2. Melepas Masa Lajang

1245 Words
'Jodoh adalah kehendak Allah, jika kita sudah berusaha dan ternyata dia bukan jodohmu mungkin Allah sudah mentakdirkan kebaikan lainnya untuk kau terima.' *  *  * Pagi hari yang begitu indah dengan sinar matahari yang begitu menghangatkan kulit kini berbeda seperti hari-hari lalu yang Aira rasakan, pagi ini begitu spesial karena masa lajangnya telah usia tergantikan dengan statusnya yang baru yaitu menjadi seorang istri. Yang biasanya ia tidur sendirian dengan guling yang senantiasa menemani tidurnya, kini ada seseorang yang menempati sebelah sisi tempat tidurnya yaitu suaminya. Pipinya menghangat begitu mengingat kembali malam pertama yang ia dan suaminya lalui, bahkan sentuhan lembut dan menenangkan semalam kembali menghantui pikirannya. Begitu lembut suaminya memperlakukannya, ia seperti merasakan kasih sayang yang begitu melimpah dalam sentuhan lembut penuh kedambaan dan pemujaan dari suaminya akan tubuhnya. Harta berharga yang selama ini ia jaga telah ia serahkan untuk orang yang sangat tepat, Fahri-lah orang yang begitu beruntung mendapatkan gadis secantik dan sebaik Aira. Bahkan wanita itu dapat menjaga mahkotanya dari berbagai macam godaan yang terkadang datang sekedar menguji kekuatan imannya. Wanita yang sedari tadi termenung dengan pikirannya tersentak ketika sebuah tepukan mendarat dibahunya, dengan refleks ia membalikkan tubuhnya dan mendapati Fahri dengan wajah datarnya. Aira mengikuti arah pandang Fahri, bersegera ia mengucap istighfar dan mengangkat masakannya yang nyaris saja hangus karena keteledorannya yang sibuk memikirkan tentang malam indah itu. "Memikirkan apa sampai kamu tidak menyadari kalau masakanmu nyaris saja hangus?" Tanya Fahri membuat wajah Aira merah padam, ia begitu malu karena kepergok suaminya disaat ia tengah memikirkan pria itu. "A-ah bukan apa-apa Mas.." Aira berkilah dengan gugupnya membuat Fahri hanya menggeleng dan mengambil gelas disamping Aira, mengisinya dengan air putih dan meneguknya hingga tandas. Aira memasukkan masakannya  berupa nasi goreng kedalam mangkuk besar, hidangan simpel untuk sarapan mereka. Ia tau kalau suaminya itu tidak terbiasa memakan makanan khas Mesir, kerap kali ia mendengar cerita dari sang Ayah jika Fahri ada tugas di negara ini ia lebih memilih mencari masakan khas Indonesia yang memang dijual dibeberapa restoran. Dimeja makan telah ada Ayah Aira dan Fahri yang tengah duduk sambil bercengkrama, Aira menaruh mangkuk nasi goreng diatas meja makan. Wanita itu mengambil piring kosong dan mengisinya nasi goreng kemudian memberikannya kepada sang Ayah, meskipun ia telah menikah kewajibannya untuk melayani Ayahnya tetaplah sama tidak berkurang. Bukankah kita harus memuliakan orang yang lebih tua barulah melayani orang yang lebih muda meskipun itu adalah suaminya sendiri. "Terimakasih Nak..." Aira membalas senyuman Ayahnya seraya mengangguk kemudian mengambilkan piring kosong, mengisinya dengan nasi goreng dan memberikannya kepada suaminya lalu mengambil untuk dirinya sendiri. "Terimakasih." Fahri mengulas senyum tipisnya sambil menyuapkan nasi goreng itu kedalam mulutnya. Ia mematung sejenak merasakan sensasi rasa nasi goreng yang menggoyangkan lidahnya, meskipun nasi goreng ini mungkin sedikit hangus karena terlalu lama dimasak namun tak menghilangkan rasa enak dari nasi goreng yang istirnya masak. Bahkan ia meminta diambilkan lagi nasi goreng oleh Aira membuat wanita itu tersenyum senang karena suaminya yang ternyata menyukai masakannya, ah sungguh bahagia rasanya jika ternyata suami kita menyukai apa yang kita masak. Meskipun ia tidak mendapatkan pujian itu langsung dari mulut suaminya namun ia mengerti dengan suaminya yang lahap memakan masakannya menandakan bahwa masakannya kali ini sangatlah enak, untung saja masakannya tadi tidak jadi hangus. Jika saja hangus ia harus menelan rasa kecewa karena tidak dapat menghidangkan masakan pertamanya sebagai seorang istri. "Fahri, jadi kamu akan membawa Aira ke Indonesia kapan?" Tanya Ayah ketika mereka telah menyelesaikan sarapan. "Mungkin dua bulan lagi Ayah, sementara waktu kami akan berada disini. Saya harus mencari tau siapa yang menggelapkan uang perusahaan Papa saya dan menyelesaikan masalah yang ada disini terlebih dahulu. Pekerjaan saya sebagai dosen disana juga alhamdullilah sudah ada yang menggantikan, jadi saya cukup tenang berada disini menyelesaikan semua permasalahan disini." Ayah mengangguk mendengar ucapan Fahri sedangkan Aira berpikir, suaminya dilain sisi sebagai pengusaha ternyata merangkap sebagai seorang dosen. Ia cukup kagum akan pekerjaan suaminya ini. "Semoga saja permasalahannya cepat terselesaikan ya Fahri, Ayah akan membantu jika perusahaan kamu membutuhkan biaya." "Terimakasih Ayah." Ayah mengibaskan tangannya, tanda bahwa Fahri tidak perlu mengucap terimakasih padanya. "Tidak perlu berterimakasih, Papa kamu itu merupakan sahabat seperjuangan Ayah dulu. Bahkan yang mendukung Ayah saat Ayah sedang jatuh-jatuhnya saat memulai usaha, sekarangkan kamu sudah menjadi menantu Ayah yang artinya menjadi bagian dari keluarga ini. Kamu tidak perlu sungkan untuk meminta bantuan Ayah, kamu sudah Ayah anggap anak setelah pengucapan ijab kabul kemarin." Fahri mengangguk sambil tersenyum tipis, sungguh sangat baik sekali Ayah mertuanya ini. "Saya harus berangkat hari ini Ayah, ada beberapa yang harus saya urus di kantor." Fahri menyalami tangan Ayah beralih menatap Aira yang tengah tersenyum kepadanya sambil mengulurkan tangannya. "Saya berangkat ya, kamu dan Ayah hati-hati di rumah." Aira mengangguk, ia mengantarkan Fahri kedepan. "Assalamualaikum." "Waalaikumsalam." Aira tersenyum melepas kepergian suaminya dengan mobil milik Ayahnya menuju kantor pria itu, ternyata melepas masa lajang tidak seburuk yang pernah teman-temannya ceritakan selama ini. Rasanya begitu membahagiakan memiliki suami seperti Fahri, meskipun pria itu sedikit kaku dalam berbicara atau bersikap padanya. Namun ia memaklumi kecanggungan yang mereka rasakan, karena ia pun merasakan hal yang sama. "Aira.." Aira tersentak dari lamunannya ketika mendapati seorang pria berdiri dihadapannya dengan tersenyum sangat manis. "Assalamualaikum Aira..." "W-waalaikumsalam, Farhan?" Tanya Aira tak percaya akan kehadiran pria yang selama ini menjadi teman di kampusnya dulu. "Apa kabar Aira?" Sapa Farhan sambil tersenyum manis membuat Aira sedikit terpana akan senyuman itu namun segera ia tepis, sadarlah Aira bahwa kini kamu sudah menjadi istri bukan lagi wanita lajang. Alhasil Aira menundukkan pandangannya seraya menjawab. "Alhamdulillah kabarku baik Farhan, kamu sendiri apa kabar?" "Alhamdullilah kabarku juga baik Aira, ngomong-ngomong aku tidak disuruh masuk?" Aira tersentak akan ucapan Farhan. "Astaghfirullah, maaf Farhan aku lupa mengajakmu masuk. Ayo silahkan masuk, sekalian aku akan memanggil Ayah. Rasanya tidak enak jika aku hanya berbicara berdua denganmu." Farhan mengangguk dan mengikuti langkah Aira memasuki rumah. "Iya sekalian aku memang ingin bertemu dengan Ayahmu Aira, ada yang ingin aku sampaikan pada beliau dan kamu." Aira tidak mengerti apa yang diucapkan Farhan, setelah menyuruh Farhan duduk Aira memanggil Ayahnya yang mungkin kini berada di taman belakang rumah. "Apa kabar Ayah?" Farhan menyalami Ayah begitu beliau tiba. Farhan dan Ayah Aira memang lumayan akrab dari dulu hingga Ayah Aira menyuruh Farhan agar memanggilnya dengan sebutan yang sama dengan Aira yang memanggilnya, pria keturunan Arab-Indonesia itu mengulas senyum ramahnya akan kedatangan Ayah Aira. Bahkan kini ia memeluk Ayah Aira dengan hangat, tanda rindunya pada Ayah yang telah lama akrab dengannya. "Alhamdulillah, Ayah baik Farhan. Kamu apa kabar? Sudah lama Ayah tidak melihatmu lagi setelah kelulusan kalian." "Farhan baik-baik saja Ayah, maaf sudah lama tidak mengunjungi Ayah. Akhir-akhir ini Farhan sedikit sibuk mengurus toko yang Abi alihkan pada Farhan." Aira pamit untuk membuatkan minum, rasanya tidak enak saja jika ia tidak menyuguhkan apapun untuk Farhan meskipun pria itu sudah akrab dengan keluarganya. Begitu Aira kembali dan menyuguhkan dua cangkir minuman ia merasa ada kesedihan diwajah Farhan membuat ia menatap Ayahnya dan Farhan bergantian. "Jadi benar bahwa kamu kini sudah menikah Aira?" Aira mengangguk dan mengambil tempat disebelah Ayahnya. "Maafkan Ayah Nak Farhan, tidak memberitahukan kamu sebelumnya. Ayah sungguh menyesal, jika saja Ayah tau bahwa kamu ingin Aira menjadi istrimu Ayah pasti tidak akan menikahkan Fahri dan Aira." Aira tidak mengerti dengan apa yang dibicarakan Ayahnya dan Farhan tadi ketika ia pergi untuk membuatkan minuman. "Tidak apa-apa Ayah, mungkin Aira bukanlah jodoh Farhan." Farhan berusaha tersenyum meski hatinya dirundung kecewa karena wanita pujaannya kini resmi menjadi milik orang lain, lebih tepatnya kemarin. Ternyata ia terlambat dalam menyampaikan maksud baiknya ini. Kini Aira telah mengerti arah pembicaraan Ayahnya dan Farhan, untuk itulah ia menatap Farhan dengan wajah sesal penuh permintaan maafnya. Ya mungkin mereka bukanlah jodoh hingga Allah mentakdirkan Aira dan Fahri menikah, bukankah kita harus selalu berbaik sangka akan kehendak Allah untuk makhluk-Nya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD