Perjanjian

1612 Words
"Duke apa tidak ingin menemui, Viola. Dia baru sadar," ucap Duchess Lilliana seraya menaiki ranjangnya, ia duduk menyamping menghadap Duke Cristin yang memejamkan matanya, bersendekap dan menyandarkan lehernya ke bantal yang di sisi ranjangnya. "Aku tidak ada waktu menemuinya, membuang waktu ku saja," ujar Duke Cristin seraya menoleh ke samping, menatap istrinya. "Viola pasti senang, jika Duke menengoknya walaupun sebentar." Duchess Lilliana mencoba menawar, mungkin saja Duke Cristin mau menemui Viola. Memberikannya semangat agar cepat pulih. "Dia datang kesini karena dirimu, Duchess. Bukan karena diriku. Aku menikahinya juga karena dirimu. Bagi ku sudah cukup menghargainya sekaligus menerimanya menjadi istri ku." Tegas Duke Cristin. Ia langsung membenarkan posisinya, membaringkan tubuhnya dalam posisi miring, memunggungi Duchess Lilliana. Ia kesal, Duchess Lilliana selalu memaksanya untuk melihat Viola yang tak berarti apa-apa untuknya. Keesokan harinya. Viola mengucek matanya saat merasakan sinar matahari yang mengganggu tidurnya. "Nona, bangunlah ini sudah pagi," ucap seorang wanita tersenyum melihat Viola masih mengucek matanya.  "Aku ngantuk, jangan mengganggu ku," ucapnya seraya menarik selimutnya kembali. "Nona, jika Tuan Duke tau, pasti Nona akan di marahi." Viola beranjak duduk dengan mata terpenjam. "Apa kamu tau? Aku tidak peduli mau dia marah atau tidak, yang jelas aku mengantuk." "Nona, pasti tuan Duke dan Nyonya Duchess menunggu Nona untuk sarapan pagi." Viola tersenyum, menurut ingatannya. Duke Cristin tidak peduli mau dia makan atau tidak yang peduli hanyalah Duchess Lilliana saja. Dia membuka matanya. "Apa kamu lupa? Dia tidak pernah menginginkan aku ikut sarapan? Apa perlu aku memutar otak mu? Agar kamu mengingatnya?" Viola menyingkapi selimutnya dengan kasar. Ia merasa kesal dengan perkataan pelayannya, Milea. "Nona, maaf aku hanya." "Sudahlah, aku haus. Mulai saat ini siapkan teko air di atas nakas." Ucapnya berlalu pergi. Dengan baju tidur berwarna putih dan rambut yang terurai panjang sampai ke punggungnya. Ia berjalan ke ruang makan. Setiap pelayan meliriknya dan saling berbisik-bisik. Viola melirik dua pelayan yang berhenti mengepel dan langsung menunjuk kedua matanya kemudian menunjuk kedua mata pelayan yang berbisik itu. Kedua pelayan itu langsung pergi dengan wajah menunduk, mengerti ancaman Viola. "Kenapa dia keluar dengan pakaian seperti itu? Apa dia tidak tau sopan santun." Viola menghentikan langkah kakinya. Ia mundur beberapa langkah tepat di hadapan kedua pelayan itu. "Katakan sekali lagi." Ia menarik rambutnya sampai mendongak. "Kamu hanya pelayan, setidaknya kamu ingat status mu, bukan. Katakan sekali lagi, aku pastikan mulut mu akan aku robek." Viola melepaskan rambutnya dengan kasar. Sampai wanita itu membentur dinding. Sementara satu pelayan itu. Viola langsung menamparnya dengan keras sampai tubuh pelayan itu jatuh ke lantai. "Aku sudah biasa membaca novel dan komik sampai aku harus mendengarkan sendiri." Viola berjongkok, "Jika telinga ku mendengarkannya lagi. Aku pastikan kalian akan di tendang dari kediaman Duke." Viola berdiri, tersenyum sinis. Dia melihat kanan dan ke kiri, menatap para pelayan yang menunduk melihat semua apa yang dia lakukan. Viola memutar tubuhnya, melanjutkan langkah kakinya di ikuti Milea. "Nona,"  Kedua pelayan yang menyambutnya di ambang pintu merasakan hawa dingin saat Viola menatapnya satu per satu. "Adik," Duchess Lilliana berdiri, ia menyambut Viola dengan senyum ramah. "Kenapa kamu bangun? Aku bisa mengantarkan sarapan untuk mu." "Tidak perlu kak, sudah ada Milea. Aku kesini hanya ingin minum." "Sayang kamu tidak perlu memanjakannya. Dia akan manja dan lupa akan statusnya," ucap Duke Cristin tanpa melihat Viola. Viola tersenyum miring. Ia mengambil sendok selai itu dan langsung menjatuhkan ke piring membuat Duke Cristin mendongak. Ia menatap Viola dari atas ke bawah. Baru kali ini dia melihat seorang wanita memakai baju tidur. Kain putih yang menerawang. "Status ya, aku tidak pernah melupakan status ku sebagai istri kedua yang tidak di anggap." Viola memperlihatkan jari tangannya. "Kedua, istri di abaikan, ketiga, istri perusak, keempat, pengganggu kehidupan rumah tangga orang dan penghasil keturunan. Aku pun Viola, tidak pernah menginginkan menjadi istri mu." Viola menarik dagu Duchess Lilliana yang terkejut. "Jika bukan karena kakak tersayang dan balas budi. Demi apa pun, aku tidak akan mau dengan mu. Aku sudah memikirkannya matang-matang. Setelah aku melahirkan keturunan mu. Aku ingin bercerai Oh, jangan berfikir aku mau di sentuh oleh mu Tuan Duke yang terhormat. Aku melakukan itu, karena aku tidak lupa hutang budi ku."  Setelah mengatakan unek-uneknya. Viola menuju ke dapur. Ia menuangkan air di dalam teko itu ke cangkir gelas itu. Ia meneguk airnya untuk meredakan amarahnya. "Viola, jaga sikap mu. Apa kamu tidak tahu sopan santun." Brak Viola menjatuhkan gelas di tangannya secara kasar. "Aku tahu sopan santun ku, setelah sarapan, aku akan menemui mu." Ucap Viola. Dia melanjutkan meneguk air di gelasnya kemudian menatap sinis ke arah Duke. Lalu menaiki tangga menuju lantai atas. "Maaf, Nona. Tuan sedang sibuk dan tidak ingin di ganggu," ucap seorang laki-laki yang menghalangi jalannya saat memasuki ruangan kerja Duke Cristin. Viola melirik, tanpa mengucapkan sepatah kata apapun. Dia langsung menepis tangan yang mengalangi jalannya. Kemudian membuka handle pintu di depannya. "Nona, jangan lancang." Bentak sang Kesatria. Viola menghentikan kembali langkahnya. Saat tubuh kekar itu di depannya. "Duke !" Teriak Viola menggelagar di ruangan itu. "Nona!" Bentak laki-laki itu seraya menatap tajam. Duke Cristin menghentikan aktivitasnya. Dia menatap sang kesatria dan istri keduanya. "Biarkan dia menemui ku, Luis." "Maaf, Tuan. Saya tidak bisa mencegah nona Viola memasuki ruangan Tuan." Duke Cristin mengangguk, kemudian Kesatria Luisa memberikan hormat dan berlalu pergi. "Ada apa?" Tanya Duke Cristin datar. Dia tidak memiliki banyak waktu meladeni wanita di hadapannya. "Langsung ke intinya saja." Dasar sombong, siapa juga yang mau menghabiskan waktu dengan mu batin Viola menyunggingkan bibirnya. Viola melangkah, dia memberikan sebuah kertas. Tulis tangannya sendiri dan sudah tercantum tanda tangannya. Entah bagaimana dia bisa melakukannya, mungkin karena jiwanya telah melekat pada pemilik tubuhnya aslinya. "Ini," Duke Cristin mengekrutkan keningnya. "Bacalah," ujarnya ketus. Tanpa Duke Cristin menyuruhnya duduk. Dia sudah mendaratkan bokongnya ke kursi di belakangnya. Duke Cristin membaca tulisan tangan Viola. Sebuah perjanjian tertulis dimana Duke Cristin menjadi pihak pertama sedangkan Viola menjadi pihak kedua. Di dalam perjanjian itu tertulis. Pihak kedua, atas nama Viola Wilson akan memberikan anaknya dan setelahnya bercerai dan selama pernikahan, Duke Cristin maupun Viola tidak akan ikut campur urusan masing-masing. "Baiklah, aku tidak perlu repot-repot menyuruh mu keluar dari kediaman Duke." Tanpa ada keraguan apapun, Duke Cristin membubuhkan coretan indahnya ke kertas itu. Pertanda, perjanjian itu telah resmi. Miris sekali hidup mu Viola. Tidak ada kesedihan di matanya. Justru matanya mengatakan kesenangan. Ah, ingin sekali aku membotakin kepalanya. "Baiklah, setelah menikah. Aku akan tetap menemui putra ku. Dan Duke tidak boleh memisahkan aku dengan anak ku. Aku anggap Duke tidak membicarakan masalah ini." Seru Viola. "Ini," Duke Cristin memberikan kembali kertas itu ke Viola. "Tidak perlu, Duke saja yang menyimpanya," ucap Viola seraya berdiri. Duke Cristin masih menatap punggung itu menghilang di balik pintunya. Kemudian matanya menatap kertas di tangannya. "Apa yang terjadi dengannya? Apa karena terjatuh, membuat otaknya tak berfungsi. Viola sangat berbeda, tatapan matanya, gaya bicaranya dan gaya tubuhnya. Seolah aku berbicara dengan orang asing. Ck, ya sudahlah, masa bodoh. Aku tidak akan berfikir panjang, biarkan saja dia melakukan sesuka hatinya." Sesampainya di lantai bawah. Viola melihat Duchess Lilliana sedang mondar mandir dengan wajah cemas. "Duchess," Duchess Lilliana berlari, dia memeluk tubuh Viola. Kecemasan terlihat jelas di matanya. "Viola aku takut, Duke berbuat sesuatu pada mu." Duchess Lilliana melepaskan pelukannya. "Tidak," Viola menaikkan kedua bahunya. "Tidak ada yang terjadi, aku hanya ingin ijin keluar. Itu saja," ujar Viola menghilangkan kecemasan Duchess Lilliana. "Kami ikut aku, aku ada undangan perjamuan teh." Ucap Duchess Lilliana. Sejak tadi, dia memang menunggu Viola selain menanyakan apa yang di bahas oleh Viola. Dia juga ingin mengajak Viola ke perjamuan teh. "Perjamuan?!" Viola mencoba mengingat apa yang terjadi di pesta perjamuan itu. Dan ingatan itu, membuatnya memejamkan matanya mengingat betapa menyedihkannya Viola saat di hina oleh bangsawan. "Baiklah, aku akan ikut." Aku akan membuat wanita bangsawan itu bungkam. Kalau perlu aku akan menjahit mulut bebeknya. Duchess Lilliana tersenyum. "Ayo." Keduanya melangkah beriringan keluar kediaman Duke. Lalu menaiki kereta megah di halaman depan. Viola lebih dulu memasuki kereta itu, di susul Duchess Lilliana. "Viola, kamu tidak perlu takut. Aku akan melindungi mu," ujar Duchess Lilliana mengelus rambut Viola. Viola akui, Duchess Lilliana kerap sekali membelanya. Tapi tidak membuat para bangsawan itu terdiam. Justru sebaliknya, para bangsawan wanita mencibirnya. "Aku tahu, Duchess akan melindungi ku." "Jangan di ambli hati perkataan mereka nanti. Mereka hanya iri pada mu." Tak butuh waktu lama, Kereta kuda itu berhenti di depan kediaman Marquess. Duchess Lilliana turun di ekori oleh Viola. Keduanya melangkah menuju rumah kaca di halaman samping. Para wanita bangsawan yang melihat kedatangan Viola dan Duchess Lilliana, mereka saling lirik dan berbisik-bisik di belakang kipasnya. Viola bisa meraskan, auranya mencekam. "Duchess." Sapa seorang wanita menghampiri keduanya. "Ayo duduklah, kami memang menunggu kedatangan mu." Wanita itu menggiring Duchess Lilliana. Sedangkan Viola, hanya di anggap patung berdiri. Dia tidak di sapa bahkan di lihat saja. Viola pun melangkah, mengikuti langkah kaki kedua wanita di depannya. "Kenapa Duchess bisa membawanya? Baik sekali hati Duchess, alangkah baiknya Duchess tidak membawanya. Aku takut pernikahan ku juga mendapatkan kesialan." Ucap salah satu wanita bangsawan yang berpakaian warna hijau. Jadi selama ini aku di anggap wanita sial. "Benar Duchess, aku heran. Terbuat apa hati mu sehingga mau mempertahankannya." Viola mendengatkan dengan nikmat, setelah di rasa puas. Dia langsung berdiri, membuat kelima wanita bangsawan itu terkejut. "Penggoda, perusak rumah tangga, pembawa sial." Viola semakin geram. "Kalian tahu, apa yang kalian perbuat aku bisa saja menggoda suami kalian, tapi aku tidak melakukannya. Kalian lihat, aku sangat cantik, tubuh ku mungil dan sexy. Oh iya jangan lupakan, wanita dengan sejuta senyuman. Dan ingat ini," Jari telunjuknya mengetuk meja di depannya. "Aku bukan w*************a. Aku datang kesana atas permintaan Duchess sekaligus karena hutang budi ayah ku. Perlu kalian ketahui, selama ini aku tidak pernah mengharapkan cinta dari Duke Cristin. Aku tidak pernah mencintainya, camkan kata-kata ku."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD