Tiga kali tongkat ini mendarat kuat di punggung suamiku. Membuat tubuh Mas Daniel ambruk mencium aspal.
Aku mendecih melihat kondisi tongkat baseball. Kurasa pukulan ini terlalu keras, hingga tongkat kesayanganku sedikit retak.
Lihatlah Mas, bahkan aku lebih khawatir dengan tongkat ini dibanding dirimu.
"Apa dia masih bernafas?"
Paman berjongkok membalik badan Mas Daniel, mendekatkan ujung jari dihidungnya.
"Masih Non," ucapnya sambil mengangguk.
"Huh.. sayang sekali," aku mendecih kecewa. "Urus dia Paman, aku masih ada pekerjaan lain."
Paman menggangguk tegas, sambil membangunkan tubuh Mas Daniel.
Aku berjalan menuju mobil, kulihat diujung gerbang security memandang tajam kearahku. Kubalas dengan anggukan serta senyum kecil lalu memasuki mobil.
Mobil melaju dengan ugal-ugalan, tak tau arah. Perlahan air mata meluncur dengan deras, tanganku bergetar mengingat kejadian menjijikan itu.
Rentetan masa lalu terus berputar diotakku. Membuat kepala berdenyut kencang.
"s**t!"
Dejavu.. dan rasanya sakit sekali.
"Ayah.. kini para penghianat mulai hadir di hidupku!!" aku menjerit pilu dengan badan bergetar hebat seirama isakan menguasai diri.
Sesak didada merasuki jiwa, air mata seolah belum habis. Menerobos dengan bebas. Membuat pandangan menjadi buram.
Ciiiittt! Menginjak pedal rem dalam-dalam. Hampir saja aku menabrak orang yang sedang menyebrang jalan.
Sepertinya aku harus kembali kerumah. Dari pada membahayakan diri sendiri. Jika aku mati hari ini pasti si gundik dan suamiku akan berbahagia. Itu tak boleh terjadi!
Pagi hari takku dapati senyum manis dan kecup hangat dikening ini seperti biasanya. Mengelilingi sudut kamar, hatiku berdenyut ngilu.
Ah sangat menyebalkan, mengetahui hati ini masih memikirkan dia.
Berjalan menuju toilet, melepas satu demi satu pakaian yang melilit ditubuh, lalu menenggelamkan badan didalam bath-up.
Hatiku kembali perih, sayatan dihati kembali basah. Mengingat ditempat ini kami selalu menghabiskan waktu berdua.
"Hhhh."
Kudapati Mas Daniel terduduk dimeja makan. Berat kaki ini untuk melangkah, namun harusku paksakan. Tak ingin terlihat rapuh dihadapannya.
"Hai sudah bangun," ucapnya seraya bangkit dari duduknya.
Aku menatapnya tajam, membuat Mas Daniel salah tingkah.
Sudut bibir dan hidungnya kulihat biru menghitam. Dikeningnya terdapat perban yang tertempel perekat.
Tiba-tiba perasaan menyesal menyelusup hati.
Kenapa kamu terlihat baik-baik saja pagi ini? Seharusnya kemarin aku membunuhmu Mas, pasti hatiku akan lega.
Aku menduduki kursi tepat didepannya. Seperti biasa Mas Daniel menyodorkan sandwich telur favoritku. Seolah kejadian kemarin tidak pernah ada.
"Ayo dimakan Say," ucapnya dengan senyum kaku.
Beginikah permainanmu? Selalu membodohiku.
"Bi.. buatkan aku sarapan," titahku pada Bi inah yang mengelap sisa air di westapel.
Bi Inah menautkan alis, melihat aku dan sandwich bergantian.
"Sekarang," ucapanku membuatnya tersentak. Tanpa banyak bicara dia mengerjakan apa yang kuperintahkan.
Seminggu pasca kejadian itu aku menutup diri dari Mas Daniel. Selalu memasuki kamar dan menguncinya tanpa memberi dia kesempatan bicara sedikitpun.
Aku membereskan beberapa berkas laporan penjualan, lalu melangkah keluar kantor. Jam menunjukan pukul 21:00.
Aku melewati ruang tamu, saat mendapati Mas Daniel terduduk diatas sofa.
"Fi.. Mas mau bicara," ucapnya seraya bangkit dari duduknya.
Aku membalikan badan, dengan bibir tersungging tipis.
"Aku benar-benar tidak bisa kehilanganmu," ucapnya dengan wajah memelas.
Ucapannya membuatku muak. Ingin sekali memakinya. Namun, tubuhku teramat lelah. Malas bicara, lalu kembali arah meneruskan langkah.
Terdengar Mas Daniel berlari dan memelukku dari belakang, dengan tubuh yang bergetar.
"Aku rela melakukan apa saja, asal kau kembali," suaranya disertai isakan. Sangat meyayat hati.
Aku membeku, hatiku teriris. Dilema dengan hati ini.
Perlahan pelukan Mas Daniel melonggar, membalik tubuhku hingga kami berhadapan.
"Kamu boleh memukulku sesuka hati, asal jangan mendiamkan aku seperti ini," suaranya terdengar sendu.
Kedua tangannya memegangi wajahku. Memaksa aku untuk melihat air mata buayanya.
Aku memasang wajah datar tanpa expresi apapun.
Muak dengan keadaan. Aku menepis kasar kedua tangannya. Hendak melangkah pergi, namun dengan cepat tangan Mas Daniel mencengkram tanganku. Perlahan tubuhnya meluruh bersimpuh di kakiku.
***ofd
Mas Daniel masih bersimpuh, disertai isak tangis. Tangisnya pecah dengan badan yang bergetar hebat.
Rusak sudah semua cintaku Mas.
"Tolong jangan siksa perasaanku, ampuni aku. Kumohon," ucapnya terbata-bata.
Siapa disini yang lebih tersiksa? Bukankah aku. Mengapa dia seperti orang yang paling tersakiti.
"Aku akan melakukan apa pun. Kumohon," sambungnya lagi.
"Sudah kah?" Tanyaku dengan suara datar.
Mas Daniel mendongakan kepala, dengan mata penuh penyesalan.
"Sekalipun kau menangis darah, itu tidak akan mengubah apapun," ucapku sambil menatap dalam matanya.
Mas Daniel terperangah mendengar ucapanku, bibirnya bergetar dengan mata yang kembali berembun.
Lihatlah Mas, kau bahkan sangat menyedihkan. Tapi ini belum seberapa dengan sakit hati yang kau toreh.
"Kalau merasa tak nyaman dengan sikapku. Kamu bisa pergi dari rumah ini," aku tersenyum sinis, sambil melangkah menaiki tangga. Meninggalkan dia dalam kehampaan.
Inginku akhiri semua ini, namun hatiku menahannya. Aku.. tak ingin menyesal seperti Ayah. Biarlah, semua mengalir seiring berjalannya waktu. Walau aku sendiri tak tahu, mau dibawa kemana hubungan ini.
Sebulan ini Mas Daniel menunjukan perhatian secara berlebihan, dia akan mengantarku berangkat kekantor dan menjemputku pulang. Walau kami dalam mobil yang berbeda.
Segala cara dia lakukan untuk merebut hatiku kembali. Namun hatiku seolah membeku walau sekedar bicara dengannya.
Drett.. drett..
Gawaiku berbunyi saat aku hendak menyantap sarapan. Kuambil benda pipih didalam tas, lalu menjawab panggilan masuk.
"Ya Mam?" Ucapku sambil menempelkan benda pipih ditelinga.
"Fi.. kerumah Mamih sekarang," ucap tegas suara perempuan diujung telpon.
"Ada perlu apa?" Tanyaku sambil meneguk s**u putih yang ada di depanku.
"Sudah datang saja, ajak Daniel juga. Mamih tunggu," panggilan langsung terputus, tanpa menunggu jawabanku.
Cih.. Mamih dan anak sama saja, selalu sesuka hati dan tak punya etika.
"Siapa?" Tanya Mas Daniel yang baru keluar dari kamarnya, tangannya sibuk memakai jam tangan.
"Mamih," jawabku singkat.
Mas Daniel bergeming dengan raut wajah pias, namun dia cepat menguasai diri. Sedikit mengulas senyum lalu menarik kursi dan duduk didepanku.
"Ada apa?" Tanyanya ragu-ragu.
"Kita disuruh kerumah sekarang," balasku sambil menaruh pisau dan garpu diatas piring.
"Oh yah, kalau kamu sibuk tidak usah datang," ucapnya dengan suara tenang.
Tingakahnya membuatku curiga, aku tau sesuatu yang tidak benar jelas terjadi. Melihat tangannya terus mengepal, seperti itulah saat dia sedang menahan ketegangan.
"Aku akan datang. Habiskan sarapanmu," titahku membuatnya terkejut.
"Oh.. baiklah," balasnya dengan senyum kaku.
Mas Daniel memulai sarapan dengan sangat lambat, seolah ingin mengulur waktu.
"Pakai mobilku aja," ucapnya sambil membuka pintu mobil, berharap aku masuk kedalamnya.
"Ga perlu. Aku masih banyak kerjaan, tempat kerja kita berbeda," ucapku tegas dan melewatinya menuju mobilku.
Mas Daniel tersenyum getir kearahku, dengan gerakan pelan dia kembali menutup pintu.
Mobil berhenti dirumah dua lantai bercat putih gading. Bunga warna-warni bermekaran ditaman, rumput hijau tertata rapih dengan air mancur menari-nari dikolam ikan. Membuat sejuk siapapun yang memandang.
Aku melangkah memasuki rumah yang pintunya terbuka lebar. Mataku terpaku melihat gundik suamiku bercucuran air mata sambil memeluk kaki Mamih mertuaku.
Dasar gundik, tak punya malu.
"Ayo masuk sayang," ucap Mas Daniel sambil menarik lembut tanganku.
Aku masih bergeming melihat Anitta yang menoleh ke arahku dengan senyum kemenangan.
Mata Mas Daniel mengikuti pandanganku. Jelas sekali dia sangat terkejut dengan apa yang dia lihat.
"Daniel, Fiona. Masuklah," suara Mamih memecahkan lamunanku.
Memasuki rumah dengan hati yang berdebar. Entah apa yang direncanakan Anitta. Pandanganku beralih pada sosok perempuan setengah baya yang duduk disofa samping Mamih, tangannya sibuk mengusap air mata dengan tatapan menyedihkan ke arah Mas Daniel.
Waw.. sepertinya akan terjadi drama yang sangat dramatis. Dengan aktris berpengalaman, aku sangat mengenal sosok perempuan setengah baya itu. Mata duitan dan selalu mengagungkan uang.
Disudut ruangan terlihat Papih mertua sedang mengepulkan asap dari mulutnya. Dan Arina, Kakak iparku duduk agak jauh dengan Mami.
Kuhempasakan b****g disofa panjang, mencoba bersikap biasa saja dan setenang mungkin.
"Daniel duduk!" Titah Mamih dengan suara tinggi.
Mas Daniel melihat Anitta dengan tatapan tak suka, lalu menghempaskan b****g disampingku.
"Anitta tengah mengandung anak Daniel. Mereka harus segera di nikahkan. Sebelum aib ini menyebar kemana-mana," ucap Mami tanpa basa-basi, matanya tajam mengarahku.
"Mami dengar kamu sudah tau, bagaimana menurutmu Fiona?" Sambungnya lagi tanpa berkedip kearahku.
"Kalau memang begitu, menikahlah. Aku tidak akan menghalangi," balasku dengan tatapan dingin.
"Namun sebelumnya, Daniel harus menceraikan ku," pandanganku beralih pada Mas Daniel.
Mas Daniel menggeleng mantap, tangannya langsung menggenggam kedua tanganku.
"Kemarin aku sudah memberi uang dua puluh juta padamu, dan kau setuju untuk mengguguran kandungan itu," mata Mas Daniel menatap murka pada Anitta.
Anitta menggeleng kuat sambil memegangi kaki Mami. Tangisnya mengeras dengan isakan menyayat hati. Ck, bikin muak!
"Gila kamu Daniel, ingin membunuh anakmu sendiri!" Teriak Mami dengan wajah garang.
"Mami tidak akan mengizinkan Anitta menggugurkan kandungannya. Mami sudah lama ingin menimang cucu darimu," sambung Mami dengan d**a naik turun. Wajahnya merah padam menahan amarah.
"Maaf Mas, aku ga bisa. Aku lebih memilih mempertahankan dia," Anitta mengelus perut yang mulai sedikit buncit.
"Akanku kembalikan uangmu, aku tak butuh itu semua," ucapnya sambil terisak.
"Memiliki dua istri tidak berdosa, Agama menghallal-kan. Mamih yakin kamu bisa berbuat adil," suara Mamih melemah, dia memandangiku dengan sorot meremehkan.
"Sudah lima tahun menikah, Fiona tak pernah menunjukan tanda-tanda kehamilan. Mamih harap Fiona bisa mengerti," ucapanya tanpa meraba perasaanku, membuat gemuruh didalam d**a meruak. Aku hanya tersenyum getir menanggapi ucapan Mamih.
"Aku dan Mas Daniel saling mencintai, kamu ga berhak menghalangi hubungan kami. Terlebih aku sedang mengandung buah hatinya," sahut Anitta dengan senyum mengejek.
"Sudah kubilang. Aku tidak pernah menghalangi, menikahlah," balasku dengan senyum manis yang kupunya. Aku malah bersyukur jika terlepas dari Mas Daniel.
"Tidak.. lebih baik aku kehilangan anak itu, dari pada harus berpisah denganmu," ucap Mas Daniel tegas.
Mata Anitta memerah, jelas sekali dia merasa terhina oleh ucapan Mas Daniel.
Janin yang dia banggakan, kini tidak berarti apa-apa dimata suamiku.
"Daniel. Jaga ucapanmu!" Teriak Mamih dengan wajah garang.
Tiba-tiba wanita paruh baya itu berlutut dihadapanku, air matanya bercucuran membasahi pipi.
"Ibu mohon Nak, izinkan Anitta menikah dengan Daniel. Kasihanilah kami," ucapnya sambil mengiba kepadaku.
"Ibu.. jangan merendah dihadapannya," sembur Anitta sambil menarik tangan Ibunya.
Namun si Ibu menepis tangan anaknya. Dia kembali meratap kearah ku.
"Seorang Ibu akan melakukan apa pun demi anaknya. Kamu akan mengerti nanti!" Sergahnya.
"Apa aku harus mencium kaki mu, agar kamu bisa menerima Anitta?" Ucapnya sambil memohon.
"Ibu!!" Sentak Anitta.
"Semua akan ku korbankan, demi kebahagiaan anakku, tidak perduli jika harus merendahkan diri" sambungnya dengan isak tangis sambil menundukkan kepala. Terlihat sangat menyedihkan.
"Baiklah.." ucapku sambil tersenyum, mataku menatap satu demi satu orang yang ada diruangan ini.
"Ciumlah kaki ku," aku menyilangkan kaki didepan Ibu Anitta, sontak membuatnya mengangkat kepala. Dia menatapaku nanar seolah tak percaya dengan apa yang dia dengar.
Semua mata tertuju padaku, mata Mamih dan Anitta terbelalak kaget melihatku. Mereka tau aku tidak pernah main-main dengan apa yang aku ucapkan.
"Ciumlah.. tunjukan pengorbananmu," ucapku dengan suara lembut.
Aku menggerak-gerakan kakiku, sambil mengangguk pasti. Agar Ibu Anitta segara menciumnya.
***ofd
Hai Kak, jangan lupa ikuti akun ovi fadila ya. agar kamu dapat notip setiap aku updatr bagian terbaru.
salam kenal...