Sanya menarik napas panjang. Langkahnya pelan tapi pasti menuruni anak tangga menuju trotoar. Angin siang berembus, mengibaskan ujung rambutnya yang keluar dari sanggul sederhana—berjalan menuju kafe di ujung jalan. Di seberang jalan, sebuah mobil hitam berhenti dengan mesin masih menyala. Di balik kaca gelap, seorang lelaki tengah memperhatikan gerak Sanya tanpa berkedip. Lelaki itu terhubung dengan seseorang—dengan earphone di telinganya. “Sepertinya benar,” katanya pada seseorang di seberang sambungan. Tatapannya tak lepas dari sosok Sanya yang kini menyusuri trotoar sendirian, lalu melirik bangunan perusahaan Ardika. “Ya, wanita itu sendiri, berjalan kaki.” Lelaki itu mengangguk paham instruksi dari seberang sana. “Okay, copy that,” katanya memutuskan sambungan telepon. Ia pun kel

