"Masih untung bukan orangnya langsung yang kulempar dan kutendang!"
Mas Adi menarik kembali koper dan tas milik istri mudanya itu ke sisi dekat gerbang, lalu mendekat padaku. Kami berperang melalui tatapan mata. Tanpa mengatakan apa-apa, dia berlalu ke dalam setelah melemparkan sorot mata tajamnya tadi.
Aku mundur selangkah seraya berpegangan pada pintu gerbang. Tangan sedikit gemetar. Tidak mudah berpura-pura kuat dan menjadi orang tegaan seperti tadi. Selain memerlukan hati yang kuat, tapi juga tenaga.
Kutengadahkan wajah seraya mengatur pernapasan, dan mengerjap-ngerjapkan mata yang kembali berkaca-kaca.
"Aku pasti bisa. Ada Bagas yang menjadi penyemangat dan kekuatan. Dia malaikat kecilku," gumamku untuk menguatkan hati.
Aku yang hendak masuk lagi ke rumah, berpapasan dengan Mas Adi yang keluar seraya menuntun Indira yang masih terisak pelan. Kami kembali beradu tatap untuk beberapa saat.
"Pembicaraan di antara kita belum selesai, Aina. Aku akan kembali setelah mengantar Indira pulang," ujarnya dingin, kemudian kembali melangkah menuju mobil.
Aku masuk dan menutup pintu, lalu terduduk lemas di sofa panjang.
"Minum, Bu." Bagas yang datang dari dapur memberiku segelas air putih.
Kuteguk sampai habis, lalu meletakkan gelasnya di meja. Kembali aku duduk bersandar dengan mata terpejam dan tangan saling meremas.
"Bu ...." Bagas menyentuh tanganku yang masih sedikit gemetar.
"Apa ... ibu sudah keterlaluan, Bagas?" tanyaku pelan.
"Tidak, Bu. Tindakan yang Ibu lakukan sudah benar." Bagas menggenggam erat tanganku. "Sudah sepantasnya Ibu mempertahankan apa yang menjadi milik Ibu. Ibu wanita hebat dan kuat. Aku bangga."
"Sejujurnya, ibu juga tidak menyangka bisa berbuat senekat tadi. Ibu saja rasanya masih tak percaya."
"Wanita seperti Mbak Indira memang tidak bisa ditegur baik-baik, Bu. Dia harus diberi pelajaran supaya paham. Aku yakin tindakan Ibu tadi sedikit bisa menyadarkan dia, kalau ibuku bukan wanita yang akan diam saja ketika semua miliknya dirampas. Iya 'kan, Bu?"
Kubuka mata dan menatap Bagas dengan mata berkaca-kaca.
"Semua karenamu, Nak. Ibu seolah mendapatkan kekuatan dari keberanian yang kamu tunjukkan. Terima kasih sudah mendukung ibu."
"Ibu jangan nangis lagi. Ibu tidak sendiri. Putramu satu-satunya ini akan selalu pasang badan untuk melindungi." Bagas menghapus lembut air mataku. "Jangan nangis lagi, ya, Bu. Air mata Ibu terlalu berharga untuk menangisi pria tanpa hati seperti Ayah. Sia-sia."
"Kamu benar, Nak. Tapi waktu belasan tahun yang kami habiskan bersama itu terlalu membekas. Rasanya sangat sakit karena ibu dikalahkan wanita yang baru hadir di saat ayahmu sudah sukses."
Bagas merangkul, memeluk dari samping dengan menempelkan kepala kami.
"Suatu saat, Ayah akan sadar dengan tindakan kelirunya itu, Bu. Ayah akan sangat menyesal karena sudah membuang wanita sebaik Ibu. Tapi semua sudah terlambat. Ibu dan aku pasti bisa hidup bahagia tanpa Ayah."
"Iya," lirihku dengan suara bergetar dan air mata yang kembali merembes.
???
"Iya. Aku ada di rumah, kok. Tapi Bagas sedang pergi ke minimarket. Sudah sampai mana?" tanyaku menjawab pertanyaan dari seberang telepon.
"Masih di jalan. Sebentar lagi mungkin sampai. Kalian jangan ke mana-mana, ya."
"Iya," jawabku, lalu mengakhiri sambungan telepon ini setelah berbicara sebentar.
Aku yang sedang duduk di depan cermin meja rias pun menoleh, ketika mendengar pintu kamar ini dibuka. Melihat Mas Adi masuk dan menutup pintunya, aku kembali membuang muka.
"Kamu berubah, Aina. Wanita penyayang dan penuh kelembutan yang sangat kusayangi itu sudah pergi. Aku seperti tak mengenali dirimu yang sekarang."
"Semua orang bisa berubah, Mas, termasuk dirimu sendiri," jawabku santai seraya beranjak bangun dan berjalan menuju pintu.
"Apa yang berubah? Aku masih sama seperti dulu. Tanggung jawabku sebagai suami dan ayah pun tetap kupenuhi."
Aku diam, lalu membuka pintu dan pergi keluar kamar.
"Apa karena aku mencintai wanita lain? Itu yang kamu sebut aku berubah, iya?" Mas Adi mengekori, lalu menyejajarkan langkah kami. "Ayolah, Aina. Jangan kekanak-kanakkan! Sudah jadi kodratnya laki-laki tidak puas dengan satu wanita."
"Salah. Itu hanya berlaku bagi laki-laki yang tidak bisa menjaga mata dan menundukkan pandangannya dari lawan jenis," sahutku tak mau kalah.
"Asal kami bisa berbuat adil, tidak ada salahnya beristri lebih dari satu. Kenapa kamu seperti alergi begitu dengan hukum agama sendiri? Poligami tidak dilarang."
"Tapi bukan juga kewajiban," sahutku cepat seraya berhenti melangkah dan berbalik menatapnya. Membuat kami berdiri berhdapan dengan pandangan mata yang saling bertemu.
"Poligami memang tidak dilarang, tapi juga tidak mewajibkan seorang wanita untuk setuju. Mundur adalah pilihan terbaik bagi wanita yang hatinya tidak sanggup berbagi. Tidak semua wanita bisa legowo dan tegar menerima kehadiran wanita lain dalam pernikahan. Dan aku termasuk salah satunya. Hati dan imanku masih lemah. Aku hanya ingin tetap menjaga kewarasan dan fokus menata masa depan Bagas," jelasku panjang lebar.
"Tapi poligami sunnah, Aina. Kamu bisa—"
"Masih banyak sunnah-sunnah lain yang bisa kukerjakan tanpa harus menyiksa batin sendiri." Aku menyela perkataan Mas Adi. "Mas tahu hukumnya sunnah, kan? Dikerjakan dapat pahala, tapi ditinggalkan juga tidak berdosa."
Dia bungkam.
"Jangan berlindung di balik hukum sunnah hanya untuk menuntaskan hasrat dan nafsu, Mas. Tanya saja pada hatimu sendiri. Apa benar Mas menikah lagi demi menjalankan sunnah atau hanya karena nafsu? Hatimu tidak bisa berbohong meskipun mulut menjawab lain."
Aku berlalu dari hadapannya menuju dapur. Memasak air panas untuk membuat teh manis sebelum tamu yang ditunggu-tunggu datang.
"Tapi setidaknya, kamu jangan bersikap kasar begitu pada Indira. Kamu terlihat arogan. Kenapa tidak bicara baik-baik jika memang kamu keberatan dia tinggal bersama kita?" Mas Adi kembali berujar lebih lembut dan tenang, lalu menarik kursi meja makan dan duduk.
"Baik-baik? Dari awal aku sudah memintanya pergi, tapi diabaikan. Bahkan Mas sendiri 'kan yang ngotot ingin dia tinggal di sini? Jangan bilang kalau Mas mendadak amnesia dengan tindakan dan ucapan sendiri."
"Tapi sikapmu itu bisa menjadi contoh yang buruk untuk Bagas, Aina. Kamu lihat sendiri dia kasarnya seperti apa dari kemarin."
"Harusnya Mas berkaca dulu sebelum berkata seperti itu. Justru aku lebih takut dia mencontoh tindakanmu yang dengan mudahnya berkhianat. Semoga tidak. Naudzubilah, Ya Allah. Jangan sampai anak laki-lakiku menjadi pria jahat sepertimu, Mas. Pria yang tidak pandai bersyukur dan dzalim terhadap wanita yang setia menemaninya dari nol."
Mas Adi menatap tak suka padaku dengan dahinya yang mengernyit.
"Ucapanmu barusan itu terkesan aku begitu buruk, Aina. Aku tak sejahat yang kamu pikir. Aku ingat dengan pengorbanan dan jasa-jasamu untukku dan keluarga kita. Aku juga tetap sayang padamu."
"Sudahlah. Tidak ada gunanya berdebat denganmu, Mas. Mau sampai bibirku jatuh ke lantai pun, isi kepalamu itu tidak akan bisa diubah. Dan satu lagi ... hari ini aku sudah mengurus perceraian kita. Aku memakai jasa pengacara dan akan menuntut harrta gono-gini. Rumah ini akan seutuhnya menjadi milik Bagas—anak kita, bukan milik orang lain!" kataku, kemudian mematikan kompor dan berjalan menuju ruang keluarga.
"Lalu aku tinggal di mana nanti?" Mas Adi mengekori.
"Terserah. Aku tidak peduli Mas mau tinggal di mana. Asal jangan pernah berani-berani membawa wanita lain untuk tinggal di rumah ini!" tegasku seraya kembali berbalik menatapnya. "Aku menemanimu dari nol, maka istri barumu pun harus melakukan hal yang sama. Jangan mau pas enaknya saja!"
"Tapi, Aina ...." Dia tak melanjutkan ucapan saat ponsel di saku celananya berdering.
Aku berlalu meninggalkannya yang kini sedang berbicara di telepon, dan sudah pasti orang itu Indira.
"Kamu cerita pada orangtuaku tentang rencana perceraian kita?" Mas Adi mendekat ke sini dengan langkah cepat dan tatapan tajam.
"Iya. Kenapa?" jawabku santai.
"Harusnya kamu tidak perlu mengadu pada mereka, Aina. Apa yang kamu lakukan itu sudah membuat orangtuaku dan orangtuanya Indira ribut besar!"
"Ya bagus. Memang sudah seharusnya mereka menegur kerabat yang salah langkah."
"Kelewatan kamu, Aina." Mas Adi menggeleng tak percaya.
"Kamulah yang sudah kelewatan, Adipati! Bukan Aina!"
???