Dulu, diledek pacaran sekaligus dilabrak oleh para wanita yang menyukai Niko sebenarnya bukan alasan utama Bina menciptakan jarak di antara mereka. Hal yang paling utama adalah … Bina pernah jatuh cinta pada sepupunya itu. Bina tahu itu salah sehingga memutuskan membuat jarak sejauh mungkin antara mereka. Sungguh, labrakan yang memang benar Bina alami, hanyalah alasan tambahan.
Namun, mulai malam ini Bina dan Niko sepakat untuk kembali akrab seperti dulu. Jujur, Bina tak pernah menyangka hal ini akan terjadi. Bahkan, sampai tadi siang mereka masih dua orang asing yang tidak saling akrab sekalipun tinggal serumah. Sekarang mereka telah sama-sama sepakat menjadi saudara yang akan saling mengandalkan satu sama lain.
“Perasaan terlarangku muncul tanpa permisi saat kami beranjak remaja. Aku berhasil mengubur dan menutupnya rapat-rapat. Sekarang sepuluh tahun lebih telah berlalu, seharusnya … perasaan itu udah lenyap bahkan mati,” batin Bina.
Tangan yang semula berjabat tangan, kini perlahan saling melepaskan.
“Sebenarnya gue udah lama, sih, pengen akrab lagi sama lo. Maksud gue, kita ini tinggal se-rumah loh. Aneh aja kalau serba canggung lebih dari sepuluh tahun,” ucap Niko. “Cuma lo-nya itu kayak benci banget sama gue. Sampai-sampai gue heran, apa gue punya salah sama lo? Lo itu kentara menghindar banget dari gue loh.”
“Aku malah merasa Kak Niko yang menghindar. Kak Niko juga cuek sampai-sampai aku sungkan buat menyapa atau ngajak ngobrol duluan.”
“Kalau begitu, kita udah sepakat, kan? Setelah ini kita beneran jadi saudara kayak dulu lagi,” kata Niko. “Lagian sama sepupu satu-satunya malah nggak akrab,” kekehnya.
“Satu-satunya? Mohon maaf sepupuku banyak dari pihak bapak. Ya walaupun nggak ada bedanya, sih. Enggak terlalu akrab soalnya mereka di luar kota semua.”
“Sepupu gue dari pihak ibu juga banyak.”
“Tapi nggak akrab juga, kan?”
“Iya juga. Kalau gitu pas, kan? Minimalnya sama sepupu yang serumah harus akrab.”
Ternyata, setelah sekian lama menjadi sepupu yang saling cuek satu sama lain, kini tak butuh waktu lama mereka bisa se-santai dan se-akrab ini.
“BTW udah nggak hujan, Kak.”
“Yuk pulang sekarang. Gue bayar bubur kacangnya dulu. Lo lap helm dulu deh.”
Bina mengangguk-angguk. Sambil memperhatikan Niko yang sedang membayar bubur kacang yang mereka santap, Bina mengelap dua helm menggunakan tisu.
Anehnya, Bina merasa senang bisa akrab lagi dengan Niko. Sesuatu yang sebelumnya ia kira mustahil, ternyata harinya datang juga. Hari di mana ia bisa kembali mengobrol dengan sepupunya seperti dulu.
“Semoga tetap begini. Semoga perasaan yang dulu pernah hadir … jangan sampai muncul lagi,” batin wanita itu.
***
Selin—ibu kandung Bina, saat ini sedang duduk mengobrol di beranda depan dengan sang kakak, Baskara—ayah kandung Niko. Bahkan, di situ juga ada Puri, istri Baskara alias ibu kandung Niko. Mereka duduk mengobrol bertiga. Sedangkan Hamdani—bapaknya Bina sedang di luar lantaran ada urusan.
Dua keluarga itu memang sedang berada di kampung halaman Hamdani. Ada kerabat yang menikahkan anaknya sehingga mereka datang untuk kondangan, bantu-bantu sekaligus mempererat tali persaudaraan. Selain itu, mereka juga menganggap ini sebagai liburan karena memutuskan tidak langsung pulang sekalipun acara hajatannya sudah selesai.
“Mas Bas sama Mbak Puri kadang suka khawatir tidak, sih?” tanya Selin, tiba-tiba mengubah topik pembicaraan lebih serius. Padahal sebelumnya mereka sedang membahas hal-hal yang santai.
“Khawatir soal apa, Sel?” Puri bertanya.
“Ini tentang Bina dan Niko. Kita meninggalkan mereka berdua di rumah, saya juga yakin mereka tidak akan macam-macam terlebih Niko pasti bisa menjaga Bina. Tapi kadang-kadang terbesit pikiran buruk di kepala … bagaimana kalau mereka berbuat aneh?”
“Selin, kamu pasti baru selesai nonton berita negatif, ya?” tanya Baskara.
“Mas Bas tahu dari mana?”
“Pasti. Kamu pasti habis nonton berita.”
“Memang benar, saya barusan lihat berita kakak beradik terjerat hubungan inces sampai hamil segala. Seketika langsung kepikiran Bina dan Niko. Padahal tahu mereka tidak mungkin begitu, tapi pikiran buruk sialan ini ya ampun.”
“Kita sering bahas ini sejak mereka beranjak remaja, kan?” kata Puri. “Dulu malah kita pernah bahas sampai ke tahap salah satu dari kita harus pindah rumah. Terusnya tidak jadi karena Bina dan Niko itu paham kalau mereka saudara, jadi tidak boleh ada hubungan cinta-cintaan di antara mereka.”
“Kenyataannya mereka juga paham. Buktinya sampai sekarang aman-aman aja. Jangankan jatuh cinta, mereka itu sengaja menjaga jarak sejak dulu. Kita semua tahu itu,” ucap Baskara.
“Bener juga, mereka itu seperti orang tidak kenal, ya,” balas Selin. “Saya ini beneran terpengaruh berita deh, sampai-sampai berpikir yang tidak-tidak.”
“Sebenarnya wajar, sih, kita berpikir yang tidak-tidak. Bina dan Niko ini udah dewasa, tapi kembali lagi … jangankan berbuat aneh, mereka aja saling cuek dan tidak saling menyapa,” ucap Puri. “Padahal ada banyak kesempatan buat mereka melakukan aneh-aneh, tapi setelah mereka se-dewasa sekarang, terbukti mereka bukan yang seperti itu. Buktinya aman-aman aja, kan?”
Baskara menimpali, “Ibu benar. Jujur, ayah pun di satu sisi takut, tapi di sisi lainnya ayah juga terkadang rindu mereka akrab seperti dulu. Sejatinya mereka itu saudara yang seharusnya bisa saling mengandalkan satu sama lain. Seperti saya dan Selin aja. Cuma tidak bisa dipaksa, mereka maunya seperti itu.”
“Padahal dulu mereka akrab banget, ya. Jadi ingat pas Bina jatuh, tanpa ragu Niko gendong dan itu manis banget,” kata Puri. Tentunya manis yang dimaksud adalah interaksi sebagai saudara.
“Itu sebelum banyak ledekan yang bikin mereka kurang nyaman, ya. Diperparah dengan tekanan demi tekanan yang Bina dapatkan. Dia beberapa kali mengadu dilabrak sama perempuan-perempuan yang naksir sama Niko. Kalau ingat, kasihan banget Bina waktu itu,” sambung Puri.
“Sebaiknya kita semua buang pikiran buruk sejauh mungkin. Bina sama Niko tidak mungkin berbuat aneh. Lagian jangan lupa, Niko sudah punya calon istri. Rencananya, kan, Niko akan menikahi Velia tahun depan,” kata Baskara. “Hanya tinggal menunggu waktu untuk pertemuan dua keluarga,” tambahnya.
Selin kemudian berbicara, “Saya tahu betul di negara ini tidak ada undang-undang yang melarang bagi sepupu untuk menikah. Tapi yang kita tekankan di sini adalah ... keluarga kita sejak dulu sudah sepakat untuk melarang itu. Dari segi etika, budaya, norma hingga alasan kesehatan.”
Selin melanjutkan, “Lagian ini bukan soal legalitas, tapi lebih ke nilai-nilai yang diwariskan dan persepsi sosial. Jadi mau bagaimanapun ... Niko itu seperti anak saya, makanya jangan sampai ada sesuatu di antara Bina dan Niko. Mas Bas sama Mbak Puri pasti paham dengan maksud saya.”
“Iya, Selin. Kita udah sepakat dengan hal itu. Bina juga seperti anak saya,” balas Puri.
“Astaga. Apa-apaan kita ini? Bisa-bisanya berpikir sangat jauh padahal faktanya Bina sama Niko jangankan punya hubungan istimewa, mereka ini seperti orang tidak saling kenal,” ucap Selin. “Tuh kan, saya ini khawatir sendiri tapi akhirnya sadar sendiri juga,” lanjutnya, terkekeh.
“Saya sama Puri juga khawatir. Tapi mari kita sama-sama percaya Bina sama Niko tidak mungkin aneh-aneh,” kata Baskara.
“Tunggu Niko nikah sama Velia. Dijamin kita semua bakal jauh lebih tenang,” pungkas Puri.
***
Waktu menunjukkan lewat pukul dua belas malam saat Niko duduk di kamarnya. Niko tidak bohong tentang alasannya menolak ikut ke luar kota bersama para orangtua. Ia yang bekerja sebagai fotografer freelance dan serba sendiri dalam mengerjakan apa pun … nyatanya memang banyak pekerjaan yang mengantre dibereskan. Terutama list editannya yang lumayan panjang.
Saat ini mata Niko fokus menatap layar komputer. Ia sedang mengedit foto sepiring seblak dari sebuah restoran UMKM yang beberapa hari lalu diambilnya. Cahaya layar memantul di wajahnya, kontras dengan kamar yang remang.
Niko mengatur warna, menghapus noda kecil di piring dan tidak lupa menyesuaikan pencahayaan agar terlihat hangat dan menggugah selera. Setelah menyimpannya dengan nama file yang mudah dicari, Niko lalu menyandarkan punggungnya pada kursi putar yang didudukinya.
“Sialan, jadi pengen mi instan,” gumam Niko yang kemudian beranjak dari duduknya. Ia berjalan menuju dapur dan harus menelan kekecewaan lantaran persediaan mi instan habis. Akhirnya, Niko memilih membuat kopi saja.
Selesai membuat kopi, Niko menenteng cangkir itu ke kamar. Tahukah yang membuat Niko heran? Di depan pintu kamarnya, ada Bina yang sedang berdiri dan kentara sekali kalau sepupunya itu penuh keraguan antara mengetuk pintu kamar Niko atau jangan.
“Lo belum tidur?” tanya Niko yang membuat Bina terkejut sehingga langsung memutar tubuhnya. “Ngapain lo berdiri di situ? Nyari gue?” lanjutnya.
“A-aku ragu mau ngetuk pintu atau jangan. Takutnya ganggu Kak Niko yang udah tidur,” jelas Bina. “Ternyata Kak Niko belum tidur.”
“Ada apa?” Niko bertanya sambil berjalan mendekat ke arah Bina.
“Aku … mau minta tolong, Kak.”
Niko mengernyit. “Minta tolong apa?”
Anehnya, kenapa Niko jadi deg-degan?