Setelah ciuman berakhir, Bina langsung meraih tangan Niko dan mengajaknya meninggalkan lantai dua. Bina yang memang baru pertama kali datang ke tempat itu, agak kesulitan menemukan pintu untuk keluar. Namun, Niko yang mengerti segera menukar posisi mereka. Kali ini pria itu yang memimpin langkah sambil tetap bergandengan tangan.
Niko membawa Bina keluar dari tempat berisik itu. Hanya saja, tidak ada pembicaraan di antara mereka. Kecanggungan sangat kentara, tapi mereka tetap bersama-sama menuju tempat motor Niko diparkirkan.
Pada dasarnya, ciuman tadi sama sekali tidak direncanakan, bukan?
Sampai pada akhirnya, mereka sama-sama naik ke motor. Niko kemudian mulai mengemudikan motornya, sedangkan Bina duduk di jok belakang dengan perasaan yang tidak menentu.
Ini malam tergila….
Waktu menunjukkan pukul sebelas malam saat motor yang Niko kendarai terpaksa berhenti di depan warung angkringan pinggir jalan yang mereka lewati. Bukannya apa-apa, gerimis yang sedari tadi mewarnai perjalanan hening mereka tiba-tiba berganti menjadi hujan yang sangat deras.
Berhubung perjalanan pulang masih panjang, Niko memutuskan berteduh di warung angkringan yang menjual bubur kacang hijau. Bina dan Niko buru-buru turun dan langsung mengambil posisi duduk. Kebetulan tidak ada pengunjung selain mereka berdua, sehingga bebas bisa memilih tempat di mana saja.
Setelah memesan dua mangkuk bubur kacang hijau, karena tidak enak jika sekadar menumpang berteduh tanpa memesan … saat ini mereka sedang menunggu pesanan dihidangkan.
“Gue yakin hujan deras adalah jalan supaya kita bisa membahas yang tadi.” Niko akhirnya membuka pembicaraan. “Gue juga yakin kita sama-sama butuh penjelasan,” tambahnya.
Jujur, Bina deg-degan. Namun, ia berusaha terlihat santai dan biasa saja.
“Sori tadi gue terpaksa cium bibir lo karena nggak punya pilihan selain ngelakuin itu,” ucap Niko. “Gue rasa itu satu-satunya cara supaya Velia percaya,” lanjutnya.
“Aku paham, Kak. Karena aku pun melakukan hal yang sama.”
Niko mengernyit. “Maksud lo?”
Pembicaraan mereka otomatis terhenti saat dua mangkuk bubur yang hangat disajikan di hadapanan mereka. Setelah berterima kasih pada penjualnya, kini mereka bisa mulai menyantap bubur kacangnya sambil melanjutkan pembahasan yang sempat terjeda.
“Tadi maksud lo apa, Bin?”
“Untuk pertama kalinya aku merasa dunia memang sempit,” jawab Bina. “Secara nggak terduga, ternyata ada pacarku di sana. Aku baru sadar pas Kak Niko ngajak aku pergi. Tatapan kami bertemu dan dia kayak kaget banget lihat aku di sana, apalagi aku sama cowok karena dia memang nggak tahu kita sepupuan.”
Bina lanjut menjelaskan, “Aku tadi spontan mengulang ciuman, berharap dia melihat dan ya … dia melihat. Wajahnya emosi banget. Tapi dia nggak berusaha ngejar, karena ada cewek yang duduk di pangkuan dia.”
“Gila, kenapa lo baru bilang?”
“Aku cuma pengen pergi dari tempat itu dulu,” jawab Bina. “Setelah dipikir-pikir, aku merasa nggak cocok berada di sana. Atau mungkin belum terbiasa aja?”
“Bin, seharusnya lo bilang ada pacar lo di situ. Apalagi dia sama cewek. Gue bisa sekalian hajar dia.”
“Aku nggak suka huru-hara. Jadi mending kasih lihat alasan bisa putus, terus pergi,” jelas Bina. “Kalau ada jalan mudah tanpa keributan kenapa pilih jalan huru-hara?” lanjut wanita itu.
Bina kemudian merogoh tas untuk mengambil ponselnya. “Sebentar, Kak. Aku yakin dia nelepon aku.”
Sambil menunggu Bina memeriksa ponselnya, Niko sejenak mulai menyantap bubur kacang di hadapannya.
“Tuhkan, ada enam panggilan nggak terjawab. Dia juga kirim spam chat.”
“Boleh lihat?”
Bina tanpa merasa keberatan menyerahkan ponselnya pada Niko. Kali ini wanita itu yang mulai menyantap bubur kacang miliknya.
Aku salah menilai kamu, Bina!
Aku pikir kamu cewek baik-baik. Lagi ngapain kamu di diskotik, hah? Jual diri kah?
Soalnya kalau diajak ciuman sama aku, kamu pasti nggak mau. Satu kali pun nggak pernah mau. Tapi kenapa sama cowok itu mau? Dia bayar, ya? Kalau begitu fix kamu lagi jual diri.
Kita putus aja deh. Inget ya, kita putus dan aku yang mutusin kamu.
Sumpah, ilfeel banget. Sok cantik jadi orang!
Itu adalah spam chat dari pacar Bina yang sekarang telah resmi menjadi mantan.
“Sakit jiwa nih orang,” ucap Niko. “Teman lo, kok, bisa-bisanya ngenalin lo sama cowok kayak gitu. Tega banget.”
“Mungkin temenku juga nggak tahu kalau Jovan se-redflag itu.”
“Jadi namanya Jovan? Dan temen yang ngenalin lo sama Jovan itu … yang selalu berangkat dan pulang kerja bareng lo?”
“Bukan. Ini temen kuliah yang kenalin. Sebenernya nggak deket-deket banget. Aku juga menyesal, sih.”
“Tadi lo bilang belum lama pacarannya. Tepatnya berapa lama?”
Jujur, Bina merasa seperti diinterogasi. Namun, ia tetap menjawabnya.
“Sekitar empat atau lima bulan, mungkin. Cuma sejak awal aku udah merasa dia toxic banget, makanya selalu cari alasan buat menolak diajak ketemuan.”
“Ini chat maksudnya beneran? Dia nggak pernah kiss lo?”
“Kenapa memangnya? Aneh ya, Kak?” Bina malah balik bertanya.
“Bina, untung lo nggak diapa-apain sama Jovan-Jovan itu.”
Bina mengangguk-angguk. “Ya, aku terselamatkan. Dan makasih ya, Kak. Malam ini bukan cuma bikin Kak Niko lepas dari pacar yang selingkuh itu, tapi bikin aku lepas dari Jovan juga.”
Bina melanjutkan, “Jujur awalnya ragu pas Kak Niko minta tolong supaya aku mau jadi pacar pura-pura, soalnya nggak masuk akal banget. Terlepas dari hal gila yang kita lakukan, seenggak aku bisa bernapas lega putus dari Jovan.”
Jeda selama beberapa saat, mereka lanjut menyantap bubur kacang masing-masing.
“Ah, aku baru inget. Dia pernah minjem uang. Memang nggak banyak, sih. Cuma aku yakin kalau udah begini dia nggak bakal balikin uangnya. Ya udahlah, aku juga nggak bakalan nagih.”
“Lo bener, pasti nggak bakalan dibalikin,” balas Niko. “Tapi nggak apa-apa. Berapa pun itu … anggap aja harga yang harus lo bayar supaya bisa lepas dari dia. Cuma yang harus lo catat, lain kali jangan gampang minjemin duit sama siapa pun terutama cowok.”
“Jangan lagi-lagi deh,” tambah pria itu.
“Terima kasih wejangannya, Kak.”
“Dan soal ciuman tadi—”
“Gimana kalau kita nggak usah mengungkit itu lagi?” potong Bina. Bukankah sebaiknya ciuman tadi tidak perlu dibahas lagi? Itu hanya akan membuat mereka kembali canggung, padahal interaksi mereka sudah santai sejak membahas Jovan.
“Lagian kita sama-sama tahu yang tadi itu cuma formalitas aja,” tambah Bina.
Ciuman tadi memang sekadar formalitas, tapi kalau boleh jujur … rasa nikmatnya itu asli. Mereka sama-sama merasakannya, hanya saja terlalu malu untuk mengakuinya.
“Baiklah, itu awkward banget, tapi mari sama-sama anggap itu nggak pernah terjadi. Mari coba melupakannya,” balas Niko.
Tak lama kemudian, mangkuk mereka sama-sama kosong. Hanya saja, mereka tidak langsung pulang. Terlebih hujan masih cukup deras yang artinya mereka masih perlu waktu lebih lama untuk berteduh di tempat itu.
“Bina, setelah sekian lama. Kita baru begini lagi, ya?” ucap Niko. “Sadar nggak, sih, dulu kita akrab banget?”
“Sepuluh tahun atau bahkan lebih dari itu, kita ini bisa dibilang akrab selayaknya sepupu aja. Coba Kak Niko inget nggak, apa yang bikin kita jaga jarak banget sampai menjelma jadi asing dan kayak orang nggak kenal?”
“Kita diledekin pacaran, kan? Soalnya ke mana-mana sering berdua. Berangkat sama pulang sekolah pun berdua.”
“Ada alasan lain, Kak. Aku malas berhadapan sama cegil-cegil-nya Kak Niko yang hampir tiap hari ada aja yang melabrak aku supaya jangan deket-deket Kak Niko. Awalnya aku … oh ya udah santai aja, risiko punya sepupu ganteng dan most wanted di sekolah, tapi lama-lama kok ganggu? Jadi sekalian aja bikin jarak buat kita. Eh, jaraknya malah keterusan sampai kita dewasa.”
Bina melanjutkan, “Kak Niko juga jadi dingin dan cuek banget, kan, sama aku? Jadi aku pikir … ya udah selamanya lebih baik begini. Menjaga jarak.”
“Mulai sekarang, gimana kalau kita menghapus jarak itu? Sejatinya kita ini saudara. Yuk, kembalikan keakraban kita yang dulu.”
“Caranya?” tanya Bina.
“Ya kita berinteraksi selayaknya saudara aja. Gue jamin nggak ada yang melabrak lo kayak dulu lagi. Sekarang kita sama-sama dewasa yang sebaiknya nggak usah peduli sama penilaian orang, kan? Mari menjadi saudara yang akrab seperti dulu.”
Bina masih terdiam.
Dengan pandangan yang saling bertemu, Niko masih berbicara, “Mari saling mengandalkan sebagai saudara. Jangan sungkan kalau lo perlu bantuan, gue pun nggak akan ragu buat minta bantuan lo. Gimana?”
Bina tersenyum kemudian mengulurkan tangannya. “Deal.”
Niko pun membalas uluran tangan sang sepupu. “Deal.”
Mulai malam ini, dua sepupu itu kembali sepakat untuk menghapus jarak, saling mengandalkan selayaknya saudara. Tanpa tahu kalau ini akan menjadi awal dari segalanya. Awal dari kisah yang tak seharusnya dimulai.