"Kamulah yang sudah kelewatan, Adipati! Bukan Aina!"
Mas Adi sontak menoleh kaget ke arah pintu yang terbuka. Sementara, aku mengulas senyum tipis melihat kedatangan beliau. Mas Adi menatap padaku, lalu pada orangtuanya lagi.
"Kamu sengaja minta bapakku datang ke sini juga?" Dahi Mas Adi berkerut dalam hingga ujung kedua alisnya itu hampir bertemu.
"Tidak. Aku hanya mengabari tentang proses perceraian kita."
"Kamu ini—"
"Kenapa memangnya kalau bapak datang?" Bapak mertua memotong ucapan Mas Adi. "Tidak suka kamu melihat bapak ada di sini?" tudingnya dengan suara tegas sembari berjalan mendekat ke sini.
"Bukan begitu, Pak. Bapak salah paham. Kenapa langsung emosi, sih?"
"Bagaimana bapak tidak emosi melihat kelakuanmu yang sudah keterlaluan, huh?
"Keterlaluan apanya coba? Bapak jangan langsung marah-marah begitu. Dengarkan dulu. Aku hanya—"
"Suami tak tahu diuntung! Kurang ajar kamu, Adi! Tidak tahu malu!" Bapak mertua yang walau sudah sangat tua itu tak terlihat sama sekali lemah di hadapan putra semata wayangnya ini.
"Pak, dengarkan penjelasanku dulu, Pak." Mas Adi menunduk, kedua tangannya pun refleks melindungi kepala yang dipukuli bapak mertua menggunakan telapak tangan.
"Bisa-bisanya kamu diam-diam menikah lagi! Dengan si Indira pula! Kurang ajar! Di mana otakmu itu sampai tega membuang istri dan anak demi wanita lain yang belum jelas sifatnya seperti apa!"
"Siapa yang membuang istri dan anak, sih, Pak? Bapak salah sangka. Makanya, dengarkan dulu cerita dariku." Mas Adi berusaha menghindari pukulan.
"Aina sudah cerita pada kami! Semua sudah jelas, Adi! Orangtuanya Indira juga sudah mengaku! Mau mengelak apa lagi kamu, huh?"
"Sudah, Pak. Sakit." Mas Adi menahan tangan bapaknya, lalu bergegas mundur menjauh beberapa langkah.
"Lebih sakit mana dengan hati anak dan istrimu?" Kedua mata bapak mertua melotot seakan hendak melompat keluar dari tempatnya, pun suaranya lantang dan tegas. "Benar-benar kamu ini, ya!" Bapak yang geram terlihat mengambil vas bunga dari meja.
Aku berdiam diri tak jauh dari keduanya. Hanya menyimak dan menyaksikan perdebatan keduanya tanpa berniat melerai.
"Kamu sudah membuat bapak dan Ibu malu! Dasar tidak tahu diri!" Saking emosinya, bapak mertua tidak sadar kalau topinya sampai terhempas dari kepala.
"Jangan begitulah, Pak! Jangan langsung marah-marah! Dengarkan penjelasanku dulu! Ini gak seburuk yang Aina ceritakan!" Mas Adi terus menghindari bapak mertua yang mengejar dan ingin memukulnya lagi.
Mendengar pembelaannya tersebut, aku langsung menatap tak suka pada Mas Adi dengan dahi mengernyit. Bisa-bisanya dia masih berusaha menyangkal pengkhianatannya itu.
"Penjelasan gundulmu!" Bapak kembali meletakkan vas bunga di dekat televisi dengan kasar. "Apa pun alasannya, tindakanmu itu tetap salah! Cah gemblung!"
"Ampun, Pak. Sakit," ringis Mas Adi dan segera menghindar lagi ketika kepalanya berhasil dipukul bapak mertua dengan kepalan tangan.
"Biar saja sakit! Siapa tahu otakmu yang geser itu bisa kembali waras!" sergah bapak mertua.
"Sudah, Pak! Tidak ada gunanya memukuli dia terus. Hanya mengotori tangan Bapak. Belum tentu juga dia akan sadar."
Mas Adipati kembali menoleh ke arah pintu, di mana ibu mertua baru saja masuk bersama Bagas yang menenteng dua kantong belanjaan.
"Habisnya bapak emosi sekali mendengar kelakuan Adi, Bu. Benar-benar buat malu! Mending kalau dia masih muda. Tidak malu sama anak dan umur!" omel Bapak yang masih emosi, lalu mendekat ke sini lagi sembari menyugar rambut yang hampir separuhnya memutih itu.
Bapak membiarkan punggung tangannya dicium sang cucu. Sementara, ibu mertua mendekat padaku dengan tatapan sendunya, lalu memeluk.
"Maafkan Adi, ya, Nak. Ibu dan Bapak ikut merasa malu dan bersalah dengan apa yang sudah dilakukannya padamu."
Mendapatkan pelukan hangat dan usapan lembut di punggung, mataku kembali basah. Kugigit sudut bibir bawah yang bergetar seiring kedua tangan yang melingkar membalas pelukan.
"Aku gagal, Bu. Aku gagal membuat Mas Adi tetap setia dan mencintaiku. Kami tidak bisa seperti kalian yang saling menjaga sampai maut memisahkan. Aku gagal mempertahankan rumah tangga ini, Bu," lirihku perih.
"Tidak apa-apa, Nak. Menangis saja. Keluarkan semuanya supaya hatimu lebih lega," ujarnya lembut. Membuatku tak sungkan lagi untuk menangis di pelukan ibu mertua yang sudah kuanggap seperti orangtua sendiri.
Bapak mertua ikut mendekat dan menatap sendu, begitu juga dengan Bagas. Wajah renta dan lelah keduanya membuatku merasa bersalah telah melibatkan mereka dalam masalah ini. Akan tetapi, bagaimanapun juga ibu dan bapak harus tahu kelakuan putranya.
"Pak, Bu," panggil Mas Adi tanpa berani mendekat sembari masih mengusap-usap kepalanya yang dipukuli tadi.
Sayangnya, tak ada satu pun dari kami yang menanggapi. Ucapan dia tak dianggap, pun kehadirannya tak dipedulikan.
"Ibu sangat mengerti perasaanmu, Nak. Jangan sungkan untuk cerita dan menangis di pelukan ibu, ya." Ibu mertua mengurai pelukan, lalu mengusap air mataku dengan lembut. Pun ikut menitikkan air mata meskipun tengah berusaha menghibur menantunya ini.
Aku mengangguk dan mencoba tersenyum walau bibir masih sedikit bergetar menahan tangis.
"Aku ... buatkan Ibu dan Bapak teh dulu, ya."
"Tidak usah, Bu. Biar aku saja yang buatkan minum untuk nenek dan kakek. Ibu duduk saja," usul Bagas, kemudian pergi ke dapur.
"Ayo duduk, Bu, Pak," kataku seraya menghapus jejak-jejak air mata di pipi.
Aku dan Ibu duduk di sofa panjang, sedangkan Bapak di sofa single. Sementara, Mas Adi masih berdiri di dekat bufet televisi dan enggan mendekat.
"Kenapa kamu masih berdiri di situ? Pantatmu bisulan? Sini duduk!" titah Ibu. Meski suaranya lembut, tapi terdengar tegas.
Mas Adi melirik pada bapak mertua, lalu akhirnya mendekat dan duduk di sofa single lain. Meskipun pandangannya itu terlihat selalu waspada mengawasi bapak mertua.
"Minum dulu, Nek, Kek." Bagas kembali ke sini. Meletakkan nampan berisi dua gelas teh hangat, juga sepiring besar kue bolu yang memang sudah sengaja kusiapkan.
"Cucu nenek tambah tinggi dan tampan saja. Sehat-sehat terus, ya. Belajar yang rajin." Ibu mertua tersenyum seraya mengusap rambut Bagas yang duduk di sampingnya.
"Iya, Nek. Semoga aku sehat terus supaya bisa melindungi Ibu dari orang-orang jahat." Bagas melirik ayahnya sendiri. Membuat ibu dan bapak mertua saling melempar pandang.
"Kamu tidak mau ke kamar dulu, Gas? Kami mau bicara," kata bapak mertua setelah menyeruput teh dan memakan sepotong kue.
"Tidak usah, Pak. Biarkan saja Bagas tetap di sini. Dia sudah cukup besar untuk paham apa masalah yang dihadapi orangtuanya. Lagipula, Bagas sudah tahu semua," kataku.
Bapak dan Ibu kembali saling melempar pandang. Setelah itu, keduanya menatap Mas Adi yang sedari tadi membisu sembari menunduk dan saling menautkan jemari.
"Sudah berapa lama kamu nikahi si Indira itu?" tanya Bapak.
Mas Adi melirik padaku sebentar. "Enam bulan, Pak."
Aku diam. Tak menyangka ternyata dia dan Indira pintar menyembunyikan hubungan mereka selama ini. Atau mungkin ... akulah yang terlalu bodoh dan terlalu percaya pada laki-laki ini?
"Apa, sih, isi otakmu itu? Kamu tidak kasihan pada kami yang sudah tua ini, Adi?" Ibu ikut bicara. "Kami sebagai orangtuamu ingin bisa hidup tenang. Ingin ikut menyaksikan kebahagiaan anak dan cucu. Tapi kamu malah membuat ulah begini."
Mas Adi diam.
"Lupa diri kamu, karena sudah bisa hidup enak, hm? Jangan lupa! Ada doa istri yang selalu menyertai sampai kamu bisa sukses seperti sekarang ini! Lupa kamu dengan pengorbanan Aina, Adipati? Lupa kamu dengan kerja keras dan kesabarannya merawatmu yang lumpuh?"
"Tidak, Pak." Mas Adi menjawab pelan.
"Lalu kenapa?!"
???