Bab 7 - Senang, tapi Takut

1570 Words
“Charger punyaku ketinggalan di kantor. Aku boleh pinjam punya Kak Niko?” “Ya ampun, kirain minta tolong apa,” jawab Niko. “Boleh. Silakan ambil aja.” Pria itu kemudian membuka pintu kamarnya. “Lo ambil aja tuh, masih nyolok di stopkontak,” kata Niko lagi. Bina yang sebenarnya agak merasa aneh harus masuk ke kamar Niko, akhirnya buru-buru mengambil charger yang dibutuhkannya. Jujur, sudah sangat lama Bina tidak masuk ke ruangan ini. “Kak Niko lagi kerja, ya?” “Iya nih. Editan nggak habis-habis dan nggak akan pernah ada habisnya selagi gue nerima job. Mau bantu?” “Bantu? Aku nggak jago ngedit-ngedit kayak gitu,” balas Bina. “Aku cuma bisa ngedit konten buat media sosial karena memang itu kerjaanku, tapi kalau konten hasil jepretan fotografer kayak gitu ... aku boro-boro paham, Kak.” “Kalau gitu kapan-kapan hidupin media sosial gue yang kayak mati suri, ya. Gue hampir nggak ada waktu buat ngurusin media sosial, padahal portofolio itu penting. Sayangnya gue upload hasil kerjaan gue pada saat-saat tertentu aja saking nggak sempat, atau mungkin nggak niat? Padahal klien biasanya lihat-lihat medsos dulu, kan, sebelum akhirnya mutusin buat pakai jasa fotografer?” “Kapan-kapan kalau senggang aku bantu ya, Kak. Aku pikirin mau pasang tarif berapa dulu per kontennya, include caption atau nggak,” kekeh Bina. “Canda, Kak,” lanjutnya sebelum Niko menganggap serius perkataannya. “Hampir aja gue mau pasang tarif charger gue per jamnya berapa,” kekeh Niko, menanggapi candaan Bina. Normalnya sepupu memang begini, kan? Saling bercanda dan menanggapi lelucon. Bukan malah dingin dan saling diam selama bertahun-tahun. “Kalau gitu aku balik ke kamar dulu ya, Kak. Charger-nya aku kembalikan besok pagi.” “Jangan lupa sekalian tutup pintunya ya, Bin.” “Sip.” Setelah menutup pintu kamar Niko dari luar, Bina bergegas kembali ke kamarnya. Jujur, ada perasaan senang yang sulit dijelaskan dirinya bisa kembali akrab dengan Niko. Bina bersyukur Niko tidak ingat dengan apa yang dilakukan olehnya terhadap Bina saat mabuk kemarin malam. “Semoga jangan pernah ingat,” gumam Bina seraya men-charger ponselnya. Setelah itu, Bina berbaring di tempat tidur. Saat memejamkan mata, Bina terbayang ciuman yang sepupunya lakukan di kelab malam tadi. Namun, wanita itu segera menggeleng. Lupakan, Bin. Lupakan.... *** Keesokan harinya.... Bina bangun pagi seperti biasa. Saat jiwa malasnya sedang hilang, wanita itu akan lari pagi sekalian membeli sarapan di warung nasi uduk yang menjadi andalannya. Bina tidak setiap hari lari pagi seperti ini, bisa dihitung seminggu biasanya satu atau dua kali saja. Padahal orangtuanya bersama om dan tantenya mengelola rumah makan yang menyediakan sarapan juga, tapi Bina hampir jarang sarapan di rumah makan orangtuanya karena jaraknya lumayan jauh jika ditempuh jalan kaki atau lari. Dalam kata lain, minimalnya harus naik motor. Lagian saat ini warungnya tutup karena orangtua serta om dan tantenya sedang di luar kota. Tiba di rumah setelah menyelesaikan kegiatan lari paginya, Bina langsung mengambil kunci yang ia sembunyikan di tempat rahasia yang hanya keluarga yang tahu. Ia memang mengunci pintu dari luar sekalipun ada Niko di rumah. Lagian Niko pasti sedang tidur sehingga Bina mustahil lari pagi dalam keadaan rumah yang tidak dikunci. Setelah membuka pintu, Bina bergegas menuju meja makan yang satu ruangan bersama dapur. Di sana juga ada kamar mandi bersama yang biasa digunakan para penghuni rumah karena memang tidak ada kamar mandi pribadi di kamar masing-masing. Saat hari-hari biasa, antrean hectic di depan kamar mandi bukanlah sesuatu yang baru. Namun, berhubung para orangtua sedang ke luar kota, baik Bina maupun Niko terasa merdeka dari antrean. Terdengar suara air mengalir yang menandakan ada seseorang di dalam sana. “Kirain Kak Niko masih tidur, ternyata lagi mandi,” batin Bina. Niko keluar dari kamar mandi dan hanya memakai handuk yang dilingkarkan di pinggangnya. Jangan ditanya betapa semerbaknya aroma sabun pada tubuh pria itu, benar-benar sampai dengan baik hingga indra penciuman Bina. Entah apa rahasianya, Bina merasa pria itu kalau mandi berkali-kali lipat lebih harum dari wanita. Tentu saja Bina mustahil memperhatikan Niko sehingga sengaja berpura-pura sibuk menyiapkan piring dan sendok. “Lo beli apa buat sarapan?” “Nasi uduk. Aku pesan dua porsi, kok.” “Lo makan dua porsi?” “Aku memang sengaja beli dua buat Kak Niko satu. Kalau mau.” “Mau-lah. Gue pakai baju dulu.” Tidak sampai sepuluh menit, Niko sudah kembali. Pria itu mengambil posisi duduk di seberang Bina sehingga mereka sarapan sambil berhadapan. “BTW makasih nih,” ucap Niko sambil menyantap nasi uduknya. “Ternyata lo masih ingat kalau gue lebih suka telur dadar, bukan semur.” “Aku asal pesan aja, kok. Syukurlah kalau Kak Niko suka,” bohong Bina. Mana mungkin ia lupa soal pilihan makanan Niko? Sedangkan dulu mereka hampir setiap hari sarapan bersama. “Anggap aja ini bentuk terima kasih aku karena Kak Niko udah berbaik hati meminjamkan charger,” tambah Bina. “Ya ampun. Gitu doang.” Selama beberapa saat, mereka sibuk menyantap sarapan masing-masing. “Kayaknya hidup tenang banget ya kalau tiap pagi nggak antre di kamar mandi,” ucap Niko, kembali memecah keheningan di antara mereka. “Jujur, kadang gue bersyukur bukan kerja yang terikat jam harus berangkat pagi-pagi.” “Enak banget. Kalau aku mau nggak mau harus berjuang antre.” “Makanya gue kadang tidur di studio. Pagi gue berasa tenang kalau di sana,” kekeh Niko. “Andai aku diizinkan ngekos, pasti pagiku juga bisa lebih tenang dan nyantai. Apalagi kalau kosannya deket kantor yang tinggal jalan kaki aja.” “Jangankan lo yang cewek, Bin. Gue aja nggak dibolehin ngekos,” ucap Niko, malah adu nasib. “Tapi kalau dipikir-pikir pengeluaran gue pasti bengkak kalau sekalian ngekos. Sewa kosan yang gue ubah jadi studio aja udah lumayan.” “Dan akhirnya kita terjebak bertahun-tahun di rumah ini. Andai kakek atau nenek masih hidup, mau protes deh ... kenapa bikin rumah se-gede ini tapi kamar mandinya satu doang? Padahal bisa loh misalnya rumah ini dibikin jadi dua rumah sebelahan.” “Lo mau tahu kira-kira kakek bakalan jawab apa?” “Jawab apa dong?” tanya Bina penasaran. “Masih untung ditinggalin warisan. Kira-kira begitulah jawaban kakek.” “Tapi kakek memang luar biasa banget, sih. Di saat bangkrut, rumah ini tetap bisa diselamatkan sehingga kita semua punya tempat berteduh yang nyaman,” ucap Bina. “Hampir lupa, kakek juga ninggalin ruko yang sekarang jadi tempat orangtua kita mencari nafkah juga. Warung dua bersaudara.” “Lo bener, Bin. Kakek memang se-baik itu yang masih memikirkan masa depan anak cucunya. Makanya orangtua kita memilih bertahan di rumah ini. Mengelola rumah makan pun sama-sama. Ayah gue sama ibu lo itu kakak-adik yang nggak terpisahkan.” Niko melanjutkan, “Padahal bisa aja ya orangtua kita jual rumah ini terus uangnya dibagi dua dan beli rumah masing-masing, tapi mereka se-sayang itu sama rumah peninggalan kakek ini.” “Untungnya orangtua kita akur ya, Kak. Enggak pada serakah atau kepikiran pengen jadi yang paling menguasai. Semua paham porsi masing-masing.” “Nah, nggak tahu nih gue sama lo nanti gimana. Otomatis rumah ini, kan, jadi warisan buat kita ya. Apakah kita bakal saling rebutan hak dan menguasai?” Bina kemudian tertawa. “Apa-apaan coba rebutan warisan? Kurang kerjaan banget.” Niko pun tertawa selama beberapa saat. “Ngomong-ngomong lo pulang jam berapa, Bin?” tanya Niko kemudian. “Aku biasanya jam enam sore udah nyampe rumah. Memangnya kenapa, Kak?” “Oke, pas banget gue juga udah ada di rumah jam segitu. Nanti gue traktir makan malam, ya.” “Dalam rangka apa?” “Kok dalam rangka apa? Ini hal normal yang saudara lakukan. Apalagi kita sama-sama ditinggal ke luar kota sama orangtua.” Bina mengangguk-angguk sambil tersenyum. “Kalau begitu, aku mau nasi goreng.” “Udah ketebak sama gue. Lo pasti pengennya nasi goreng. Kalau gitu oke.” “Kak Niko tadi bilang pas banget jam enam udah ada di rumah. Memangnya mau ke mana?” “Ada kerjaan. Cuma motret pre-wedding dan temanya simpel, sih. Enggak akan nyampe seharian. Start-nya pun jam sepuluh. Cuma karena jaraknya lumayan, gue berangkatnya lebih awal.” “Pantesan jam segini udah mandi,” balas Bina. Tak terasa, piring mereka sudah sama-sama kosong. “Kalau gitu, sekali lagi makasih nasi uduknya ya, Bin. Gue mau siap-siap dulu,” pamit Niko sambil beranjak dari duduknya, meninggalkan Bina. “Charger-nya aku taro di meja samping pintu Kak Niko. Makasih ya, Kak,” ucap Bina, setengah berteriak karena Niko sudah berjalan menuju kamar. Tidak ada jawaban, tapi Bina yakin Niko mendengarnya. *** Setelah itu, interaksi Bina dengan Niko semakin akrab. Mereka semakin dekat, se-dekat dulu saat mereka masih belum dewasa. Rasanya itu seperti saling menemukan sesuatu yang hilang. Apalagi orangtua mereka belum juga kembali sehingga setiap harinya ... Bina dan Niko lebih sering berdua saat di rumah terutama malam hari karena siang harinya mereka melakukan aktivitas pekerjaan masing-masing. Makan bersama? Selama beberapa hari ini mereka hampir selalu sarapan dan makan malam bersama. Mereka saling mengandalkan satu sama lain. Bina juga memenuhi perkataannya untuk membantu menghidupkan kembali media sosial pekerjaan Niko. Hal yang membuat mereka semakin dekat. Kenyamanan? Jangan ditanya ... mereka sama-sama nyaman dengan kebersamaan ini. Jujur, Bina senang bisa akrab kembali dengan sepupunya. Hanya saja, Bina tak bisa memungkiri kalau dirinya juga merasa takut. Bina takut kenyamanan ini menghidupkan kembali api cinta yang pernah mati-matian Bina padamkan dulu. Aku nggak mungkin jatuh cinta lagi sama sepupuku, kan?
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD