Akan ada saatnya dia melupakan orang itu dan membuka hati, tapi bukan sekarang.
***
Cia menatap ketiga kakaknya itu dengan pandangan memelas membuat ketiga kakaknya mendengus kesal. Mereka bertiga tahu bahwa adiknya itu ingin mereka membujuk Alden agar Alden membatalkan perjodohannya karena dia belum siap untuk membuka hati untuk orang lain. Dia masih terlalu sayang dengan orang itu.
"Cia masih belum siap untuk buka hati buat orang lain, Dad. Jadi, lebih baik Dad batalin perjodohan itu. Cia udah besar, dia bisa nentuin pilihannya sendiri," ujar Lerdo membantu Cia membuat Cia tersenyum senang karena Lerdo membelanya.
Alden menghela napas melihat anak bungsunya yang sama sekali tidak menyentuh sarapan paginya. Kemarin, memang dia mengatakan kepada Cia bahwa perjodohan ini tidak ada sangkut pautnya dengan masa lalu anaknya itu, tapi sebenarnya ada.
Dia hanya tidak ingin anaknya itu tersinggung. Dia hanya takut Cia tidak bisa melupakan orang itu selamanya.
"Kenapa kamu gak mau sih? Karena apa? Karena kamu gak cinta sama dia? Cinta itu bisa datang kalau terbiasa, Cia. Dad gak pernah minta apa pun sama kamu. Tolong sekali ini aja kabulin permintaan Dad."
Cia mendelik tak suka pada Alden. Dia tidak peduli kini dia dianggap anak durhaka karena dia tidak menuruti kemauan Alden. Dia tidak suka Alden memaksa untuk menerima perjodohan ini.
Dia sudah besar, dia bisa menentukan pilihan yang baik untuk dirinya. Akan ada saatnya dia melupakan orang itu dan membuka hati, tapi bukan sekarang.
Tanpa menjawab perkataan Alden, dia langsung menyambar tas sekolahnya yang tergeletak di sofa dan kunci mobil yang di atas meja. Dia baru pertama kali pergi ke sekolah tanpa pamit kepada keluarganya.
Lauren mengernyitkan dahinya bingung, dia baru saja selesai mencuci perlengkapan dapur yang kotor, tetapi begitu dia keluar anak perempuannya sudah tidak ada di meja makan. Lauren menarik kursi lalu duduk di samping Alden sebelum berucap, "Cia ke mana? Kok udah pergi ke sekolah jam segini?"
Aldri—kakak kedua Cia—tanpa menjawab pertanyaan Lauren langsung berlarian keluar mengejar adik perempuannya itu. Walaupun dia berbeda 4 tahun dengan Cia, bisa dibilang dia yang paling dekat dengan Cia. Dia teringat bahwa adiknya itu belum sarapan dan lebih parahnya setiap hari Senin sekolah pasti mengadakan upacara bendera.
Aldri melajukan mobilnya dengan kecepatan di atas rata-rata menuju ke rumah makan kesukaan Cia. Dia tahu betul adiknya tidak bakalan menolak nasi goreng kesukaannya.
Setelah mendapatkan apa yang dia inginkan, Aldri kembali memacu mobilnya ke arah sekolah Cia untuk mengantarkan makanan yang sudah dibelinya.
Sekitar setengah jam dia baru sampai di sekolahan. Baru saja dia menginjakkan kakinya di dalam sekolahan, banyak siswi yang menatapnya dengan pandangan yang tak bisa dia artikan.
Dia mendengus mendengar beberapa siswi yang mulai menggosipinya, padahal dia bukanlah orang yang terkenal yang wajib digosipi. Seketika dia teringat bahwa dia adalah anak pemilik sekolah ini.
"Itu bukannya anak pemilik sekolah ya? Dia ngapain ke sini?"
"Gila, dia umur berapa sih? Kok kelihatannya kayak seumuran sama kita ya?"
"Pasti ke sini buat cari Cia lah. Masa cari kalian?"
Tanpa menghiraukan perkataan siswi-siswi yang sangat tidak penting, dia tetap berjalan menuju kelas yang sudah dia hafal di luar kepala. Sebuah senyuman manis terukir di bibirnya begitu menemukan sosok yang dia cari di pojok kelas. Dia berjalan menghampiri adiknya yang masih mengobrol ria dengan sahabat sahabatnya.
Jessy yang pertama kali menyadari kehadiran Aldri yang ada di kelasnya, langsung menyapa dan itu membuat Cia sukses menoleh ke arah belakang. Cia melotot mengetahui keberadaan Aldri yang sudah berdiri di sampingnya. Aldri meletakan sekotak nasi goreng di atas meja sehingga Cia mengubah pandangannya menjadi berbinar.
Vita tersenyum geli sembari berucap, "Aduh, tolong ya matanya dikontrol. Lihat mata lo kayak gitu gue 'kan jadi pengen gigit mata lo."
Keenam orang yang mendengar itu langsung membelalakkan matanya tak percaya. Vita ingin menggigit mata Cia? Ketika Cia hendak menanyakan maksud dari perkataan Vita, bel berdering nyaring menandakan semua murid sekolah mereka harus sudah berbaris rapi di lapangan untuk mengikuti upacara bendera.
Cia memanyunkan bibirnya sebal karena dia tidak dapat memakan nasi goreng kesukaannya itu, padahal cacing-cacing yang berada di perutnya sudah berteriak kelaparan.
Aldri terkekeh melihat Cia yang memanyunkan bibirnya sebal. Dia memberi kode kepada Jessy agar mengajak yang lainnya untuk ke lapangan terlebih dahulu karena Cia belum makan sama sekali sejak kemarin malam.
Jessy peka akan kode yang diberikan oleh Aldri langsung mengajak teman-temannya untuk ke lapangan terlebih dahulu. Dia juga tidak mau terlambat ke lapangan karena jika terlambat akan mendapatkan hukuman yang berat.
Aldri duduk tepat di depan Cia setelah kini di kelas hanya tersisa mereka berdua. Dia tidak bisa berhenti tersenyum menatap wajah adiknya yang lucu saat memakan nasi goreng kesukaannya dengan lahap.
Cia akhirnya merasa risih karena ditatapi terus-terusan oleh kakaknya, sehingga dia meletakkan sendok di kotak makan dan menatap kedua manik mata Aldri.
"Kenapa lihat aku terus deh, Kak?" tanya Cia kesal karena dia terganggu dengan tatapan Aldri.
Aldri terkekeh kecil sebelum berkata, "Kamu makannya lahap banget, kayak orang gak dapat makan satu tahun."
Cia mendengus mendengar ledekan Aldri. Tanpa membalas ledekan kakaknya, dia kembali menyuapkan nasi goreng ke dalam mulutnya. Hanya butuh waktu 10 menit, dia telah menghabiskan nasi goreng itu tanpa sisa sedikit pun.
Dia memasukkan kotak yang sudah kosong itu ke dalam plastik yang tadinya dibawa oleh Aldri. Aldri membelalakkan matanya begitu mendengar sebuah suara menjijikkan masuk ke indra pendengarannya.
"ADIK JOROKK!" teriak Aldri.
Cia terbahak melihat wajah Aldri yang mulai memerah sembari mengibas-ngibaskan tangan di depan wajahnya seperti sedang mengusir bau kentutnya.
"Emang bau ya, Kak?" tanya Cia polos membuat Aldri ingin sekali rasanya menelan adiknya itu hidup-hidup.
Aldri menggeram kesal sebelum berkata, "Pikirin aja sendiri."
Cia terbahak melihat Aldri kesal karena ulahnya. Aldri memutuskan untuk pulang setelah merasa perut adiknya itu sudah terisi penuh.
"Kak," panggil Cia membuat Aldri memberhentikan langkahnya dan menoleh ke belakang.
"Kenapa?" tanya Aldri.
"Thank you nasi gorengnya," jawab Cia sembari tersenyum manis.
Aldri ikut tersenyum lalu kembali berjalan menghampiri Cia membuat Cia mengerutkan keningnya heran. Cia mendengus sebal begitu mengetahui alasan Aldri berjalan balik lagi ke arahnya, ternyata hanya untuk mengacak rambutnya tidak jelas.
Aldri langsung berlari setelah mendengar dengusan dari adiknya karena dia tidak mau badannya akan memar-memar akibat cubitan adiknya.
1 ... 2 ... 3. dia menghitung dalam hati.
"KAK ALDRICH FERNATO!" teriak Cia nyaring membuat Aldri yang sudah berada di koridor tertawa lepas.
Cia mengerucutkan bibirnya kesal lalu memutuskan untuk berjalan ke lapangan, walaupun dia sudah terlambat untuk mengikuti upacara bendera. Cia mengumpat begitu ada yang menabraknya hingga dia terjatuh. Devan yang menabrak Cia tidak sengaja mengulurkan tangannya bermaksud menolong Cia.
Cia menepis tangan itu lalu bangun sendiri membuat Devan tersenyum sinis. Devan baru menyadari bahwa gadis ini adalah Alicia Fernita yang sering menjadi buah bibir sekolahannya. Devan teringat bahwa gadis ini sering dijadikan bahan taruhan, tetapi belum ada yang berhasil mendapatkan hati gadis ini.
Devan juga teringat kata-kata Reno, bagi siapa yang berhasil mendapatkan hati Cia maka akan mendapatkan uang sebanyak 5 juta dan sebuah motor balap. Devan tersenyum mengingat semua itu, dia rasa tidak ada salahnya mencoba mendekati Cia.
"Devano Archelaus Reagan," kata Devan mengenalkan dirinya, tetapi tidak diacuhkan oleh Cia.
Cia jelas mengetahui siapa orang yang menabraknya. Orang itu adalah Devano yang lebih dikenal dengan panggilan Devan. Teman seangkatan kakak ketiganya, yaitu Fred. Tetapi, dia tahu bahwa Devan adalah cowok yang wajib dijauhi.
Karena dia tahu persis bahwa Devan adalah seorang player.