Chapter 1

1422 Words
Felica menatap keluar jendela, saat ini ia sedang duduk tenang di ruang kerjanya. Banyak pekerjaan yang harus ia kerjakan dan juga ia harus pantau, terutama keponakannya yang sudah ia anggap sebagai anaknya sendiri. Arth dan ketiga adiknya, Felica benar-benar mengkhawatirkan mereka berempat yang hidup tanpa kedua orangtua.  Felica dapat mengingat jelas saat Arth marah besar dan membuat mata kiri Ryu buta, semua itu tidak akan terjadi jika Ryu tidak melakukan hal bodoh yang menyebabkan kepergian Eve. Eve, wanita yang menjadi panutan Felica, wanita yang tegas dan juga hangat. Melalui kematian dengan hidup menjadi b***k, dan berakhir di tangan Ryu. Apalagi Arth tidak ingin dibantu sedikit pun oleh dirinya, Felica merasa menjadi Aunty yang tidak berguna untuk Arth. Namun, Arth selalu datang saat pertemuan besar ataupun saat dirinya memanggil hanya untuk melihat kondisi Arth yang cukup mengkhawatirkan. Ya, sangat mengkhawatirkan. Keponakannya yang tampan itu dapat mengingat apapun dalam sekali lihat. Terlebih Arth mengingat banyak kejadian yang membuatnya menyerang Ryu, ia pun tidak bisa melakukan apa pun untuk menghentikan Arth. Ia marah dan juga sedih, bagaimana bisa Ryu melakukan hal kejam itu pada Eve. Dengan akhirnya ia dapat melihat akhir dari sepupunya itu. "Mom," Felica menoleh dan mendapati Salamander yang sudah duduk di meja kerjanya. "Kau bisa mati jika melamun terus," ujung bibir Felica sedikit berkedut kemudian tersenyum manis ke arah putra sulungnya. Felica tahu maksud dari perkataan Salamander, ia bisa mati jika ada musuh dan ia tidak menyadari keberadaan musuh. Ia akan mati konyol hanya karena melamun. Felica tertawa kecil mengingat Salamander memang tidak bisa berkata lembut pada siapa pun, ia terlalu terbuka dan bebas bicara apa yang ia ingin katakan. "Mommy sedang memikirkan sepupumu, kau tahu Arth tidak ingin kita ikut campur dalam kehidupannya. Tetapi, aku memiliki kewajiban melindunginya, kalau tidak Eve bisa marah padaku jika bertemu nanti," jawab Felica sambil menatap iris biru laut milik Salamander. Salamander mengangguk, ia tidak terlalu dekat dengan sepupu yang menurutnya menyeramkan itu. Mengingat dalam sekali lihat, ditambah ia dapat mengingat perjalanan hidupnya yang tidak baik-baik saja. "Salazar bisa mengawasinya, selagi anak itu tidak berubah pikiran. Lagi pula mereka terlihat dekat dengan Salazar, karena ia sering menghukum Klause dan Rainart," jawab Salamander, Felica mengangguk mengerti. "Lalu bagaimana kondisi Minerva?" tanya Salamander, ia memang tidak dekat dengan Arth, tetapi ia dekat dengan Minerva. Gadis cantik yang mempesona, lemah lembut dan penurut. Namun, Minerva disembunyikan di sebuah pulau di mana kedua orangtuanya tinggal. Tetapi, Felica sudah menyiapkan dua dokter pribadi dan dua bodyguard untuk menjaga Minerva. "Mommy akan memaksa Arth untuk mengeluarkan Minerva dari pulau itu, Minerva harus melihat dunia luar. Meskipun kedua Shadow Guard dan kedua dokter dibawah didikan Nero itu hebat dan banyak mengajari Minerva, ia tetap harus melihat dunia luar seperti ketiga kakaknya," "Arth tidak akan mengizinkan, Mommy. Kau tahu Arth sangat melindungi Minerva setelah kepergian Aunty Eve," Felica mengangguk mengerti, pintu ruangan terbuka dan menampilkan Glizart dengan pakaian santainya. Lelaki itu tersenyum lebar ke arah Felica lalu berlari kecil menghampiri sang Ibu. Felica menaikkan satu alisnya, jika Glizart sudah tersenyum manis seperti itu kepadanya, sudah pasti anak itu akan meminta sesuatu dan harus dituruti oleh Felica. "Aku akan menghajarmu jika meminta macam-macam pada Mommy," ujar Salamander sambil menatap tajam adiknya. Glizart tertawa kecil lalu menggelengkan kepalanya pelan, ia menarik Felica agar berdiri dari kursi lalu ia duduk di kursi Felica dan menarik kembali tubuh Ibunya untuk duduk di panggkuan. kebiasaan buruk Glizart lainnya, karena wajah Felica yang tidak menua itu yang membuat Glizart menganggap wanita bersurai merah itu seperti kekasihnya. "Mommy, aku ingin memeluk Mommy," kata Glizart sambil memeluk tubuh Felica. "Cepat lepaskan, atau ayahmu akan membunuhmu untuk yang kesekian kalinya!" desis Felica sambil mencubit pipi anak ketiganya itu. "Aw ... biarkan saja, Daddy sudah mengganggu eksperimenku akhir-akhir ini," jawab Glizart yang terdengar manja. Felica hanya menggelengkan kepalanya, sifat Glizart berbanding terbalik dengan Nero yang merupakan ayah kandungnya. Sifat Glizart justru terlihat seperti Vicente yang selalu manja pada dirinya. Kadang Felica berpikir, apa Glizart dan Neveriaz adalah anak yang tertukar atau bukan. "Dan sekarang apa yang kau inginkan? Pekerjaanku belum selesai dan kalian pergilah dari ruanganku!" ujar Felica sambil mencoba berdiri namun kembali ditarik oleh Glizart. "Mom, barkan aku bermanja padamu hari ini. Aku ingin Mommy menciumi wajahku seperti saat masih kecil,"  Pletak "Aw, Salamander!" "Jangan meminta macam-macam atau aku akan menendangmu ke dalam kandang Sam!" Glizart hanya berdecih dan kembali memeluk tubuh mungil Felica yang seperti anak remaja itu, Salamander sudah ingin menarik Felica tetapi sebuah pisau kecil melewatinya menuju kepala anak ketiga Felica itu. Ctak Glizart dengan mudah menangkis pisau itu dengan pisau miliknya, ia menatap tajam pria berwajah dingin yang mirip dengannya. "Kali ini kau ingin mati dengan cara apa, Glizart?" tanya Nero yang sudah berada di depan meja kerja Felica. "Daddy, kau hampir melukai Mommy!" jawab Glizart sambil memeluk tubuh Felica sebagai perisainya. Nero hanya diam dan menarik tubuh Felica dalam pelukannya, ia tidak suka jika anaknya memeluk Felica seperti itu. Cemburu? Jelas Nero cemburu meski itu dengan anaknya sendiri, karena ia sudah berbagi Felica dengan ketiga saudaranya, maka ia tidak ingin berbagi kepada anaknya. Pertengkaran kembali terjadi, Salamander memilih keluar daripada mendengarkan ceramah ayah tirinya yang melibihi isi kamus yang berada di dalam kamarnya. Sedangkan Felica memilih duduk di pinggir jendela sambil mendengarkan ceramah Nero yang seperti tiada hentinya. Ia melihat luasnya taman dengan dekorasi yang cukup indah di pandang mata. Fokusnya mulai beralih saat ia melihat seseorang dengan jubah dan tudung putih bersandar pada salah satu pohon besar. Iris milik Felica mulai memfokuskan penglihatannya hingga orang itu melepas tudung miliknya. Surai putih lelaki itu mengingatkan dirinya pada White yang hampir tidak terlihat di dekatnya akhr-akhir ini, Felica berdiri dan melihat pria itu tersenyum ke arahnya. "Nona Felica, kau mendengarku?" Felica menoleh ke arah Nero lalu menggelengkan kepala, Nero hanya menghembuskan napasnya kasar melihat tingkah aneh Felica akhir-akhir ini. Felica kembali menoleh ke arah taman dan ia tidak mendapati siapapun di sana. "Siapa lelaki itu?" gumam Felica sambil mengerutkan dahinya, rasanya cukup familiar saat melihat lelaki itu tersenyum padanya. "Felica," panggilan Nero kali ini membuat Felica terkesiap dan merinding di saat yang bersamaan. Glizart memilih melarikan diri saat mendengar Ayahnya sudah memanggil Ibunya dengan nama. Kebiasaan Nero adalah memanggil Felica seperti seorang pelayan dengan sebutan Nona, tetapi jika Nero sudah memanggil Ibunya dengan nama saja ... sudah di pastikan Nero sedang benar-benar marah saat ini. "Ne-nero," jawab Felica sambil tersenyum manis ke arah pria yang sudah menjadi suaminya itu. "Kau terlalu banyak bekerja dan melupakan kesehatanmu," desis Nero. Felica langsung menggelengkan kepalanya kuat, ia tahu jika ia terlalu bekerja keras akhir-akhir ini dan memilih untuk tidur sendiri di kamar pribadinya. Namun, Nero sepertinya sudah tidak lagi menerima alasan Felica untuk terus bekerja dan tidur sendiri. "Kau harus istirahat!" "Ta-tapi-" "Kau ingin aku membuatmu tidak bisa berjalan selama seminggu?" "Ba-baiklah aku akan istirahat ... di kamarku?" Nero langsung menatap tajam Felica, ia tahu jika istrinya tidak akan mendengarkannya begitu saja. Felica harus dipaksa atau diseret sesegera mungkin dari ruang kerjanya, atau wanita itu akan kembali tenggelam pada lembar-lembar dokumen di atas meja. Nero menggendong Fleica begitu saja dan tidak memikirkan pekikan Felica yang membuat para pelayan dan mafioso tertunduk saat mereka lewat. Xavier datang tepat waktu saat Nero baru sampai di ujung lorong, pria yang terlihat seksi itu tersenyum lebar saat mengetahui Istrinya pasti kembali bekerja dan melupakan waktu. Felica berharap Xavier dapat menolongnya kali ini, tetapi sepertinya badai hari ini lebih lebat daripada sebelumnya. "Butuh bantuan?" tanya Xavier terdengar begitu menggoda. Nero tersenyum miring,"Kau bisa memegang kedua tangannya untuk diam di atas ranjang beberapa hari, Felica harus istirahat dan melupakan tumpukan kertas itu," jawab Nero, Xavier tertawa lalu menatap Felica yang semakin ketakutan saat Xavier mendekatinya. "Kau harus menyiapkan obat, Nero. Kau tahu aku tidak akan puas memasukinya jika hanya lima kali," bisik Xavier sambil menjilat cuping telinga Felica. Felica mengeratkan cengkraman tangannya di jas milik Nero, wanita itu merasa geli saat suaminya mulai menggoda iman. Nero hanya tersenyum miring lalu membawa Felica pergi di ikuti Xavier dengan siulan kemenangan. "Tidak perlu tegang seperti itu, Lica. Aku akan bermain 'aman' kali ini," ujar Xavier dengan seringaian di wajahnya. Salazar dan Neveriaz yang baru sampai dan melihat Felica sudah berada digendongan Nero hanya bisa menggelengkan kepala mereka pelan. "Butuh berapa lama Mommy istirahat?" tanya Salazar pada adiknya. "Delapan hari jika sudah bersama mereka berdua, tapi akan lebih jika Daddy dan Daddy Alucard ikut menghukum Mommy," jawab Neveriaz dengan senyum yang menyejukkan. Salazar hanya mengangguk mengerti, mereka kembali melanjutkan langkah mereka yang tertunda, tetapi Salazar baru menyadari sesuatu dan menghentikan langkahnya. "Oh s**t! Jadi mereka berempat pernah bermain secara bersamaan?!" ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD