku mencintai seseorang yang tak pernah bisa kumiliki… apa itu salah?”
Senyum pahitnya terbelah menjadi tangis. Tangis yang lirih, seolah ia takut menangisinya terlalu keras. Tangis seorang wanita yang mencintai dengan bodoh, dibalas dengan benci, dan tetap bertahan meski hatinya terinjak-injak.
---
Sementara itu, di lantai atas, pagi terasa berbeda.
Vin baru saja membuka mata. Cahaya matahari menelusup melalui celah kecil antara tirai putih dan tirai coklat pekat yang sedikit terbuka. Sinar itu memantul di kulitnya, memberi bayangan lembut pada wajah pria yang tampak damai untuk pertama kalinya hari itu.
Di dalam dekapannya, ada gerakan kecil. Lengan seorang wanita merangkul pinggangnya, tubuh mungilnya menempel erat seperti enggan dilepaskan.
Wanita itu menggumam pelan, memeluknya semakin erat.
Vin tersenyum—senyum yang tidak pernah dilihat Kinara lagi.
Hana.
Wanita yang ia nikahi diam-diam setahun lalu di sebuah gereja kecil di Bandung.
Wanita sederhana dengan hati lembut, yang mampu membuat pria sekeras Vin Mandala berlutut pada cinta untuk pertama kalinya.
Hana membuka matanya. Pandangannya kosong—seperti kaca tanpa cahaya. Tapi bibirnya tersenyum, seolah dunia tetap berwarna.
“Selamat pagi, peri kecilku,” ucap Vin, mengecup kening Hana lembut.
Hana meraba wajahnya perlahan. Jemarinya menyentuh hidung Vin, menyusuri bibirnya yang tersenyum, lalu berhenti di kelopak mata pria itu.
“Selamat pagi, pangeranku,” katanya manis. “Senyummu terasa indah. Aku selalu bisa merasakannya.”
Vin memegang tangan Hana—tangan yang tak pernah melihat, tetapi selalu mampu meraba hatinya.
“Seperti biasa,” ucapnya lembut, “aku akan membantumu mandi, mengganti pakaian, lalu menyuapimu sebelum aku bekerja.”
Vin membelai pipi Hana dengan ibu jarinya.
Ia melakukan semua itu setiap hari.
Dengan cinta yang penuh.
Dengan sabar yang tak pernah habis.
Karena Hana adalah rumahnya.
Dan ia tak ingin wanita itu merasa kurang sekali pun.
“Hari ini aku mungkin pulang agak malam,” lanjutnya. “Aku akan meminta Diana dan Jessica datang menemuimu.”
“Baik,” Hana tersenyum kecil. “Doaku menyertaimu. Aku mencintaimu.”
Vin menatapnya dengan mata yang benar-benar lembut.
“Aku juga mencintaimu. Sangat.”
Ia mengangkat tubuh Hana dengan pelukan erat, membawanya menuju kamar mandi. Hana melingkarkan tangan di leher Vin, bibirnya tersenyum damai.
Dua dunia.
Dua cinta.
Dua hidup yang tidak pernah bersinggungan.
Yang satu dipenuhi cahaya.
Yang satu dipenuhi gelap.
---
Kinara selesai mandi. Rambutnya yang masih basah menempel di bahu ketika ia meraih buku favoritnya. Ruang bawah tanah itu adalah satu-satunya tempat yang masih membuatnya merasa seperti dirinya sendiri.
Ruangan itu luas, sunyi, dan rapi.
Dinding putih bersih, rak buku coklat tua memenuhi sisi kanan ruangan. Setiap buku disusun begitu rapi—sebagai bukti bahwa walau jiwanya retak, ia masih mencoba mempertahankan ketertiban kecil dalam dunianya.
Ranjang besar dengan tiang tinggi berselimut tirai sutra putih berdiri megah di tengah ruangan. Di sampingnya, sofa lembut berwarna krem dan meja baca kecil dengan lampu temaram menciptakan sudut hangat yang menjadi tempat Kinara melarikan diri dari kenyataan.
Di sudut lain, mini bar berdiri dengan rak kaca berisi wine mahal dan minuman dari berbagai negara—sisa kebiasaan lamanya.
Kadang dia menatap botol-botol itu lama… tapi tidak pernah menyentuhnya lagi.
Televisi besar terpampang di dinding, memberi kesan ruang apartemen mewah, sementara kamar mandi besar tersambung langsung di sisi kiri—dengan bathtub marmer dan lampu neon hangat seperti kamar hotel berbintang.
Namun bagian favoritnya adalah taman kecil di balik pintu kaca.
Atapnya terbuat dari kaca tebal, memungkinkan sinar matahari masuk dan menghangatkan kulitnya meski ia tinggal di bawah tanah.
Taman itu memberi ilusi kebebasan.
Padahal kenyataannya, ia tidak pernah boleh keluar.
Kecuali Vin memintanya.
Ia membuka lemari kayu panjang dekat perapian kecil yang selalu ia nyalakan di malam hari ketika dingin menampar tulang.
Deretan pakaian mahal tersusun rapi di dalamnya. Gaun, kemeja, mantel elegan—semua pilihan yang ia sendiri tidak pernah meminta.
Kinara menyentuh salah satu gaun itu.
Kainnya halus.
Cantik.
Namun dingin di tangannya.
“Aku tinggal di mansion seperti istana…” bisiknya, suaranya pecah.
“…tapi tanpa cinta… tanpa tempat… dan tanpa pengakuan dari suamiku.”
Air mata jatuh lagi—sunyi, berat, seperti hujan pertama setelah musim kering.
Dadanya terasa penuh.
Kenyataan menyedihkan itu terus menghantamnya tanpa henti.
“Mengapa kau tidak bisa mencintaiku… walau hanya sekali… hanya satu hari saja…”
Tangis itu akhirnya pecah—lebih keras dari biasanya.
Namun ruangan itu terlalu besar, terlalu dingin, untuk menjawabnya.
Kinara menangis sendirian.
Di istana yang tidak pernah terasa seperti rumah.
Di dalam cinta yang tak pernah dianggap ada.
Dan ia tetap bertahan—meski yang ia dapatkan hanyalah luka yang tidak pernah sembuh.