Saat dua manusia memutuskan untuk menikah, bukankah itu seharusnya menjadi komitmen paling indah? Dua hati yang saling memilih, saling mencintai, lalu bersatu dengan janji yang diucapkan di hadapan Tuhan dan keluarga.
Tapi apa jadinya bila seluruh keindahan itu hanyalah topeng? Sebuah paksaan yang dibungkus pesta megah dan senyuman palsu?
Vin Mandala—pria mapan dengan wajah rupawan yang dipuja kalangan elite Jakarta—menerjang turun dari Rolls-Royce Coachbuild hitamnya. Pintu mobil dibanting begitu keras hingga terdengar menggema di antara pilar-pilar putih mansion megah yang berdiri angkuh di hadapannya. Malam itu angin Jakarta tidak mampu menurunkan amarah yang dididih oleh rasa tekanan dan kebencian.
Tuxedo putih yang ia kenakan terlihat kacau; dasi sutra yang tadinya rapi kini terjuntai, kusut setelah ia merenggutnya seperti ingin mencekik sesuatu… atau seseorang. Matanya tajam, sedingin mata elang yang siap mengoyak mangsa.
Di belakangnya, seorang wanita turun perlahan dari mobil yang sama. Gaunnya terlalu panjang, terlalu berat, dan terlalu mewah untuk langkah yang terseret ketakutan.
Kinara Wijaya—kini bernama Kinara Mandala—menunduk dalam, berusaha menutup getar tubuhnya. Betis dan lututnya masih perih. Beberapa jam lalu, saat mereka keluar dari hotel tempat resepsi berlangsung, Vin menyeretnya begitu kasar hingga ia terjatuh berkali-kali. Luka lecetnya masih terasa panas, membakar kulit sekaligus hatinya.
Ia tidak berani menangis. Tidak berani bersuara. Tidak berani menatap pria yang kini secara hukum menjadi suaminya.
Vin menghela napasnya kasar, lalu melangkah cepat menuju pintu utama mansion, tanpa menoleh sedikit pun ke arah wanita yang kini terseok di belakangnya.
Ketika mereka memasuki ruang tamu luas dengan lantai marmer mengilap, suaranya langsung melukai ketenangan ruangan megah itu.
“Apa kau tidak bisa berjalan dengan benar? Apa aku harus selalu menunggu kebodohanmu?” bentak Vin, nada suaranya mengiris.
Kinara refleks membuka mulut. “Ma—”
“Maaf?” Vin mendekat, wajahnya hanya sejengkal dari wajah Kinara. “Itu saja?”
Kinara menunduk. Tubuhnya kecil, rapuh, seolah bisa pecah kapan saja. Takut bercampur dengan rasa hancur yang tak bisa ia bendung.
“KINARA WIJAYA! TATAP AKU SAAT AKU BICARA!”
Tangannya mencengkeram dagu Kinara dengan kasar, memaksa wanita itu mendongak. Air mata jatuh tanpa bisa ditahan, mengalir menuruni pipi pucatnya.
Vin tersenyum—senyum yang lebih mirip kemenangan daripada kebahagiaan.
“Bagus. Kau takut. Dan memang seharusnya begitu.”
Napas Kinara tercekat ketika pria itu berbicara lagi, setiap kata seperti belati yang ditarik perlahan-lahan.
“Dengar baik-baik,” ucap Vin, suaranya dingin, tenang, dan sangat menyakitkan.
“Mulai malam ini, kau memang istriku di atas kertas. Tapi bagiku… kau bukan siapa-siapa.”
Kinara menutup mata, menahan sesak yang menghujam dadanya.
“Kau hanya pajangan mahal. Hasil perjodohan yang tidak pernah kuinginkan. Jangan pernah berharap cinta. Jangan berharap perhatian. Jangan berharap apa pun.”
Ia mendekatkan wajahnya ke telinga Kinara, membisik dengan nada yang menusuk.
“Kau hanya pelampiasan emosiku. Dan pemuas kebutuhan yang tidak ada hubungannya dengan hati.”
“Hati?” Vin tertawa kecil. “Hatiku sudah dimiliki orang lain.”
Kata-kata itu meruntuhkan seluruh sisa kekuatan Kinara.
“Tempatmu? Di ruang bawah tanah mansion ini. Ruangan yang selalu gelap. Selamanya. Sampai mati.”
Tubuh Kinara akhirnya tidak tahan lagi. Ia tersungkur ke lantai marmer yang dingin—dingin yang terasa seperti merambat masuk ke tulang belulangnya.
Vin berdiri angkuh, menatap wanita itu dengan pandangan yang tidak menunjukkan sedikit pun belas kasih.
“Jangan menangis di depanku,” katanya pelan. “Tangismu tidak ada nilainya.”
Lalu ia pergi, meninggalkan Kinara yang berlutut sendirian di ruangan besar yang terasa seperti gua kosong. Air matanya jatuh tanpa suara—seperti deras hujan yang turun di tengah kota namun tak pernah terdengar dari balik kaca gedung-gedung tinggi.
Malam itu, kebahagiaan yang biasa dipuja orang ketika menyebut kata 'pernikahan' berubah menjadi penjara tanpa pintu bagi Kinara.
Cinta, rupanya, bukan hanya tentang bagaimana kau memilih seseorang.
Terkadang, cinta adalah sesuatu yang justru menghancurkanmu perlahan… tanpa pernah berhenti.
Dan di antara mencintai dan dicintai, hanya satu hal yang pasti:
Tidak semuanya pantas diperjuangkan.
Namun hati… selalu kalah oleh perasaannya sendiri.