NO 2 : DIA, AZKA

1471 Words
Dia Azka, seorang pria yang datang saat aku mempertanyakan dimana keberadaan pemilik tulang rusukku yang Engkau janjikan. -Anastasya Reswari- . . . Pancaran cahaya dari bola lampu teras rumahku menerangi wajahnya saat tubuh jangkung itu coba melewati ambang pintu, mengekoriku. Wajah tampan seorang pria yang sejam lalu mengaku bernama Azka. Kini dia tengah menempatkan diri duduk di atas sofa lembut di ruang tamu. Duduk dan tak mengatakan apapun semenjak salam dan cerita singkatnya tadi membuat ibuku menangis sambil memeluknya, berterima kasih atas apa yang sudah pria itu perbuat. Tak hanya ibu, bahkan ayah dan mas Yudha juga tak kalah drama seperti yang dilakukan ibu. Mereka menyalami kedua tangan Azka dengan erat. Lima belas menit, ayah dan mas Yudha bercengkrama bersama Azka. Seakan tak ingin melihat wajah yang dibicarakan, mereka memilih duduk menyamping cukup jauh dariku dan Azka. Sedikitpun tak ingin melirik. Mereka, ayah dan anak sibuk membahas sisi diriku yang sebenarnya cukup memalukan untuk didengar. Mereka berdua---ralat, bertiga dengan Azka sebagai penyimak, sudah menciptakan dunia mereka sendiri. Dimana aku sangat, sangat terasingkan di sini. Padahal jelas Azka duduk berhadapan denganku, membuatnya harus terus memalingkan wajah ke arah ayah dan mas Yudha nun jauh di sana dengan alasan sopan-santun. Sebenarnya sih, bukan obrolan yang menyenangkan hingga membuat mas Yudha dan ayah tertawa lepas di tempatnya berada. Sedang Azka hanya menarik kedua sudut bibirnya tak lebih dari setengah senti menanggapi candaan mereka berdua. Dan aku pun tak yakin jika itu bisa disebut dengan senyuman. "Tuh! Tuh! Kalau saja kamu dengar kata mas dulu, jangan mau sama si Zack aneh itu, nggak bakal kejadian deh. Emang kamu itu keras kepala, Sya. Dari kecil bandelnya minta ampun. Ya kan, yah?", mas Yudha menyenggol lengan ayah tanpa melepas senyum candanya. "Iya tuh, nak Azka.", ayah menatap Azka. "Dulu saya sering minta mbahnya yang jangain dia. Biar dia kapok kena omel sama si embah. Cuma mbah Siti seeorang yang bisa melunakkan si Tasya, kepala batu." Gemuruh tawa tak henti-hentinya terdengar dari sepasang anak dan bapak di ruangan ini. Aku bahkan sampai harus melotot ke arah mas Yudha yang masih tak mau menatap balik objek bahan candaanya. Siapa lagi kalau bukan aku! Padahal aku ingin menyadarkan mas tak berperasaan itu agar dia tahu kalau bahan candaannya tersebut sama sekali tidak berfaedah buat didengar sama si Azka. Tuh, wajah Azka lempeng aja sedari tadi. "Astaga! Nggak ada yang sadar apa, anak gadisnya bapak Rahardja ini hampir jadi korbannya si berengsek Zack?" Ibu yang baru muncul sembari membawa nampan berisi segelas teh hangat dan camilan, menyeru. "Bahasanya toh nduk! Bahasa di dunia luarmu itu jangan dibawa-bawa ke dalam rumah." "Tapi bu--- sejak kapan coba ada ayah dan kakak yang nggak prihatin lihat aku abis diapa-apain sama tuh curut." "Hush! Jangan ngomong sembarang. Lagiankan nggak kejadiankan? Ada nak Azka loh yang nolong kamu. Sudah bilang makasi ke mas Azka?" Mataku melotot. Bukan, bukan menantang. Hanya kaget saat ibu dengan cepatnya mengakrabkan Azka ke diriku dengan pemberian embel-embel 'mas' dinama Azka. Aku melirik ke wajah yang punya nama. Masih sama--- flat. Entah apa dia bosan dengan cerita bapak Rahardja beserta anak lakinya itu atau memang dia sama sekali tidak mengerti kemana arah bicara kami saat ini. Ibu yang melihatku yang hanya menatap wajah Azka, berdehem di belakang sofa. Dia mendorong bahuku agar lebih merapat ke arah Azka. Ya! ya! Aku mengerti. " Terima kasih sudah bantuin gue. Nggak ngerti deh kalau sampai si baji--- maksudnya si Zack tadi kalapnya kelewatan. Oh, iya. Kenalin, gue Tasya." Aku mengulurkan tangan bermaksud menyalami. Namun lima detik itu sudah membuat wajahku terasa panas sembari membiarkan tangan cantik nan halus ini menggantung tak ada sambutan. Azka hanya diam dan bahkan dia sama sekali tak mau bersusah payah menggerakkan tubuhnya menghadapku. Sialan!, rutukku tak terima. "Oh tangan gue kotor ya?" Dasar sombong! Azka tak menghiraukan, apalagi menjawab. Dia hanya berdehem sebentar lalu menatap ayah dan ibu bergantian, "Maaf semua. Saya mau pamit dulu. Sudah malam, lagian Tasya juga butuh istirahat." "Oh, oh, ya. Ya." Jawab ayah sedikit terbata karena teryata dia pun sama sepertiku, ikut terkejut melihat respon acuh Azka terhadap anak gadisnya. "Sekali lagi terima kasih nak Azka. Sering-sering main kemari, le! Kamu sudah ibu anggap seperti anak sendiri. Sama kayak si Yudha." "Makasi, Ka. Sudah nolong adek gue. Oh, ya. Gue Yudha Angkara. **, yudhatampan30. Huruf kecil semua, ya." Cengiran Yudha masih belum mampu melengkungkan senyum si sombong Azka. Azka yang merasa urusannya dengan keluarga Rahardja sudah kelar langsung menyambar jaket yang bertengger di lengan sofa di sebelahnya. Itu jaket yang tadi sempat ia gunakan untuk menutupi tubuhku. Ia berbalik ke arah pintu keluar. Sedang aku yang merasa berhutang budi walaupun dengan hati gondok akibat ulahnya barusan, setia mengikuti langkah itu hingga ke teras. Aku memanggil namanya namun ia pura-pura menuli. Capek, hingga akhirnya aku sendiri yang memberanikan diri maju menghadang jalannya. Sumpah, si sombong itu membuang muka. "Elo kenapa sih? Jijik ya sama gue?" "Nggak jijik. Tapi takut salah fokus." "Heh? Apa maksudnya." Jaket yang tadinya menggelayut di lengannya kini kembali ia lempar tepat di depan dadaku, "Nggak sadar sudah buat saya panas dingin duduk di depan kamu tadi?" Oh! HOLYSHIT! Aku mengintip apa yang ada di balik jaket yang Azka lempar barusan. Dan dua kacing yang tadinya diloloskan sama si Zack b*****t itu belum sempat kuperbaiki. Memang sih hanya dua, tapi sudah cukup menampakan warna peach itu dari dalam sana. Dan, bagaimana bisa orang rumah tidak ada yang menyadarinya. Arrgh! Gue bisa gila kalau ketemu dia lagi. . . . Tubuh lelahku tak sanggup lagi digerakkan. Hanya pasrah membaringkannya di atas kasur tanpa susah payah berganti pakaian dulu. Kini pandanganku menerawang ke langit-langit kamar, dimana sebuah kenangan cukup usil memenuhi alam sadarku. Kenangan yang menampilkan Zack, masih tersenyum saat kami yang masih tak saling paham itu merayakan hari jadi hubungan kami di tahun ke lima. Tragis memang. Jika menyadari siapa Zack sedari awal. Namun takdir berkata lain. Aku harus bisa menghadapi semua ketidak-tahuanku tentangnya selama itu. Dia yang begitu romantis, dia yang selalu ceria, sudah cukup mengambungkan semua angan-anganku untuk berkhayal--- akan seperti apa nanti dia bakal melamarku. "Selamat ya, beb. Kita sudah lima tahun bersama.", Zack memotong kecil tart merah cherry itu dan menyuapkannya ke dalam mulutku. "Terima kasih juga, sudah jadi pacar yang selalu ada kalau gue lagi butuh teman bicara." "Your welcome, my hon." Zack tersenyum lalu mengambil handphone dari balik jas yang ia kenakan. Pria itu berdiri dari kursinya dan beralih duduk menyebelahiku. Setalah membuka kamera, dia mengarahkan handphone itu tepat di depan kami, "Dokumentasi dulu, beb." Aku tertawa mendengar ucapannya, "Ah, ya. Buat lampiran di proposal proyek lo di kantor kan." "Gue nggak lagi tugas kantor, sayang. Lebih tepatnya, foto kita nanti bakal dijadikan wallpapper buat handphone lo, Sya." Zack memfokuskan arah kameranya. "Liat sini! Satu dua---." CUP! Entah keberanian dari mana, aku mengecup pipinya singkat saat ia sendiri berhasil mengambil foto tersebut. Zack terdiam dan kuyakin dia terkejut. Bagaimana tidak. Selama ini dia tak pernah berani untuk melakukan seperti apa yang kulakukan barusan. Dan kuanggap dia hanya ingin menjaga batasan. Ya, walaupun alasan itu cukup kolot menurutku. Tapi, seperti itulah Zack. Pria yang ngakunya zaman now tapi masih takut khilaf. Itu pula alasan mengapa sampai saat ini kami tak pernah melakukan kontak fisik lebih dari peluk ataupun genggaman tangan. Dan aku menghormati batasan yang ia coba buat untukku. "Eh--ehh. Gue ke toilet dulu, Sya.", dengan kikuk yang kentara Zack menjauhiku. Well, biarkan saja dia. Paling bentaran juga dia balik bersikap normal lagi. Tapi, sepuluh menit!! Ya, masih jelas diibgatanku saat Zack mendekam di toilet selama sepuluh menit? Kupikir cuma kaum hawa aja yang doyan bergosip di toilet. Duh, kemana pula tuh bocah? Namun pikiranku teralihkan saat kedua retinaku menangkap satu sosok di pojok cafe ini, tengah membagi fokus dengan tulisannya dan orang-orang sekitar. Aku akui dia pria yang cukup tampan dengan mata yang tajam, rahang yang kokoh, hidung mancung. Dan satu yang kusuka darinya, kedua alis tebal yang menegaskan wajah rupawan tersebut. Aku terkekeh saat melihat fokus yang ia beri pada tulisannya itu berubah jadi was-was. Mata tajamnya melempar pandang ke satu arah. Dimana ada sekelompak siswi SMA, sepertinya tengah memperbicangkan sosoknya. Dan yang tak kupercaya dari pria itu. Ya, pria itu, menunduk dan menaikkan bukunya hingga menutupi seluruh wajah tampan tersebut. Beberapa detik kemudian, buku itu diletakkannya kembali ke tempat asal. Dia yang menyadari masih menjadi objek pandang para siswi di sana malah beranjak dari kurisnya. Dia mengambil sebuah topi berwarna putih dari dalam tas dan mengenakanya di atas kepala. Dan, tentu topi itu sudah menutupi sebagian dari wajahnya. Dia berlalu pergi dengan menyajikan pandangan tak suka, hingga gadis-gadis tersebut harus merelakan pria yang dipuja ternyata tak ingin jadi tontonan publik. "Hahhh~~~ introvert, mungkin. Sialnya dia tampan maksimal." Gumamku menatap punggungnya yang makin menjauh. Dan aku baru menyadari, dia dan pria bernama Azka tadi punya wajah yang sangat serupa. "Jadi, dia orangnya!" -TBC-
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD