Chap 1

1528 Words
Damian segera naik ke kamarnya untuk berganti baju. Sebenarnya ia sangat lelah setelah penerbangannya yang berlangsung berjam-jam. Akan tetapi begitu melihat adiknya, rasa lelah itu menguap seketika. Ia tidak ingin melewatkan sedetik waktu pun tanpa adiknya itu. Adik yang sangat di cintainya.           “Hallo lagi, My Sugar,” Damian langsung mengecup pucuk kepala Abby begitu dia kembali ke halaman belakang. Dahi Damian berkerut melihat gadis mungil bermata biru itu masih di sana dan sedang memandangnya dengan kagum. “Kenapa dia masih di sini?” tanya Damian tak suka. Dia menarik kursi dan duduk di hadapan Abby sambil menggenggam kedua tangan gadis itu.           Abby tersenyum lembut seperti biasanya. “Tentu saja dia di sini. Kimmy perawatku.”           “Bukankah tadi sudah jelas kukatakan kalau dia dipecat?” Damian menoleh ke arah gadis bernama Kimmy itu yang masih terus menatapnya. “Bisakah kau berhenti menatapku seperti itu? Aku risih!”             Kimmy mengerjapkan matanya dan menunduk malu. “Ma... maaf... maafkan saya,” ucapnya terbata.           “Kenapa kau masih di sini? Bukankah ucapanku tadi sudah jelas kalau kau dipecat?” ulangnya lagi dengan pandangan tajam menusuk ke arah Kimmy.           “Kakak! Kimmy perawat yang baik. Dia temanku juga. Kau tidak bisa memecatnya seenak dirimu sendiri.”           “Sugar, aku yakin ada banyak perawat lain yang lebih baik dari gadis ceroboh ini.”           Apa sih yang orang tuanya pikirkan saat mempekerjakan gadis ceroboh ini?           “Saya… saya tidak sengaja, Herr.”           “Tidak sengaja? Kau hampir menumpahkan coklat panas itu ke kepala adikku! Kau bisa membuatnya cedera!”           “Maafkan saya. Saya tersandung. Saya benar-benar tidak sengaja.” Gadis itu meremas-remas ujung kausnya dengan gugup.           “Kau ...”           “Damian Antonio!! Aku tidak mau Kimmy dipecat!! Titiiikkk!!” akhirnya Abby berteriak dengan kesal.           “Sugarr ...”           Abby mengangkat telapak tangannya tepat di depan muka Damian. Wajah cantiknya merengut marah. “Kimmy, antarkan aku ke kamar.”           “Ya, Nona,” Kimmy segera mendorong kursi roda Abby meninggalkan Damian.           “Sugaaaarrrr, jangan marah padaku,” rajuk Damian yang tidak dipedulikan Abby. Dia merengut kesal pada Abby dan kemudian pada si mata biru. Oh, lihat saja, dia akan memecat gadis itu. Lihat saja nanti! ****           “Tidak usah kau pikirkan ucapan kakakku. Dia memang seperti itu sejak aku sakit. Akan tetapi sebenarnya dia orang yang sangat baik. Percayalah padaku.” Abby memegang tangan Kimmy yang mendorong kursi rodanya.           “Maafkan saya, Nona. Saya benar-benar ...”           “Tidak apa-apa. Lupakan saja. Dan jika kau masih berbicara seformal itu lagi, aku akan menyumpal mulutmu dengan selimutku ini.”           Tawa Kimmy kontan meledak mendengar ancaman Abby.           “Maafkan aku, Abs, aura mengintimidasi dari kakakmu benar-benar membuat otakku kacau hingga aku tidak memperhatikan langkahku. Siapa sih yang menaruh buku tebal itu di lantai??”           “Sepertinya bukan aura intimidasinya, tetapi aura ketampanannya yang membuat otakmu kacau. Benar kan?” selidik Abby sambil menatap muka Kimmy yang memerah.           “Tentu saja tidak. Kau bercanda,” ucap Kimmy gelagapan membuat Abby tertawa terbahak-bahak. “Hentikan tawamu sekarang, gadis nakal. Sudah saatnya kau belajar lagi,” perintah Kimmy tegas sambil membuka selimut Abby.           Abby menatap kakinya dan mengembuskan napas keras. “Aku lelah, Kim. Sudah dua bulan dan aku masih seperti ini.” Ia menatap Kimmy dengan mata coklatnya yang besar.           “Sejak kapan namamu berubah jadi Miss Pesimis?? Kau lupa apa yang dokter Rachel katakan?”           “Ya... Ya... Aku ingat,” jawab Abby sambil bersungut-sungut. Ia mengulurkan tangannya dan Kimmy segera membantunya dengan sigap.           Sudah dua bulan ini, Kimmy bekerja sebagai perawat pribadi Abby. Abby sendiri yang memintanya bekerja di sini. Awalnya, dia hanya sering menemani dokter Rachel untuk visit pasien termasuk Abby. Beberapa kali visit dan membantu Abby menjalani terapinya, ternyata mereka merasa cocok sebagai teman karena memang mereka seumuran. Hingga saat keluarga Abby memutuskan untuk melakukan perawatan di rumah, gadis itu memintanya secara pribadi untuk bekerja sebagai perawatnya.           Dan di sinilah dia sekarang. Bekerja sebagai perawat pribadi Abby dari pukul sembilan pagi sampai pukul enam sore dengan gaji yang dua kali lipat lebih besar daripada gajinya di rumah sakit. Dan itu jelas membuatnya tak lagi pusing memikirkan biaya kuliah dan sewa apartemennya. Sebagai bonus, Abby benar-benar gadis yang baik hati dan menyenangkan. Walaupun kadang Kimmy melihatnya melamun dan merenung dengan sedih, tetapi sejauh ini, gadis itu sangat ramah dan seorang teman yang menyenangkan untuk Kimmy.           “Aku lelah, Kim,” protes Abby saat gadis itu sudah tiga kali berjalan bolak-balik di kamar terapi pribadinya.           “Ayolah. Tidak biasanya kau cepat lelah. Kau ...”           “Jangan paksa dia!” suara seksi itu menginterupsi ucapan Kimmy.           Pria itu menyingkirkan tangan Kimmy yang memegang lengan Abby dan segera menggendong gadis itu lalu mendudukkannya di kursi roda. Kimmy menunduk dengan takut-takut. “Maa... Maafkan saya, Herr.”           Damian tidak menghiraukannya dan berlutut seraya menatap mata coklat Abby. “Kau lelah, Sugar? Bagaimana kalau kita ke Westpark?” tawar Damian yang langsung disambut Abby dengan mata berbinar.           Sudah sejak lama Abby ingin ke sana, tetapi gadis itu selalu berkata ingin menunggu kakaknya pulang. Taman itu kecil tetapi sama indahnya dengan Englischer Garten. Taman itu memanjakan pengunjungnya dengan wangi bunga mawar karena Westpark memiliki dua puluh ribu mawar dari lima ratus spesies yang bermekaran saat musim semi.           Damian segera mendorong kursi roda Abby keluar dari kamar terapinya.           “Kimmy, ayooo! Kenapa kau masih diam di situ?” Abby menoleh sebelum Damian membawanya keluar.           “Sugar, aku hanya mengajakmu. Tidak mengajaknya. Biarkan dia di sini.”           “Tetapi, Kak ...”           “Iya, aku tidak bisa ikut kalian. Ada tugas yang harus aku kumpulkan.”           “Oh iya. Tugas yang kemarin kau ceritakan itu ya? Kau bisa mengerjakannya di kamarku.”           “Danke.” Kimmy mengangguk hormat sebelum akhirnya berlalu dan pergi ke kamar Abby. Berada di dekat pria itu membuat jantungnya berdetak tidak karuan dan dia harus menghidndari pria itu. Harus.   ***           Damian mengerutkan kening mendengar jawaban gadis itu. Tugas? Memangnya dia masih kuliah?           “Kenapa kau biarkan dia sendirian di kamarmu? Kau tidak takut ...”           “Kau terlalu banyak berpikiran buruk, pantas kau cepat tua,” potong Abby sebelum ia menyelesaikan ucapannya.           “Apa kau bilang? Aku? Tua?”           Abby mencibir melihat Damian pura-pura melotot marah padanya. Akan tetapi selanjutnya dia tertawa geli sambil memohon ampun karena Damian menggelitik pinggangnya.           “Damian! Jangan siksa adikmu seperti itu!”           Suara itu menghentikan kegiatan Damian menggelitik pinggang Abby. Aunt Maddy berjalan mendekati mereka dengan perutnya yang mulai membuncit.           “Mom, kakak menyiksaku,” adu Abby dengan manja.           Aunt Maddy memeluk Abby dan mengelus kepalanya dengan penuh kasih sayang. Damian terharu melihatnya. Sungguh, dia sedih melihat keadaan Abby menjadi seperti ini karena kecelakaan itu. Akan tetapi di sisi lain, dia bersyukur karena kecelakaan ini hubungan Abby dan Maddy menjadi sebaik ini.           “Kakak!!!” Abby berteriak sambil menarik ujung kaus Damian, hingga membuatnya terlonjak. “Apa yang kau pikirkan?” tanyanya penasaran.           “Tidak ada. Bisakah kita pergi sekarang?”           “Mau ke mana kalian, Sayang?”           “Westpark. Mom mau ikut?”           Aunt Maddy menggeleng dan menunjuk perutnya. “Adikmu ingin kue jahe buatan Kimmy. Di mana dia?”           “Di kamarku.”           “Okey, aku akan mencarinya. Bersenang-senanglah, Sayang.” Aunt Maddy mencium kening Abby dan meninggalkan mereka.           Damian meraih kursi roda Abby dan mulai mendorongnya. “Aku senang melihat kalian seperti ini.”           “Aku juga. Selalu ada hikmah di balik setiap kejadian ‘kan?”           “Ya. Aku setuju denganmu.”           “Kak ...” ucapnya ragu saat Damian menggendongnya masuk ke mobil dan menguncikan sabuk pengamannya.           “Hmmm??”           Abby menunduk memainkan ujung selimutnya.           “Kau ingin bertanya soal dia?”           Gadis itu mengangguk tanpa berani menatap mata Damian.           “Aku tidak tahu!” jawab Damian tak acuh sambil menutup pintu mobil dan berjalan ke sisi lain mobil.           Selama satu bulan ini, dia selalu mencoba menghilangkan Devandra dari pikiran Abby. Jujur dia marah pada sahabatnya itu karena menyebabkan adiknya seperti ini. Akan tetapi anehnya sang adik justru tidak menyalahkan Devandra dan masih tetap mencintai sahabatnya itu.           Damian akui, dirinya masih cemburu karena dia tidak pernah bisa mengalahkan Devandra dari hati adiknya. Pria itu masih bercokol di tahta paling tinggi di hati Abby. Seburuk apapun yang Devandra lakukan pada Abby, gadis itu tidak akan pernah bisa membencinya. Andai cinta sebesar itu miliknya. Bukan milik Devandra.           Entah kenapa dadanya masih sesak setiap kali mengingat takdir mereka sebagai saudara sepupu. Takdir yang menurutnya sangat kejam. Jujur, jauh di dalam hatinya dia masih mencintai Abby seperti dulu. Seperti saat dia belum tahu bahwa mereka adalah saudara.           “Kak, are you okay?” tangan kecil Abby meremas lengannya.           Damian menoleh dan tersenyum. “Yep. Aku selalu baik-baik saja jika kau di sisiku,” ucapnya sambil mengelus kepala Abby dengan sayang.           “Kak, menurutmu, Kimmy bagaimana?”           “Gadis ceroboh!” tegasnya langsung tanpa berpikir dua kali.           Abby terkikik geli. “Hanya karena dia pernah tersandung satu kali, bukan berarti dia ceroboh.”           “Tetap saja itu namanya ceroboh!”           “Bagaimana kalau kalian pacaran saja? Tampaknya kalian cocok.”           Damian mengerem mobilnya secara mendadak membuat Abby hampir terlonjak. Mata biru Damian menatap Abby ngeri seolah gadis itu baru saja bercerita horror.           “Abigail Nathania Carter, kau benar-benar gila!”                        
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD