RACUN CINTA

857 Words
Pemandangan yang menyambut Dami begitu mengejutkan. Kamar bergaya Eropa klasik, megah bak ruang seorang ratu. Vin yakin kakaknya pasti akan menyukai setiap detail kamar itu — dari ukiran pintu hingga tirai berlapis beludru, dari lampu kristal yang memantulkan cahaya lembut hingga tempat tidur besar yang nyaman. Dami melangkah masuk, meninggalkan Vin yang masih terpaku di depan pintu. Mata pria itu menatap sedih, berat, penuh rasa bersalah. Ia telah membohongi kakaknya — menutupi kebenaran demi kebenaran, menyelimuti Dami dengan kebohongan yang ia ciptakan. Dan ia tahu, kebohongan itu menambah luka pada wanita yang paling ia sayangi. Vin teringat akan masa-masa kelam kakaknya. Beberapa kali Dami mencoba mengakhiri hidupnya. Depresi yang melumpuhkan, hati yang hancur berkeping-keping karena pengkhianatan dan kekecewaan. Vin menyadari, kebahagiaan kakaknya selalu menjadi beban yang ia tanggung diam-diam. Kini, Dami menaruh harapan besar pada pernikahannya sendiri. Pernikahan itu baginya bukan sekadar acara, tapi titik akhir dari semua luka dan penantian. Tapi kenyataan begitu kejam. Calon mempelai pria yang meninggalkannya di altar, mempelai yang berlari menyelamatkan wanita lain—dan kini Vin menikahi wanita yang menjadi sumber derita kakaknya. Vin menunduk, menatap lantai. Ia tahu dirinya buruk sebagai adik, sebagai penghalang rasa sakit kakaknya. Tapi apa yang bisa ia lakukan? Hatinya telah terlalu dalam tenggelam dalam cinta, atau mungkin obsesi. Perasaan yang membutakan logika, menenggelamkan rasa bersalah, dan membuatnya terus menelan keputusan yang salah. Di balik kamar mewah ini, di balik senyum kakaknya yang tenang, Vin merasa seperti seorang sandiwara — dan ia takut, suatu hari, semua topeng itu akan jatuh. --- °°°Kau menjatuhkanku, seperti langit menjatuhkan hujan dari ketinggian yang tak terjangkau. Kau menghantamku, seperti ombak yang tak pernah lelah meretakkan karang hingga serpihannya hilang ditelan laut. Dan aku… Aku hanya diam. Diam bersama semua luka yang kau titipkan di tubuh dan hatiku. Aku hanya bisa bertahan—tanpa bergerak, tanpa bersuara—seperti patung yang diciptakan hanya untuk menerima tamparan waktu dan kepedihan. Aku bodoh karena mencintaimu. Aku menjelma menjadi pecundang paling menyedihkan hanya karena hatiku memilihmu. Pernahkah kau berhenti sejenak… dan memikirkan aku? Pernahkah terlintas penyesalan kecil saja, karena telah menghancurkan seseorang yang mencintaimu tanpa batas? Aku hanya bisa berharap. Berharap setitik cahaya mampu merembes masuk ke celah paling gelap di sudut dunia tempat aku berdiri sendiri. Cahaya kecil yang bisa menembus kedalaman tempat aku tenggelam— di bawah tanah, di dalam ruang sempit hidupku— menyentuh tubuhku yang seakan terkubur oleh cinta yang kubangun sendiri. Semua ini menyakitkan. Jelas, menyakitkan. Lebih dari sekadar sakit—ini meremukkan, menghabisi, membunuh perlahan. Tapi aku tetap bertahan. Aku terus menggenggam erat mata pisau yang tajam itu, meski ujungnya menyayat kulit dan menusuk jantungku sendiri. Cinta itu membunuhku perlahan. Tapi anehnya… aku masih merasa beruntung pernah memilikinya. Betapa bodohnya aku. Bisakah aku berharap semua kembali seperti dulu? Bisakah waktu berputar mundur, berhenti tepat di detik saat kita masih saling menggenggam, saling memilih, saling mengisi, saling mencintai? Sekarang aku hanya merasa menjadi pecundang. Pecundang yang tersisa dalam kehancurannya sendiri— dan seperti sampah, aku tergeletak di tempat di mana cinta membuangku.°°° Kinara hanya diam. Matanya menatap hampa ke dinding kamar, namun seakan matanya menatap ke dalam jurang yang tak berujung. Tubuhnya kaku, jiwa yang dulu penuh gairah kini terseret dalam kegelapan yang pekat. Amora, pelayannya, berdiri di dekatnya dengan napas tertahan, takut mengusik ruang sunyi yang sudah penuh rasa sakit itu. “Nyonya, Anda harus makan,” bujuk Amora lirih, suaranya seakan pecah di antara dinding yang dingin. Kinara tak mengalihkan pandangannya, tak menanggapi. Dunia di sekitarnya telah runtuh, menelan semua kehangatan dan harapannya. Di sudut kamar, Vin berdiri. Diam, menahan sakit yang sama dengan yang dia lihat di wajah Kinara. Setiap detik melihatnya seperti mencabut hatinya sendiri, setiap helaan napas terasa seperti duri menusuk d**a. Rasa cinta masih ada, tersembunyi di sudut gelap hatinya—tapi rasa bersalah dan ego bersaing, menghancurkan ketenangan yang tersisa. Kenangan tentang tubuh Kinara, hangat dan rapuh di pelukannya, terasa menusuk. Kenikmatan itu kini seperti racun yang mendera hatinya. Dan dia sendiri yang memulai drama ini. Kebohongan yang dibuatnya, ego yang dituruti, semuanya telah menghancurkan wanita itu—wanita yang bahkan tak sempat membela dirinya sendiri. Vin teringat kata-kata Daniel, bagaimana pria itu memandang Kinara—terpesona, tergila-gila, seperti Kinara bukan miliknya tapi objek yang terlalu sempurna untuk dibagi. Dan dengan bodohnya, Vin membiarkan Daniel berada di ranjang Kinara, memeluk pinggangnya, membiarkan tubuhnya telanjang di bawah sentuhan asing. Istri. Kata itu menusuk seperti belati. Vin merasakan perutnya mual, d**a sesak, napasnya tercekat. Apa yang baru saja dia akui pada dirinya sendiri? Bahwa wanita ini bukan hanya keinginannya—tapi miliknya. Milik yang dipermainkan oleh kebodohan dan ego. Tubuhnya bergetar. Hatinya pecah berkeping. Seperti bulan yang merindukan matahari, rasanya tak mungkin mereka bersatu. Tapi gerhana terjadi—sesuatu yang tak terduga, kehadiran Kinara di dunia yang rapuh ini, membuat segala sesuatu yang ia anggap mustahil bersinggungan. Rasa cinta, rasa bersalah, penyesalan, dan kemarahan bercampur menjadi satu, seperti racun yang mengalir di urat nadinya. Tidak ada tempat untuk ketenangan, tidak ada jalan untuk mundur. Semua tergantung pada napas, pada hati yang hancur, pada jiwa yang tersiksa—dan pada wanita di depannya yang mungkin tak pernah bisa diselamatkan.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD