CINTA ITU... MENYAKITKAN

957 Words
Kinara duduk tenang di sofa putih besar yang menjadi satu-satunya tempat ia merasa bisa bernapas. Bilik kamarnya sepi—terlalu sepi hingga suara detak jam dinding terdengar seperti gema yang memantul di dinding ruangan. Cahaya dari televisi menyorot lembut wajah pucatnya, menampilkan sosok pria yang tersenyum di layar… pria yang ia panggil suami meski tak pernah mengakuinya. Setiap kali Vin muncul di televisi—di berita bisnis, wawancara perusahaan, atau dokumenter singkat—bibir Kinara terangkat membentuk senyum tipis. Senyum yang tidak pernah benar-benar bahagia, namun sudah menjadi satu-satunya cara untuk mengingat bahwa ia pernah mencintai pria itu tanpa rasa takut. Sudah satu bulan sejak pernikahan mereka. Namun rumah itu tetap dingin. Pria itu tetap dingin. Dan hubungan mereka tetap terasa seperti dua kutub yang dipaksa bersentuhan. Ketukan pelan terdengar dari pintu. Kinara mengerjap, kembali ke kenyataan. Ia mematikan televisi—seakan mematikan sedikit cahaya yang tadi menemani. “Masuk,” ucapnya pelan. Pintu besar terbuka, memperlihatkan pelayan paruh baya yang ia kenal baik. Wanita itu membungkuk hormat, tatapannya tak bisa menyembunyikan ketegangan. “Nyonya… Tuan menunggu Anda di meja makan.” Kinara menatapnya tak percaya. “Kau tidak bercanda?” “Saya tidak berani bercanda soal ini, Nyonya. Saya baru saja berpapasan dengan Tuan.” Keheningan menelusup masuk. Hanya ada suara napas Kinara yang tiba-tiba terasa lebih berat. “Baiklah… terima kasih.” Pelayan itu tersenyum iba sebelum menutup pintu. Begitu pintu kembali tertutup, senyum tipis di wajah Kinara luruh perlahan. Ia berdiri, merapikan gaun santai yang sedikit kusut, lalu mengikat rambutnya dengan jari yang bergetar halus. Lorong remang-remang menuju tangga utama terasa lebih panjang dari biasanya. Setiap langkah memantulkan bunyi ringan—bunyi yang mengingatkannya bahwa ia tinggal di bawah tanah. Di ruangan luas yang nyaman… namun tetap penjara tanpa kunci. Kadang ia lupa bahwa di atas sana, dunia bergerak. Kadang ia lupa bahwa ia punya hak untuk bernapas seperti manusia biasa. Dan kadang… ia lupa bahwa 'suami' yang ia panggil suami, tak pernah memanggilnya istri. Suami? Hanya Kinara yang percaya dengan kata itu. --- Vin duduk di meja makan panjang berlapis kaca, tampak elegan namun suram. Tangannya memutar gelas wine, wajahnya menyiratkan kejengkelan yang ia tidak berusaha sembunyikan. Napasnya terdengar berat—seolah menahan sesuatu yang ingin meledak. Saat Kinara muncul di ambang pintu, mata Vin langsung menajam. Sorot yang membuat lutut Kinara melemah. “Apa kau pikir aku punya banyak waktu untuk menunggumu, Nona Wijaya?” suaranya dingin, datar, tanpa sedikit pun rasa hormat. Gelas di tangannya ia lemparkan begitu saja. Prang! Suara pecahannya menggema, beberapa serpihan kaca meluncur sampai hampir menyentuh ujung gaun Kinara. Wanita itu hanya terpaku, menatap lantai seakan lantai punya jawabannya. “Maaf… aku terlambat,” ucap Kinara, hampir berbisik. “Lupakan.” Vin bersandar santai, seolah kejadian barusan tidak berarti apa-apa. “Besok sore bersiaplah. Ibu ingin aku membawamu makan malam bersama keluarga.” Kinara menelan ludah. Setiap kata ‘keluarga’ terasa seperti beban yang beratnya menekan tulang rusuknya. “Apakah… ayah dan ibuku juga hadir?” tanyanya ragu. “Tentu.” Nada itu dingin. Tidak ada satu milimeter pun kelembutan. Vin berjalan melewatinya tanpa menoleh, meninggalkan aroma wine dan parfum mahal yang menguap bersama kepergiannya. Tatapan Kinara mengikuti punggung pria itu… punggung yang dulu pernah membuatnya merasa aman. Kini punggung itu adalah dinding yang tak bisa ia tembus. Begitu Vin berlalu, pelayan pribadinya datang tergesa-gesa, membungkuk sambil memunguti pecahan kaca. “Nyonya, Anda sebaiknya kembali ke kamar. Saya khawatir Anda—” “Bisakah… malam ini kau menemaniku?” suara Kinara pecah samar. “Tentu. Saya di sini untuk Anda,” jawab pelayan itu lembut. Kinara mengangguk, lalu berjalan pergi. Setiap langkah terasa lebih berat, seperti jiwanya ikut terseret memori buruk. Perlakuan Vin tak pernah berubah. Manis hanya di depan orang lain. Namun begitu pintu tertutup… yang tersisa hanya makian, bentakan, dan luka-luka yang tidak bisa ia bicarakan kepada siapa pun. --- Di sisi lain mansion, di sebuah kamar hangat yang penuh cahaya… kehidupan berbeda sedang berlangsung. Hana duduk sambil tersenyum, jemari mungilnya menggenggam tangan pria di depannya—pria yang duduk begitu dekat seolah dunia hanya milik mereka berdua. “Hana, bagaimana kabarmu hari ini, sayang?” suara pria itu lembut, seperti lagu yang menenangkan hati. “Aku baik, suamiku. Karena kaulah yang membuatku merasa dicintai,” jawab Hana sambil tersenyum. Hana tidak bisa melihat. Pandangan matanya kosong. Namun setiap nada suara pria itu, setiap sentuhan, setiap helaan napasnya… cukup untuk membuat dunianya terasa cerah. “Maaf aku terlambat. Banyak pekerjaan,” ucap pria itu. Hana tersenyum kecil. “Tidak apa-apa. Kau bekerja untuk masa depan kita.” “Kau istri terbaik,” bisik pria itu sambil mencium tangan Hana. Ia bersandar di pangkuannya. Hana membelai rambutnya dengan hati-hati. “Aku merindukan wajahmu,” bisiknya lirih. “Andai aku bisa melihatmu lagi…” Pria itu mengangkat wajahnya, menatap tepat ke mata Hana yang hampa namun bersinar. “Kau tak melihat wajahku,” ujarnya, “tapi aku selalu melihatmu. Dan hanya kaulah yang membuat hidupku berarti.” Airmata Hana menetes. Pria itu menghapusnya pelan, seolah setiap tetesnya adalah luka yang ingin ia sembuhkan. “Jangan menangis. Tangismu… nerakaku.” Ia mengecup kelopak mata Hana, lalu bibirnya—ciuman singkat penuh cinta. “Aku berjanji,” katanya lirih, “aku akan menemukan donor mata untukmu. Dan jika saat itu tiba… aku akan membawa dunia untukmu.” “Aku akan menunggu,” bisik Hana. Mereka saling berpelukan—erat, penuh kehangatan. Di ruangan kecil itu, dunia terasa aman. Dua pernikahan. Dua wanita. Dua kehidupan. Dua cinta yang sama sekali tidak sama. Satu hidup dipenjara dalam cinta yang tak dibalas. Satu hidup disembah oleh cinta yang begitu dalam. Dunia memang tidak adil. Dan Kinara belum tahu… bahwa takdir sedang menyiapkan luka yang jauh lebih besar dari yang sudah ia jalani.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD