NO 3 : MISI MENCARI AZKA

2045 Words
Gue pro di kerjaan, Honestly. Tapi belum tentu gue bisa jadi expert di kehidupan sendiri. -Anastasya Reswari- . . . Dua hari penuh, pria bernama Azka itu memporak-porandakan akal sehatku. Dia dengan wajah tampannya, dia dengan sikap yang menurutku sangat mumpuni disebut dengan gentelman parah. Sungguh Tuhan maha adil dengan segala ujiannya. Ya, benar! Setelah Dia memenuhi satu pintaku akan keberadaan si pemilik tulang rusuknya Anastasya ini, kini Dia mengujiku dengan segala hal yang rumit. Tentu saja rumit, setelah rasa kagum dan terpesona melanda diri, rasa malupun seakan berlomba ingin juga dirasakan. Arrrghhh!! Bagaimana bisa Azka melihat asetku yang paling nggak banget buat dibanggakan. Walapun masih berbalut warna peach, setidaknya dia pasti tahu ukuranku yang sebenarnya, benakku ikut kacau membayangkan kejadian dua hari kemaren. Ok! Let see! Jika dia benar teruntuk Anastasya anak bapak Rahardja ini, whatever--- aku bakal mati-matian mengejarnya. Masa bodoh dengan kejadian dua hari yang lalu. Toh, apa salahnya mencoba? But, wait--- Tahap awal dari semua pendekatanku inikan harusnya berawal dari pencarian dulu, isn't it? Bagaimana mau dikejar kalau sosoknya saja belum ada di depan mata. Well, langkah satu: Cari Azka. Langkah dua: cari tahu apa dia masih sendiri. Atau sudah menikah? Hell! Gue yakin dia masih singel, rutukku kembali. Jangan panik. Aku dengan segala kemampuanku dalam menebak pasti tak pernah salah. Ya, jangan sebut aku sebagai 'Dewi Jurnalisnya WomenNow kalau kemampuanku dalam menguak fakta itu masih amatiran. Cih! Seratus persen yakin si Azka itu masih sendiri. Atau kemungkinan terburuknya--- duren, duda keren. Astaga, ngarepnya nggak ketolongan lo, Sya. Nah, ini yang terpenting. Step three: Top stepnya adalah ikat dia dalam satu hubungan. Dan saat itu datang, aku bisa dengan leluasa menguji sosok tersebut. Apa dia cukup bisa diperhitungkan untuk dijadikan pasangan hidup? Mengingat bahwa dia adalah jawab Tuhan atas pintaku dua hari yang lalu. Cukup dah! Tiga langkah yang kutulis dalam secarik kertas itu telah penuh dengan deretan kata. Setidaknya aku bisa sedikit lega, mengerti apa yang harus kelakukan atas peristiwa dua hari yang lalu. Sedikit bernapas lega, aku menghepaskan badan bersandar di senderan kursi seraya masih menggenggam pulpen di tangan. Entah mengapa, seperti ada yang masih mengganjal pikiranku. Seperti sesuatu yang butuh keyakinan penuh yang masih harus kutambahkan di List to do yang kubuat. Apa ya? Tuk.... tuk.... tuk.... tuktuktutktuktuktuk...... "TASYAAAAAAAA!", suara cempreng oktaf lima mendengingkan kuping kananku di saat pulpen yang sedari tadi mengetuk-ngetuk permukaan meja, direbut paksa oleh mak lampir. Aku mengosok-gosok telinga dengan kesal. Bagaimana tidak, jika mak lampir yang kalau bicara pakai suara normal aja sudah bisa buat kucing tidur langsung lari terbirit-b***t. Dia yang akhirnya melempar pulpen itu ke tong sampah di sebelah kubikel kami, melotot sembari bersedekap d**a. "Berisik! Lo tuh ya? Bisa nggak, kalau ada masalah jangan sampai orang sekantor jadi ikutan emosi?" "Apaan sih? Mbak Ros aja yang lagi sensi. Situ lagi dapat?" "Sensi, endasmu!" "Lah! Situ ngomongnya ngegas mulu." Mak lampir menghembuskan nafas panjang. Dia lalu menempati kursi kosong di sebelahku. "Sya, gimana nggak gue kesal, tuh satu jurnalis freelance sudah buat alur kerja yang gue tuhankan itu jadi amburadul. Dalam semalam dia buat gue kayak lupa segalanya berkat semua ide sampahnya. Kesalkan gue jadinya. Nih gue bahkan belum edit tulisan lo, sedang deadline-nya empat hari lagi. Duh, kesian anak gue. Apalagi laki gue semalam. Arrgh! Pulpen s****n!" "Pulpen? Lo sekesal ini cuma karena pulpen gue tadi?" "ASTAGA, TASYAA! Lo nggak nyimak rapat kemaren lalu? Pulpen itu nama pena si jurnalis Freelance baru, belagu, sombong. Yang jelas dia sudah buat gue sama semua staff si Jayen stress dua harian loh ini, Sya. Terlalu lo, sampai nggak tahu." "Pulpen?", gimana caranya gue bisa temui si sombong Azka, ya? "Sya? Lo denger gue, kan?" Kenapa gue harus temui dia sih? Eits! Tapi gue yakin, dia adalah pemilik tulang rusuk gue yang dikirim sama Tuhan pas gue lagi butuh. "Haduh! Nggak bisa dibiarin nih bocah tengil." Dengan sigap jari lentik mak lampir menyentil dahiku dengan keras. "Yak! Sakit woii! Dasar mak lampir!", tangan yang tadinya masih bertengger di telinga malah harus beralih menggosok-gosok dahi hasil sentilan si mak lampir. Dia dengan tak tahu diri masih berani melotot tanpa rasa bersalah, "Sakit?" "Menurut lo?" "Gue juga sakit lo kacangin. Well, we know we have our own problem actually. Ya, tapi nggak juga sampai lo ngabaikan sekitar." "Ya, nggak segitunya juga kali, mbak." "Gue ngomong gitu karena jelas lo aneh dua hari belakangan ini, Sya. Lo banyak melamun, banyak salah, banyak menggumam. Dan yang paling enggak banget, lo tuh jadi pendiam padahal asli lo tuh sebelas dua belas mulutnya sama si Feni Ros di TV sebelah." Aku menghela nafas panjang. Jika orang-orang yang tak mengenalku melihat sekilas, mereka pasti berpikir bahwa aku ini manusia yang lagi dilanda keputus-asaan berat hingga tak mampu menghadapi kenyataan bahwa hidup itu tak serumit isi pikiranku sendiri. Bagaimana tidak, setelah kisah Anastasya dengan si Zack terkutuk itu. Kini aku harus bertemu lagi dengan Azka yang sayangnya kenapa harus pakai acara lupa kancingin baju segala. "Cerita gih sekarang. Mumpung gue lagi mual lihat si Jayen seperangkat sama para staf-nya berkumpul di ruang editor." Ucap Mbak Ros membuatku ikut memandang dari celah pintu yang terbuka. Benar si Jayen ada di sana. Dia itu redaktur pelaksana di internal kami. Nama sebenarnya sih, Muh. Zainal. Hanya saja tampilannya yang mirip Jayen salah satu tokoh di kartun Doraemon serta hobi nyanyinya yang tak ketolongan, membuat kami sepakat untuk menyandangkannya nama Jayen itu buat Zainal. "Mbak lo ingat nggak artikel yang pernah lo baca sambil ketawa-ketiwi nggak jelas tiga hari yang lalu?" Mbak Ros mengerutkan kedua alis, "Yang gay itu?" "Iya. Yang mbak bilang semua cirinya pas banget sama Zack?" "Oh!", seketika tawanya meledak, "Jadi karena itu lo mendadak jadi pemikir berat kayak gini?" "Iya, benar sih." "Sorry, sorry. Itu mah cuma pemikiran gue aja. Dari sudut pandang gue aja sih, Sya. Aneh sih, lima tahun tapi kalian nggak pernah kissing, at least." "Iya, benar lagi." Kali ini nada suaraku sudah terdengar lirih. Mak lampir sampai menghentikan tawanya sejenak. "Don't tell me he's-----", mak lampir menutup mulutnya cepat. Pandangan matanya seakan ikut mendramatisir atas keterkejutannya. "Iya, tebakan lo masih benar." "ASTAGA, SYA! ASTAGFIRULLAH YA RAB." "Gue nggak percaya sih. Tapi nggak sengaja gue liat dia lagi gandengan tangan dengan temannya di lobi hotel dua hari yang lalu. Gue juga lihat dia saling bertukar saliva di parkiran pas malamnya. Ya, gue ikuti Zack sampai jam sebelas malam." "Terus? Terus?" "Gue videoin terus ajak dia ketemuan. Dan sayangnya gue salah pilih tempat. Gue ajak dia ke belakang hotel. Sengaja pilih disana soalnya gue pengen hajar dia habis-habisan. Terus sebarin foto mereka berdua buat gue balas dendam. Well, bagaimana pun gue cewek. Emang kodratnya di posisi yang rawan dapat bahaya." "Eh. Tunggu. Maksud lo?" "Ya, lo tahu kan mbak? Anastasya dan mulut frontalnya. Bablas ngomong sampai buat si gay itu kalap minta ampun. Dia langsung hempas gue ke tanah. Terus---" "Tasya", nada suara mak lampir merendah. Pandangannya yang terkejut berubah jadi sendu. "Apa Zack j*****m itu sudah berani nyentuh lo?" Aku kembali menghembuskan nafas panjang membuat mak lampir makin ketar-ketir di tempatnya. Dia lalu beranjak dari kursinya, memelukku. Detik kemudian, haru biru yang kurasa kembali memunculkan kenangan itu. Kenangan yang akan menjadi sesalku seumur hidup. "Lima tahun, mbak. Lima tahun gue bareng dia. Kok bisa gue buta nggak tahu siapa Zack sebenarnya. Dia berengsek! j*****m! b******n!" "Sya!" Air matanya jatuh membasahi bahuku. Aku pun sama. Mengeluarkan semua rasa kesalku pada Zack. Amarah yang tak bisa kubendung lagi. Tak bisa mengabaikan bagaimana sia-sianya waktu lima tahunku yang berharga karenanya dan tentu juga karena kebodohanku. Aku dan mbak Ros saling membiarkan, sama-sama tumpah dalam relung sendu. Hingga akhirnya perasaan lega telah menghampiri, aku menjauhkan jarak dengannya. Begitu juha dia. Mbak Ros masih setia menggemgam tanganku sembari memberikan tepukan-tepukan kecil disana. "Mbak, gue bersyukur. Gue sempat ditolong sama seseorang. Jadi, nggak sempat gue diapa-apain sama si kampret." Tepukan ringan di tanganku seketika terhenti. Mbak Ros kembali membelalakan matanya. Ya, dia bisa membaca pikiranku. Dan saat itu pula tangannya yang tadi berbalut rasa keibuan, kembali mengetuk puncak kepalaku cukup keras. "Kurang ajar lo, Sya. Gue pikir lo itu-- ya gitu deh. Ngobrol kek dari tadi. Gue nggak perlu sampai nangis bombay kayak tadi. Duh, luntur dah maskara emak." "Mulut lo, mak lampir." "Betewe. Siapa dia? Pahlawan lo itu? Kok bisa sih dia muncul?", mbak Ros menyeka sisa air matanya di pipi. "Percaya nggak lo, mbak-- kalau dia itu pemilik tulang rusuk gue." "Heh!! Pasti ganteng? Sampai lo percaya diri nyebut dia yang punya tulang rusuk lo. Ngaku!" "Ganteng! Jangan ditanya lagi. Tapi yang bikin gue yakin tuh, dia muncul saat gue lagi pertanyakan sosok pemilik tulang rusuk gue ke Tuhan." "Hm! Bisa jadi. Bisa juga enggak. Mengingat lo bukan mahluknya yang taat beribadah." "s****n tuh mulut." "Ok! Ok! So? Lo apa kabar sama si doi?" Mataku menyalang saat maksud si mak lampir diserap sama otakku, gila aja gue masih berurusan sama si gay berengsek. "Jelas gue nggak mau ada hubungan apapun lagi sama si gay sialan." "Calm down, dear. I mean, yang ngasih tulang rusuknya ke lo." "Oh. Azka." "Jadi namanya Azka. Nice. Terdengar manly versi Indonesia asli. Terus? Sudah lo gebet dong?" "Nah itu dia masalahnya." "Duh! Apa lagi, Sya!" Dia memijit pelipisnya. Tak tahan dengan sikapku. Dan dari situlah aku mulai bercerita. Tak satupun melewatkan keajadian yang terekam masih jelas di benakku. Hingga mak lampir terkejut tak terima. Jelas dia bakal marah, mendapati diriku masih kurang pengalaman perihal asmara yang kerap buat dia selalu menjadi konsultan cinta dadakkan. "Elo tuh ya, Sya! Bodohnya kelewatan. Aneh aja gue si Jayen kasih predikat lo Dewi jurnalisnya 'WomenNow' padahal aslinya buta masalah yang kerap dialami sama kaum pere-pere." "Terus menurut mbak Rosmala Ningrum Kumala Bangsa Ratuningrat, gimana?" "Yaelah. Kalau butuh saran aja lo baek-baek sebut nama lengkap gue." "Sujud syukur lo mbak. Cuma gue teman sekantor yang mau aja disuruh hapalin nama lo yang panjangnya kayak rel kereta api itu." Aku mencibir, "Nama si Zack yang nggak panjang-panjang amat aja, nggak gue hapal." "Tuh! Tuh! Elo tuh selalu cuek soal cinta sama jati diri pasangan lo. Nah, kejadiankan kalau si Zack itu nggak normal orientasi seksnya." "Please! Jangan sebut-sebut namanya lagi. Kita bahas Azka aja." Kebiasan mak lampir si konsultan cinta yang telah diuji hasilnya kini merubah total gaya duduknya. Dengan melipat kaki serta membetulkan letak kaca matanya, dia menatapku serius. Ini nih yang paling kusuka dari mak lampir. Dia bisa membedakan kapan aku harus diseriusi dan kapan mulut nyinyirnya itu diaktifkan. "Si Aksa ini---", dia buka suara. "AZKA, mbak!" "Ya si Azka ini. Jelas dia sudah tahu kalau d**a lo tuh rata." "Astaga, mak lampir!!" "Fakta itu, Sya. Dan fakta lainnya lo si cuek yang kebangetan, bodoh pula! Lo mau jual mahal sampai nggak minta nomor hengponnya? Kalau cantik nggak masalah sih. Ada kemungkinan pemilik tulang rusuk lo itu yang bakal inisiatif nyari lo balik. Lah ini, cantikkan lagi gue. Sok lu! Belagu!" Kalau saja aku tidak butuh sarannya. Jelas secup latte di atas mejaku pasti sudah membasuh wajah kinclongnya. Dasar mak lampir, "Lo niat bantuin gue nggak sih?" "Hm! Usaha lo cari dia! Anggap aja itu hukuman lo atas tak tahu dirinya anak gadis bapak Rahardja. Bukannya niat berterima kasih, justru lo ngedumel nggak jelas lagi. Duh! Berdoa aja semoga si Azka itu nganggap sikap lo itu masih bocah. Biar dia maklum." "Isshhh!! Lagian gue punya harga diri nggak minta nomor ponselnya. Ketahuan bangetkan gue modusin dia." "Eh, curut. Bilang kek mau balas budi. Lelet banget sih tuh otak! Dengar ya, Anastasya. Allah itu selalu punya cara buat jawab doa hamba-Nya. Harusnya kamu tanggap, dong. Dia sudah nunjukan siapa yang cocok dan yang tepat buat lo. Dan dia itu, Azka." "Iya, gue juga mikir gitu." "Nice! Semangat cari kemana tulang rusuk lu bertuan ya, Sya." Fix, saatnya menjalankan tiga langkah Anastasya dalam mencari keberadaan si pemilik tulang rusuk ini. Pertanyaanya sekarang, How I do the three steps. Oh, Lord! Makin banyak saja tugasku. Dengan kata lain, misi pencarian Azka bakal terus kusisipkan di antara sederet penuh tugas kantor mulai sekarang. Halah, Sya! Daripada lo menjomblo, bisik kata hatiku meniupkan sederatan kata tersebut di telinga kanan. "Ah! Kanan, artinya malaikat baik bukan?!", satu senyuman terseungging. Aku melirik mak lampir tengah menggeleng-gelengkan kepala mendengar gumamanku. "Dasar gadis sinting!". -TBC-
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD