Bab 3 - Tolong!

950 Words
Saat kecil, Bina dan Niko selayaknya saudara sepupu pada umumnya yang akrab dan sering menghabiskan waktu bersama lantaran tinggal se-rumah. Terpaut usia tiga tahun, mereka bersekolah di gedung yang sama sejak SD hingga SMA. Bahkan, ke sekolah pun Bina berboncengan dengan Niko. Mereka sudah seperti amplop dan prangkonya. Namun, semuanya berubah sejak banyak yang meledek mereka berpacaran. Jujur, itu hanya lelucon tapi tetap saja sangat tidak nyaman. Belum lagi para wanita yang naksir pada Niko seolah menganggap Bina musuh bebuyutan. Entah berapa wanita yang pernah melabrak Bina hanya karena dekat dengan Niko, saking banyaknya sampai tak terhitung. Semenjak saat itulah Bina dan Niko mulai menjaga jarak demi kebaikan dan kenyamanan. Apalagi saat Niko lulus SMA dan masuk kuliah, jarak di antara mereka semakin membentang sekalipun tinggal serumah. Tak tanggung-tanggung, jarak yang mereka jaga malah lebih dari sepuluh tahun hingga mereka dewasa seperti sekarang. Bina dan Niko sudah seperti orang asing yang tidak saling mengenal. Bahkan, seandainya mereka berpapasan entah itu di dalam maupun luar rumah … tidak ada yang menyapa lebih dulu. Mereka benar-benar seperti tidak saling kenal. Tidak ada kehangatan lagi di antara mereka seperti saat mereka masih kecil. Intinya dulu mereka pernah akrab dan sangat dekat hingga ke tahap saling mengandalkan. Sampai kemudian mereka menjadi jauh se-jauh-jauhnya dan tak bisa menjangkau satu sama lain. Niko yang tidak banyak bicara sedangkan Bina yang enggan untuk memulai pembicaraan. Rasanya seperti ada tembok penghalang di antara mereka. Tembok yang Bina bangun se-tinggi mungkin terlebih saat dirinya mulai menyadari ada perasaan tak biasa yang ia rasakan untuk Niko. Perasaan yang pada akhirnya Bina putuskan untuk pendam selamanya lantaran sadar itu sesuatu yang salah. Apalagi Niko sudah punya calon istri. Lalu bagaimana dengan yang terjadi tadi malam? Tentu Bina juga akan memendamnya sambil berharap Niko tak pernah mengingatnya. Lagian andai pria itu tidak mabuk parah, Bina yakin hal yang semalam itu tidak mungkin terjadi. “Sebenarnya Kak Niko mau bicara apa?” Bina berbicara lagi karena Niko malah terdiam selama beberapa saat, tampak ragu untuk melanjutkan ucapannya. Padahal Bina sudah sangat penasaran. Mengingat Niko tak pernah begini sebelumnya, bukankah jelas bahwa yang akan pria itu bicarakan adalah hal serius? “Lo tahu gue punya pacar, kan?” tanya Niko. Bina mengangguk-angguk. “Aku pernah dengar soal itu.” “Kami berpacaran selama empat tahun.” “Aku nggak tahu kalau se-lama itu. Lumayan juga, ya,” balas Bina berbohong, padahal ia sangat tahu bahkan sejak Niko membawa sang pacar ke rumah untuk pertama kalinya. Bina bahkan tahu nama pacar sepupunya yaitu Velia. “Lo pernah ketemu?” “Boro-boro,” jawab Bina. Lebih tepatnya ia hanya mengintip dari jauh, bukan secara terang-terangan menyapa langsung Velia. “Ah, benar juga. Setiap gue bawa Velia ke rumah, timing-nya selalu pas lo lagi nggak ada di rumah. Kalaupun ada, secara kebetulan lo lagi tidur karena nggak keluar-keluar kamar,” kata Niko. “Tapi ya udahlah, buat apa juga lo ketemu Velia, kan? Kalaupun lo kebetulan keluar kamar, bukankah aneh kalau tiba-tiba gue memperkenalkan Velia sama lo?” “Tentu aneh, karena kitanya aja kayak orang nggak saling kenal, Kak.” “Nah itu dia maksud gue. Cuma yang pasti bapak sama ibu lo udah gue kenalin sama Veli, tentunya nyokap sama bokap gue juga,” jelas Niko yang jujur saja masih belum bisa Bina pahami. Maksudnya apa, sih, tiba-tiba membahas Velia? “Kak, maaf banget nih. Aku nggak paham kenapa Kak Niko tiba-tiba mampir ke kantorku, ngajak aku pulang bareng terus tiba-tiba bahas Velia-Velia itu.” “Velia selingkuh,” jawab Niko cepat. Bina spontan menutup mulutnya menggunakan telapak tangan lantaran terkejut. “Entah sejak kapan dia main belakang, yang pasti gue baru tahu tadi malam,” jelas Niko kemudian. “Sebentar, jadi itu yang bikin Kak Niko mabuk?” batin Bina. “Semalam saat menangkap basah dia selingkuh, gue langsung putusin dia. Gue batalin rencana nikah tahun depan. Gue pikir dia tahu diri mengingat kesalahan dia se-fatal itu, tapi lo tahu apa yang dia lakukan? Dia datang ke rumah dan berjam-jam nunggu gue keluar rumah. Dia pikir gue mau ketemu dia?” Niko melanjutkan, “Entah berapa jam dia nunggu di luar. Gue rasa hampir seharian ini. Intinya gue menolak keluar rumah, terserah dia mau kepanasan atau kehujanan. Gue nggak peduli.” Sungguh, Bina masih berusaha mencerna apa yang Niko ceritakan padanya. Maksud Niko apa, sih, memberi tahu Bina seperti ini? Niko butuh teman curhat yang akan menghiburnya atau sekadar ingin didengarkan? Bina benar-benar tak paham. “Terus pada akhirnya Kak Niko keluar dan menemuinya?” tanya Bina tak lama kemudian. “Enggak. Gue terpaksa kirim chat kalau gue bisa ketemu dia tapi nanti malam. Akhirnya dia pergi.” “Terus hubungannya sama aku?” Ekspresi wajah Bina kentara sekali merasa heran. “Tolong bantu gue.” Bina mengernyit. “Eh? Tolong apa?” “Tolong dampingi gue ketemu Velia malam ini.” Ini lebih mengejutkan. “Velia nggak pernah tahu siapa lo karena kalian nggak pernah ketemu. Dia juga nggak tahu kalau kita sepupuan. Lo hanya perlu berpura-pura jadi pacar baru atau selingkuhan gue. Jadi biarlah dia berpikir kalau bukan dia aja yang selingkuh, tapi gue juga,” jelas Niko “Soalnya kalau nggak digini-in … Velia pasti bakal datang tiap hari ke rumah buat membujuk supaya kami balikan.” Niko melanjutkan, “Gue tahu se-gigih apa dia. Maka dari itu kehadiran lo sebagai gandengan baru gue bisa memutus alasan dia buat minta balikan.” Bina masih terdiam, saking tidak habis pikir dengan apa yang ia dengar barusan. Kenapa harus aku? “Serius Bina, gue merasa cuma lo yang bisa bantu gue,” ucap Niko seolah bisa membaca pikiran Bina. “Lo mau, kan, jadi pacar pura-pura gue semalam aja?”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD