Selama dua minggu ini pula Sanya berbaik hati pada Ardika meski lelaki itu tetap saja tengil dan arogan. Di hati kecilnya, Sanya masih merasa bersalah atas ucapannya waktu itu—ucapan yang tanpa sengaja menyinggung masa kecil Ardika. Meskipun lelaki itu tidak menyangkal bahwa masa kecilnya memang tidak bahagia. Kalau dipikir-pikir, apa bedanya dengan dirinya? Masa kecilnya juga tidak sebahagia itu. Bedanya, Sanya selalu memilih menyangkal. “Sanya, kamu udah kasih makan Pak Bos belum?” bisik rekannya—begitu Sanya kembali ke mejanya usai menyalin dokumen. “Pak Kai?” Sanya mengerutkan kening. “Bukan… Pak Ardika. Marah-marah mulu dari tadi. Anak IT kena semprot semua. Aku sampai cek ulang semua pekerjaanku, takut banget. Kasih makan gih!” Sanya melirik jam di pergelangan tangannya—sebentar

