Motor itu melaju kencang dari arah kanan—terlalu cepat seolah tak terkendali. Sanya tersentak ketika sebuah tangan menariknya dengan kasar. Tubuhnya terhempas ke arah berlawanan dan keduanya jatuh terduduk di bahu jalan. Seketika, suara benturan keras menggema—brak!—motor itu menabrak pengendara lain di depan sana.
“Kamu mau mati?” suara Ardika meninggi, napasnya memburu, matanya beralih menatap jalan dengan wajah menegang. Sanya hanya bisa membeku. Tangannya gemetar hebat, jantungnya berdentum tak beraturan, sementara pandangannya kabur oleh genangan air mata. Rasa kaget dan takut bercampur jadi satu.
Kalau saja Ardika tidak menolongnya beberapa detik lebih cepat—ia mungkin sudah tergeletak di jalan. Pikiran itu membuat tubuhnya makin bergetar.
“Sanya,” panggil Ardika kali ini dengan nada lembut. Melihat wanita itu tampak syok, ia meraih tangan Sanya—menariknya ke dalam pelukan. “Kamu sudah baik-baik saja,” bisiknya di dekat telinganya, lirih dan menenangkan.
Sanya masih belum bisa bicara. Hanya bisa merasakan detak jantungnya yang sama cepatnya dengan degup di d**a Ardika.
Ardika menutup matanya sejenak jengah ketika suara sirene polisi terdengar dari kejauhan. Ia segera melepaskan pelukan, berkata, “Relax, everything gonna be okay.” Lalu, ia menelpon Zeno untuk mengurus perihal kecelakaan itu.
“Pak, terima kasih ya,” lirih Sanya akhirnya bersuara setelah menimbang diam. Saat ini dia sudah berada di dalam mobil Ardika—pulang bersama.
Ardika menoleh sekilas ke arahnya. “Kamu sangat merepotkan saya, Sanya,” katanya datar.
Sanya tertunduk lesu. Ia tahu itu benar—hari pertama kerja, ia benar-benar hanya membuat lelaki itu repot saja. Tidak, bahkan sejak pertama mereka bertemu malam itu. Sanya memejamkan matanya merutuki dirinya.
“Maafkan saya, Pak,” ucapnya pelan.
Perjalanan terasa lebih panjang karena rasa canggung Sanya dan hening yang menyelimuti keduanya. Kini, keduanya tiba di apartemen, lorong itu sunyi, hanya suara langkah kaki dua orang yang berjalan beriringan. Sanya beberapa kali mencuri pandang, ingin mengucap sesuatu tapi lidahnya kelu. Ia masih merasa bersalah atas apa yang terjadi hari ini.
Begitu mereka tiba di depan unit apartemen Ardika, Sanya ikut menghentikan langkahnya—akhirnya memberanikan diri bicara.
“Terima kasih banyak, Pak,” ucapnya pelan, berusaha menahan rasa canggung. “Maaf juga sudah merepotkan hari ini.”
Ardika berdiri di depan pintu unitnya, jemarinya terhenti saat hendak menyentuh panel sandi. Sesaat hening hingga suara dari perut Sanya terdengar cukup keras.
Sanya sontak membeku malu saat Ardika berbalik menatapnya.
Wanita itu refleks menunduk, wajahnya memerah—buru-buru menutupi perutnya—mengangkat tas kecil yang sejak tadi dia pegang.
“Tidak,” kata Ardika cepat. “Jangan merepotkan saya lagi malam ini.” Ia memutar tubuhnya acuh. “Sana masuk dan makan sendiri.” Ia menekan sandi pintu dan masuk tanpa menoleh lagi, meninggalkan Sanya berdiri mematung di depan unitnya sendiri.
Pintu tertutup rapat di depan wajahnya. Sanya menutup wajahnya dengan kedua tangan, menahan malu yang rasanya seperti menampar pipinya.
“Aduh, kenapa harus bunyi sekarang sih,” gumamnya, mengeluh pada perutnya sendiri.
Dengan langkah lesu, ia masuk ke unitnya yang rapi dan sepi. Selalu rapi karena ada cleaning service yang ia sewa untuk membersihkan apartemennya seminggu dua kali. Begitu menutup pintu, tubuhnya langsung merosot ke sofa. Ia meringis kecil, mengusap pinggulnya yang terasa pegal karena sempat terhentak di bahu jalan tadi.
Setelah duduk beberapa saat, rasa lapar kembali menyerang. Ia pun berdiri dan membuka kulkas, berharap ada sesuatu untuk dimakan—tapi yang menyambutnya hanya udara dingin dan rak kosong. Ia baru ingat karena baru menginap semalam di unitnya ini, sudah beberapa hari tidak menyetok bahan makanan karena sebelumnya menginap di rumah orang tuanya.
Ia memajukan bibir, cemberut.
“Mandi dulu aja, deh, nanti pesan makanan lewat aplikasi,” katanya meyakinkan diri, lalu menuju kamar mandi.
Air hangat mengalir di kulitnya, menenangkan sisa tegang yang masih menempel sejak kejadian tadi. Ia menutup mata, membiarkan pikirannya kosong sejenak. Tapi di sela-sela uap air itu, wajah Ardika kembali muncul di benaknya. Tatapan tajamnya, bentakkannya, suara rendahnya, dan … pelukan singkat di pinggir jalan tadi ….
Sanya sontak membuka matanya—menutup mulutnya.
“Kenapa dia muncul di pikiranku?” gerutunya sambil memukul lembut pipinya sendiri—berusaha menyadarkan diri.
Setelah mandi, ia mengenakan pakaian santai, berjalan ke ruang tamu sambil mengeringkan rambutnya dengan handuk. Baru saja hendak mengambil ponsel untuk memesan makanan, suara bel apartemennya berbunyi—bel pendek, dua kali beruntun.
Sanya berhenti, menatap ke arah pintu dengan kening berkerut. “Siapa malam-malam begini?” gumamnya. Pikiran liar Sanya jatuh pada Yuji karena biasanya lelaki itu saja yang berkunjung. Tapi harusnya kali ini bukan Yuji karena lelaki itu sudah dihapus dari daftar akses apartemennya.
Ia melangkah hati-hati ke arah pintu dan menatap ke layar panel pintu digital. Tidak ada siapa pun di luar sana. Ia mencondongkan tubuh, pandangannya tertahan saat melihat sesuatu menggantung di pegangan pintu.
Hati-hati Sanya membuka pintu. Tak ada siapa pun. Hanya bungkusan dengan aroma makanan yang menggoda. Sanya segera mengambilnya. Di bagian atas kantong, terselip selembar catatan kecil. Tulisan tangan tegas dan rapi dengan tinta hitam.
“Makan. Lebih baik saya repot malam ini daripada repot besok di kantor karena kamu tidak masuk kerja akibat sakit.”
Sanya terpaku membaca tulisan itu, mencerna baik-baik kalimat itu. Hanya ada satu orang yang mungkin menulisnya dengan nada seenaknya begitu. Ia menatap ke arah unit di seberang, tempat Ardika tinggal, pintunya tertutup rapat. Pandangannya lembut tapi juga jengkel bersamaan.
Sanya menatap rice bowl di depannya, aroma lauk daging dan telur setengah matang yang menggoda membuat perutnya tiba-tiba keroncongan. Ia mengambil sendok perlahan dan mencicipi suapan pertama. Rasanya… luar biasa. Dagingnya lembut, bumbu meresap hingga ke seratnya, berpadu dengan nasi hangat yang pas, membuat setiap gigitan terasa sempurna.
Enak sekali, batin Sanya sambil tersenyum kecil—menggoyangkan diri. Ia belum pernah mencoba kafe ini sebelumnya. Setiap suapan membuatnya semakin penasaran dengan tempat yang rupanya menyajikan hidangan seistimewa ini.
Sambil menikmati makanan, ponselnya yang terletak di samping mulai menarik perhatiannya. Tanpa sadar, jari-jarinya mengetuk layar, membuka browser, dan mulai berselancar mencari informasi tentang kafe itu.
“Ooo … di sini,” gumamnya. “Tidak jauh dari sini. Pantasan cepat,” lanjutnya, mengangguk paham.
Saat tengah menikmati makan malamnya, ponselnya berdering dari nomor yang tidak dia kenal. Namun kali ini dia tidak berani mengangkatnya, khawatir itu dari Yuji, pasalnya nomor baru yang Yuji pakai untuk meneleponnya waktu sudah Sanya block juga.
Sementara di tempat lain …
Di belah dunia yang sama suasana justru berkebalikan. Sebuah ruangan sempit dipenuhi cahaya temaram dari lampu meja yang redup. Asap rokok melayang pelan, menari di udara lalu menghilang bersama hembusan napas berat seorang lelaki yang duduk di kursi kulit tua.
Suara derit kursi terdengar saat ia bersandar, menatap ponselnya yang bergetar di atas meja. Asap rokok di antara jarinya berpendar samar di bawah cahaya kuning. Ia pun gegas menerima panggilan telepon itu—menempel ponsel di telinga. Suara keduanya sama tajam dan dingin seperti pisau yang baru diasah terdengar dari seberang sana.
“Sudah sejauh apa yang kamu lakukan?” tanya seseorang di seberang sana.
Lelaki itu menghela napas, membuang abu rokok ke asbak logam. Matanya menatap kosong ke arah jendela yang hanya memantulkan bayangan dirinya sendiri—siluet kesepian dengan tatapan gelap penuh amarah yang belum padam.
“Belum banyak. Pelan … tapi pasti. Setelah ini, keluarga itu tidak akan tenang. Dia harus merasakan sakit yang aku rasakan.”